Hasil Survei Brand Audit: Botol plastik Aqua Paling Banyak Menyampah di Ciliwung
Survei Ciliwung menempatkan botol plastik Aqua sebagai penyampah terbesar. Sejumlah merek makanan, deterjen dan perawatan tubuh juga jadi penyumbang terbesar sampah.
Hasil survei Brand Audit Sampah Plastik, yang dilakukan Tribunnews Bogor bekerjasama dengan para relawan lingkungan pada 22-27 September 2022 di 11 kelurahan Kota Bogor yang dilintasi aliran Sungai Ciliwung, menempatkan sejumlah brand papan atas di posisi pertama sebagai penyampah plastik terbesar di bantaran Sungai Ciliwung.
Sampah plastik ini dikumpulkan dari rumah-rumah warga dan sepanjang bantaran Sungai Ciliwung.
Untuk kategori botol air mineral, posisi pertama dipegang sampah botol plastik merek Aqua yang mencapai 40,4 persen, mengalahkan merek perusahaan air minum dalam kemasan (AMDK) lainnya. Sementara untuk kategori kopi sachet: merek Liong Bulan paling banyak ditemukan sebesar 52,2 persen, kategori sampah plastik makanan dan minuman: merek Indomie menempati posisi teratas dengan angka 58,5 persen, kategori deterjen pewangi dan sabun cuci: merek Downy berada di posisi pertama sebanyak 55,6 persen.
Sementara itu, untuk kategori shampoo sachet: merek Clear berada di posisi pertama dengan angka 50 persen, kategori sabun cair: merek Nuvo Cair sebanyak 67,1 persen, dan kategori perawatan tubuh: merek Pepsodent menempati posisi pertama dengan jumlah tertinggi 53,8 persen.
Hasil “Brand Audit Sampah Plastik di Bantaran Sungai Ciliwung Wilayah Kota Bogor” ini dipaparkan dalam peringatan hari jadi ke-7 media Tribunnews Bogor, dan dilanjutkan dengan diskusi lingkungan bertema “Ciliwung Milik Kita” (4/10).
Tak pelak, temuan sampah botol plastik ini mendapat perhatian khusus dari peserta diskusi. Dorongan agar botol dan gelas plastik diperbesar (Size up) agar mudah dikelola supaya tidak tercecer dan gampang didaur ulang pun mengemuka.
“Botol air mineral itu harus segera dihentikan produksinya (phase out), minimal ukuran botol yang diizinkan di pasaran nantinya hanya yang berukuran 1 liter,” kata Idham Arsyad, perwakilan dari Gabungan Produsen Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI), salah satu narasumber dalam acara bincang-bicang tersebut.
Temuan dari hasil brand audit ini sejalan dengan data persampahan di Indonesia. Berdasarkan data, gelas plastik (berikut sedotan) dan botol air mineral ikut mendongkrak volume sampah plastik sebesar 11,6 juta ton, atau 17% dari total produksi sampah nasional di Indonesia pada 2021. Jumlah tersebut naik dua kali lipat dari satu dekade sebelumnya.
Di samping itu, produksi AMDK gelas plastik tercatat sebesar 10,4 miliar setiap tahun. Pada segmen ini, market leader AMDK berkontribusi pada timbulan 5.300 ton sampah gelas plastik per tahun.
Sampah industri AMDK juga berasal dari botol plastik yang produksinya mencapai 5,5 miliar botol per tahun. Timbulan sampah botol plastik tercatat 83 ribu ton, atau hampir separuh timbulan sampah plastik industri AMDK. Separuh dari timbulan sampah botol ini merupakan sampah market leader AMDK.
Dalam acara diskusi yang sama, Ujang Solihin Sidik, Kasubdit Tata Laksana Produsen Direktorat Pengurangan Sampah KLHK, mengatakan bahwa berdasarkan Peta Jalan Pengurangan Sampah KLHK 2020-2029, memang ada sejumlah item plastik ukuran kecil yang sudah tidak boleh lagi diproduksi pada 2029. Produk plastik yang secara bertahap harus sudah dihentikan produksinya antara lain kemasan sachet kecil, sedotan plastik di restoran, café dan hotel.
“Termasuk juga sedotan plastik yang menempel pada minuman, dan juga wadah sytrofoam,” kata Ujang Solihin.
Menurutnya, produsen AMDK juga harus sudah mulai bertanggungjawab, misalnya dengan menarik kembali botol-botol plastik untuk didaur ulang di bank-bank sampah.
Sebagaimana diketahui, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui Permen LHK Nomor 75 Tahun 2019 menargetkan pengurangan sampah hingga sebesar 30 persen pada 2030.
Target pengurangan tersebut dilakukan dengan, antara lain mendorong produsen AMDK mengubah desain produk mini menjadi lebih besar (Size up) ke ukuran 1 liter, untuk mempermudah pengelolaan sampah.
Selain itu, produsen juga diwajibkan untuk mengimplementasikan mekanisme pertanggungjawaban terhadap produk dalam kemasan plastik yang dijual, saat nantinya produk tersebut menjadi sampah (Extended Producers Responsibility/EPR).
Produsen AMDK Botol Masih Bandel
Dua hal ini, upaya Size up dan EPR oleh produsen masih menjadi tantangan implementasi Permen KLHK No. 75/2019. Namun, produsen besar AMDK tampak masih mengabaikan pemerintah dengan memasarkan produk kemasan ukuran di bawah 1 liter.
Selain bertahan dengan tidak mengurangi produksi kemasan ukuran di bawah 1 liter, bahkan mereka juga dengan berani mengeluarkan produk baru kemasan botol ukuran mini 220 ml.
Pada prinsipnya, kata Ujang Solihin, ada tiga kewajiban mengikat produsen yang diatur dalam Peta Jalan KLHK. Menurutnya, selain membatasi timbulan sampah dari produk gelas dan botol plastik mereka, produsen juga wajib melakukan pendaurulangan dan pemanfaatan kembali produk yang sudah digunakan konsumen.
“Produsen punya kewajiban untuk menarik kembali botol-botolnya untuk didaur ulang menjadi botol atau produk lain dan melakukan pemanfaaatkan kembali,” kata Ujang Solihin.
Potensi besar dari pendaurulangan sampah plastik ini sempat diulas belum lama ini oleh Kasub Dir Prasarana dan Jasa Direktorat Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Bahan Beracun Berbahaya (B3), KLHK, Edward Nixon Pakpahan.
“Bisnis daur ulang yang merupakan bagian dari tren ekonomi sirkular berpotensi menciptakan 4,4 juta lapangan kerja baru dan menambah PDB Rp569-638 triliun pada 2030,” kata Nixon.
Dengan membangun ekosistem ekonomi sirkular yang menekankan pada daur ulang sampah, maka sampah bukan lagi dilihat sebagai persoalan, tapi akan dipandang sebagai sumber daya ekonomi baru yang berkelanjutan.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat
Tag Terkait: