Terbitnya Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 Tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukkan Untuk Penyediaan Tenaga Listrik beberapa waktu lalu mendapat respons beragam dari berbagai pihak.
Direktur Center Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira menilai Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 112 tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik memiliki beberapa pasal yang bermasalah.
"Ada beberapa pasal yang bermasalah dalam Perpres. Pasal 3 Ayat 4 tidak konsisten dengan rencana pengakhiran atau pensiun dini pembangkit PLTU," ujar Bhima saat dikonfirmasi Warta Ekonomi, Rabu (28/9/2022).
Baca Juga: Perpres EBT Disebut Jadi Komitmen Pemerintah untuk Capai NZE
Bhima mengatakan, jika berbicara secara ideal, maka sudah seharusnya pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dihentikan, terutama untuk kawasan industri karena dapat menimbulkan beberapa masalah.
"Pertama, atas nama pemenuhan konsumsi listrik di kawasan industri baru, pembangunan PLTU baru dari batu bara akan memunculkan masalah lingkungan yang berlanjut. Terutama sejak marak pembangunan kawasan industri baru di Batang, Brebes, dan Kendal serta pengembangan Morowali dan Konawe untuk industri nikel," ujarnya.
Kedua adalah, sudah maraknya pembangunan captive power plant atau PLTU baru yang diinisiasi oleh pemain swasta di kawasan industri Morowali dan Konawe.
Menurutnya, captive power plant menyumbang emisi karbon yang membahayakan warga. Ditambah PLTU pembangunan baru oleh PLN memperburuk upaya mencapai net zero emission (NZE) pada 2060.
Ketiga, akan terjadi kontradiksi karena kawasan industri yang dibangun adalah kawasan industri masa depan, yakni ekosistem kendaraan listrik termasuk pabrik baterai.
"Tapi PLTU gencar dibangun untuk menyuplai industri masa depan. Hal ini justru mengurangi minat investor karena rating ESG (Environment, Social, Governance) perusahaan di kawasan industri Indonesia akan rendah. Aneh rasanya, bangun pabrik mobil listrik tapi sumber listriknya dari fosil," tutupnya.
Jangan Setengah-Setengah
Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan mengatakan pemerintah harus serius dalam penerapan peraturan ini jangan sampai kejadian serupa terulang pada penerapan pajak karbon.
"Pemerintah harus konsisten dalam penerapan perpres ini. Jangan sampai seperti maju mundur seperti tarif karbon yang penerapannya sampai ditunda dua kali. Jelas ini membuat nama baik pemerintah dan keseriusan pemerintah menjadi terganggu," ujar Mamit saat dikonfirmasi Warta Ekonomi, Senin (26/9/2022).
Mamit mengatakan, Perpres 112/2022 ini merupakan langkah awal dalam regulasi terkait dengan EBT sambil menunggu disahkannya UU EBT.
Menurutnya, melalui Perpres ini, arah pengembangan EBT di Indonesia sudah semakin terlihat dan diharapkan konsisten dalam menjalankan Kepres tersebut.
"Termasuk juga pelarangan pembangunan PLTU baru bagi PLTU yang tidak masuk dalam RUPTL maupun yang tidak bisa memberikan dampak ekonomi," ujarnya.
Lanjutnya, melalui aturan harus mengurangi emisi sebesar 35 persen setelah 10 tahun beroperasi merupakan komitmen pemerintah untuk mengurang emisi dan menuju green.
Dengan begitu, pembatasan operasi sampai 2050 juga merupakan sebagai lngkah tepat menuju NZE pada 2060 yang akan datang.
"Pemerintah jika pun akan memberikan izin PLTU baru maka harus benar-benar memperhatikan segala aspek termasum multiplier effect-nya," tutupnya.
Diharapkan Menyelesaikan Masalah
Disahkannya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 112 tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik menjadi salah satu cara pemerintah untuk dapat mendorong pencapaian target Energi Baru Terbarukan (EBT) di Indonesia.
Pengamat Ekonomi dan Energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi menilai bahwa penetapan Perpres 112/2022 memang mendorong percepatan pengembangan EBT sesuai target bauran energi yang ditetapkan dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN).
"Namun, tidak mudah pencapaian target EBT itu. Pasalnya, masih banyak kendala yang dihadapi PLN untuk mewujudkannya. Misalnya, migrasi dari pembangkit listrik yang menggunakan batu bara ke EBT," ujar Fahmy saat dikonfirmasi Warta Ekonomi, Rabu (28/9/2022).
Fahmy mengatakan, selain dari investasi EBT lebih besar, ada permasalahan lain yaitu biaya operasional yang lebih mahal sehingga harga pokok produksi listrik jatuhnya akan lebih mahal dibandingkan energi fosil.
Maka dari itu, PLN sebagai perusahaan listrik pelat merah, menurutnya, tidak akan bisa melakukan migrasi ke EBT secara sendiri. Maka diperlukan investor sebagai IPP yang juga terlibat dalam pengembangan pembangkit EBT.
"Masalahnya, harga jual setrum EBT ke PLN dinilai masih terlalu rendah. Bagi investor kondisi itu dinilai tidak bisa mencapai keekonomian," ujarnya.
Kunci Ada di PLN
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa mengatakan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 112 tahun 2022 dimaksudkan untuk mendorong permintaan terhadap energi terbarukan (ET) melalui tiga ketentuan utama.
Fabby menyebut tiga ketentuan tersebut adalah pelarangan PLTU baru dan pensiun dini PLTU, tarif energi terbarukan yang mendorong pengembangan ET berdaya saing, dan pemberian insentif untuk meningkatkan keekonomian.
Menurutnya, jika ketentuan Perpres ini dilaksanakan dengan pengadaan (procurement) skala besar dan berkala oleh PLN, diharapkan minat investor berinvestasi di pembangkit ET akan meningkat.
"Dalam 2-3 tahun energi terbarukan bisa tumbuh cepat, apalagi kalau dibarengi dengan penghentian operasi PLTU tua lebih awal sebelum 2030," ujar Fabby saat dikonfirmasi Warta Ekonomi, Rabu (28/9/2022).
Fabby mengatakan, terdapat potensi 5 Giga Watt PLTU tua yang tidak efisien yang bisa diakhiri operasinya, dan tambahan PLTU yang bisa disubstitusi dengan pembangkit ET dengan mengimplementasikan Perpres tersebut.
Lanjutnya, jika melihat RUPTL PLN 2021-2030, direncanakan pembangunan ET sampai 2025 sebesar 10,9 GW. Untuk mencapai target 23 persen bauran ET sesuai RUEN, masih perlu tambahan 3-4 GW lagi.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Djati Waluyo
Editor: Rosmayanti