Kabid Litbang Bappedalitbang Kabupaten Klaten Muhammad Umar Said mengatakan, penelitian Srinuk ini dibantu Batan, berawal dari keprihatinan beras asal Klaten, Rojolele, yang tidak banyak ditanam petani. Sebab, masa tanamnya yang panjang yaitu hampir enam bulan. Padahal, padi jenis lain 3-4 bulan saja, dan batang padi Rojolele yang terlalu panjang karena terancam kena makan burung.
“Petani malas (menanam Rojolele), di antaranya (karena) mudah roboh diserang angin dan burung, sehingga sangat tidak worth it (layak) untuk petani, itu (Rojolele) sudah mau ditinggalkan,” beber dia.
Disampaikan, Bapedalitbang bekerja sama dengan Batan mencari solusi merekayasa jenis padi, biar lebih pendek umurnya sehingga cepat panen, dan pendek batangnya. Dengan begitu, lebih diminati petani dan beras Klaten bisa bersaing lagi.
Umar mengungkapkan, proses penelitian dimulai dari 2013 di kantor Batan, Jakarta. Dimulai uji laboratorium, sampai 2016 riset skala laboratorium selesai.
Dilanjutkan dengan uji tanam di Desa Gempol Karanganom Klaten. Baru 2019, akhirnya pemkab yakin ada tiga varietas yang layak diusulkan ke Kementerian Pertanian. Umurnya pendek sekitar 110 sampai 115 hari, batang lebih pendek, namun rasa, pulen, wangi, dan lebih tahan hama daripada Rojolele lama.
“Kita namai Rojolele Srinuk, Rojolele Srinar, dan Rojolele Sriten. Srinar itu dari kata ‘Dewi Sri Dewi Padi dan ‘Nar’ itu bersinar. Srinuk itu Dewi Sri Dewi Padi dengan ‘nuk’ itu enak banget atau inuk. Inuk sendiri inovasi nuklir Klaten, Sriten itu Dewi Sri Klaten. Tapi waktu sidang pelepasan di Kementerian Pertanian itu, Sriten dan Srinuk kecenderungannya agak mirip. Jadi yang diloloskan harus salah satu. Yang diloloskan itu bukan jelek kualitasnya dan identik dengan Srinuk,” ujarnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat
Tag Terkait: