Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

CENTRIS: Indonesia Harusnya Lindungi WNA Bila Penuhi Unsur HAM

CENTRIS: Indonesia Harusnya Lindungi WNA Bila Penuhi Unsur HAM Kredit Foto: Antara/Ampelsa
Warta Ekonomi, Jakarta -

Seorang terpidana kasus terorisme Poso Sulawesi Tengah asal China, yang berasal dari etnis minoritas Uighur bernama Ahmet Bozoglan, belum diketahui keberadaannya setelah bebas usai menjalani hukuman penjara atas perbuatannya.

Ahmet Bozoglan dan tiga orang Uighur lainnya divonis antara enam hingga delapan tahun penjara, berikut denda sebesar 100 juta rupiah (US$6.600) oleh pengadilan Jakarta pada tahun 2015, setelah dinyatakan bersalah, karena memasuki negara dengan menggunakan paspor palsu dan mencoba bergabung atau berafiliasi dengan kelompok militan Mujahidin Indonesia Timur (MIT) yang berbasis di Poso.

Ahmet Bozoglan yang sebelumnya mendekam selama 7 tahun di Lapas Permisan di Pulau Nusa Kambangan sejak 2015, telah di bebaskan 2 bulan lalu oleh pemerintah Indonesia.

Kepala Bagian Bantuan Operasi Densus 88 Mabes Polri, Komisaris Besar Polisi (Kombes Pol) Aswin Siregar, membenarkan bahwa Ahmet Bozoglan telah bebas usai menjalani hukuman penjara di Indonesia.

“(Bozoglan) sudah bebas per 1 Juli dan dipulangkan,” kata Kombes Pol Aswin Siregar, seperti dikutip BenarNews pada Senin (26/9), tanpa merinci ke negara mana Bozoglan dipulangkan.

“Untuk kapan dan ke mana (dideportasi), silakan konfirmasi ke otoritas terkait,” singkat Aswin.

Jika melihat tiga terdakwa asal Uighur lainnya yang dibebaskan dari tahanan Indonesia pada September 2020 yang diyakini telah dideportasi ke China setelah Beijing diduga membayar denda yang dikenakan kepada mereka oleh pengadilan, patut diduga Ahmet Bozoglan juga mengalami nasib yang sama.

Seorang peneliti untuk Human Rights Watch berbasis di New York, Andreas Harsono, yang menemani empat warga Uighur, terdakwa dalam kasus terorisme di Poso selama persidangan mereka, mengkhawatirkan kondisi terburuk bagi para mantan narapidana, paska mereka menjalani masa tahanan di Indonesia.

“Mereka seharusnya tidak dideportasi ke China karena kemungkinan besar mereka akan dieksekusi.  Kami tidak percaya sistem hukum di sana adil,” kata Andreas kepada waratawan.

Dalam sebuah wawancara tahun 2020, Bozoglan sendiri telah menyatakan ketakutannya alm bernasib sama seperti tiga orang Uighur lainnya, yakni akan dideportasi ke China setelah menyelesaikan hukuman penjara di Indonesia.

“Saya hanya seseorang yang akhirnya ditahan di Indonesia sambil mencari cara untuk pergi ke Turki, jadi saya meminta bantuan untuk pergi ke Turki atau Eropa atau tempat lain untuk mencari suaka agar saya tidak kembali ke sana.  China,” kata Bozoglan kepada Radio Free Asia (RFA), layanan berita online yang berafiliasi dengan BeritaBenar.

Menanggapi hal ini, Center for Indonesian Domestic and Foreign Policy Studies (CENTRIS) meminta pemerintah Indonesia untuk bersikap tegas dalam melindungi sekaligus menyelamatkan nyawa warga negara asing yang enggan kembali ke tanah airnya karena alasan yang jelas, seperti konflik Uighur di China.

Peneliti senior CENTRIS, AB Solissa mengatakan pemerintah Indonesia atau negara manapun, seharusnya dapat memenuhi keinginan warga negara asing yang meminta untuk tidak di deportasi ke negara asal mereka, jika memang alasan tersebut kuat atau memenuhi unsur penegakan HAM.

“Seyogianya keinginan orang-orang seperti Ahmet Bozoglan dipenuhi sebagai bagian dari upaya negara Indonesia, dalam menyelamatkan nyawa umat manusia, sebagaimana termakjum dalam mukadimah UUD 1945,” kata AB Solissa saat dihubungi wartawan, Kamis, (6/10/2022).

CENTRIS menilai situasi dan kondisi muslim Uighur sebagai etnis minoritas di China yang saat ini belum jelas nasibnya, tentunya menjadi ke khawatiran tersendiri bagi orang-orang Uighur seperti Ahmet Bozoglan, yang terlebih dahulu meninggalkan Tiongkok.

Dari berbagai laporan investigasi yang menyajikan fakta beserta barang bukti berupa dokumen, foto maupun video terkait tindak kekerasan yang menjurus pada pelanggaran berat hak azazi manusia (HAM) terhadap jutaan warga Uighur di Xinjiang China, tentunya memperlihatkan suasana yang tidak kondunsif di sana.

Apalagi, sebuah laporan Perserikatan Bangs-Bangsa (PBB) pada bulan Juni 2022 silam mengatakan penindasan China terhadap Uighur dan minoritas Turki lainnya di Daerah Otonomi Uighur barat (XUAR) ‘mungkin’ merupakan kejahatan internasional, khususnya kejahatan terhadap kemanusiaan.”

Laporan itu mengatakan bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang serius telah dilakukan otoritas Tiongkok di XUAR dalam konteks penerapan strategi kontra-terorisme dan kontra-ekstremisme pemerintah China.

“Pihak berwenang di wilayah tersebut yang dikontrol Beijing, diyakini telah menahan hampir 2 juta warga Uyghur dan minoritas Muslim lainnya di jaringan kamp interniran yang luas sejak awal 2017,” tutur AB Solissa.

“Jadi wajar jika orang-orang Uighur yang berada diluar China, menolak untuk kembali ke negara asalnya karena takut dengan kekejian China yang kabarhya bukan isapan jempol belaka,” pungkas AB Solissa.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Ferry Hidayat

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: