Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Eko Kuntadhi Sejajarkan Peran AHY dengan Prabowo Subianto Sebagai Lokomotif Oposisi

Eko Kuntadhi Sejajarkan Peran AHY dengan Prabowo Subianto Sebagai Lokomotif Oposisi Agus Harimurti Yudhoyono, ketua Partai Demokrat | Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Eko Kuntadhi mensejajarkan anak SBY, sekaligus ketua umum Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sedang berusaha menggantikan peran Prabowo Subianto saat periode pertama Jokowi menjadi lokomotif oposisi. 

Menurut Eko, ini adalah cara partai oposisi pemerintah seperti partai Demokrat untuk menarik perhatian dan menarik suara masyarakat jelang Pilpres 2024

“Jadi kalau sekarang misalnya teman-teman dari partai Demokrat itu antusias mengkritisi Pak Jokowi atau mengkritisi pemerintahan Pak Jokowi itu sebagai suatu hal yang wajar,” kata Eko.

Baca Juga: Meski Diunggulkan dalam Pilpres 2024, Nama Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo Belum Aman

“Persoalannya apakah yang dikritisi itu masuk akal apa nggak? Kan itu yang menjadi masalah. Kalau soal kritik mengkritisi sebagai parpol yang ada di luar pemerintahan itu normal-normal saja,” tambah dia. 

Menurutnya pula, mengkritik pemerintah ada hasilnya. Yaitu survei-survei terhadap Partai Demokrat cukup meningkat walaupun belum signifikan. 

“Nah kritik-kritik yang dilancarkan oleh partai Demokrat kepada Pak Jokowi atau kepada PDIP yang kemudian disambut oleh kader PDIP lainnya misalnya dengan berbagai debat itu bagian dari marketingkan politik,” jelas dia. 

Baca Juga: Kurang Modal, Nasib Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo Tak Baik, Terancam Tak Bisa Ikuti Pilpres 2024

Marketing politik partai-partai yang digunakan Demokrat ini tentu saja dengan berbagai cara dan cukup lumayan hasilnya. 

“Ketika Demokrat tidak menjadi bagian dari pemerintah. Dia menjadi oposisi dan dia yang rentan sama seperti PKS dulu. PKS ketika zaman Pak SBY, sangat mendukung kenaikan harga BBM. Karena mereka bagian dari pemerintahan dan pemerintahan butuh uang untuk menjalankan roda pemerintahan,” jelasnya.

Yang penting menurut Eko adalah kecerdasan atau kesadaran publik. Bagaimana publik memahami kenaikan BBM sebagai sebuah keharusan karena memang kondisi keuangan negara membutuhkan.

Baca Juga: Kurang Modal, Nasib Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo Tak Baik, Terancam Tak Bisa Ikuti Pilpres 2024

“Dalam demokrasi pasti ada polarisasi. Ada partai penguasa, ada partai oposan dan ujung-ujungnya dua kekuatan ini pasti akan merembes mencari dukungan masing-masing dan ujung-ujungnya terjadi polarisasi,” kata dia. 

“Tapi kalau udah nyangkut surga neraka, udah nyangkut iman satu atau kafir. Ini yang bahaya karena polarisasi. Kayak gini akan terus terbawa jauh setelah Pemilu selesai,” tambahnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Sabrina Mulia Rhamadanty
Editor: Sabrina Mulia Rhamadanty

Bagikan Artikel: