Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Bukan Kerugian Negara, BLT Minyak Goreng Disebut Karena Kenaikan Harga

Bukan Kerugian Negara, BLT Minyak Goreng Disebut Karena Kenaikan Harga Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Dalam sidang lanjutan perkara dugaan korupsi permohonan Persetujuan Ekspor (PE) minyak sawit mentah/Crude Palm Oil (CPO) dan turunannya (minyak goreng), saksi yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kementerian Sosial (Kemensos) mengakui tak ada kerugian negara. 

Direktur Perlindungan Korban Bencana Sosial Kemensos Mira Riyanti Kurniasih mengakui, tak ada kerugian negara dalam penyaluran BLT.

Sebab, anggaran BLT mengunakan, diambil dari pos anggaran bansos secara umum yang memang sudah dialokasikan dalam APBN sejak November 2021, jauh sebelum ada kenaikan harga dan kelangkaan migor.

“Sebenarnya itu diambil dari anggaran kami. Kami kan punya angggaran bansos, sejak November 2021. Dianggarkan untuk program reguler. Kami ini, sebelum ada BLT migor, sesuai tugas dan fungsi kemensos memang punya program BPNT dan program keluarga Harapan. Seperti itu,” jelas Mira.

Mira menjelaskan, harga migor di pasar domestik yang tinggi kala itu, tak terlepas dari tingginya harga CPO dunia di pasar internasional. Untuk meringankan beban masyarakat, sesuai arahan Presiden tanggal 1 April 2022, pemerintah pun memutuskan memberikan BLT yang akan diberikan kepada 20,5 juta KPM, penerima bantuan pangan non tunai, dan penerima program keluarga harapan.

“Sudah dimulai dari April (2022) kami realisasikan BLT untuk migor, anggaran untuk BLT sendiri, diambil dari pos anggaran bansos secara umum yang memang sudah dialokasikan dalam APBN sejak November 2021, jauh sebelum ada kenaikan harga dan kelangkaan migor,” jelas Mira.

Ia memastikan, tidak anggaran khusus yang secara dadakan diadakan untuk BLT migor yang diberikan sebesar Rp300 ribu dalam 3 bulan, atau Rp100 ribu perbulan per penerima manfaat. BLT tersebut tidak khusus ditujukan hanya untuk membeli migor, tapi juga kebutuhan pokok yang lain karena terimbas inflasi pangan dari migor.

“Jadi saat itu kami gunakan anggaran yang ada dulu untuk menindaklanjuti arahan presiden,” serunya.

Seperti diketahui, Kementerian Keuangan sendiri memutuskan untuk menambah jumlah penerima BLT minyak goreng menjadi 20,65 juta dari sebelumnya 20,5 juta penerima. Adapun penerima 20,65 juta ini berasal dari data termutakhir penerima Program Keluarga Harapan (PKH) dan bansos pangan yang tercatat di Kementerian Sosial (Kemensos).

Praktisi hukum Dr. Hotman Sitorus, S.H. MH. melihat, keterangan saksi yang dihadirkan JPU memang tak ada kerugian negara. Jadi dakwaan yang disampaikan JPU, --yang menyatakan, tindakan atau ulah para eksportir yang membuat minyak goreng yang beredar di pasar domestik menjadi langka dan mahal tak terbukti.

“Sebab, tingginya harga migor di pasar domestik, ternyata tak terlepas dari tingginya harga CPO dunia di pasar internasional. Jadi, bukan disebabkan oleh pelaku usaha dalam negeri,” kata Hotman, melalui siaran pers yang diterima redaksi, Kamis, 20/10/2022.

Apalagi, menurut Hotman, saksi memastikan, tidak ada anggaran khusus yang secara dadakan diadakan untuk BLT migor.

“Dengan pengakuan tersebut berarti tuduhan korupsi atau perbuatan melawan hukum tidak terbukti. Sehingga, dalil JPU yang menyatakan adanya korupsi di pengurusan PE CPO terbantahkan,” tegasnya.

Menurut Hotman, dugaan korupsi sejatinya berawal dari aturan pemerintah terkait dengan 20% kewajiban Domestic Market Obligation (DMO), dan ketentuan harga penjualan di dalam negeri (DPO) atas komoditas CPO dan turunannya.

“Aturan tersebut, syarat mutlak bagi para produsen CPO, dan turunannya, untuk mendapatkan PE CPO dan turunannya ke luar negeri. Tanpa itu, pelaku usaha tak bisa mengekspor CPO dan produk turunannya,” kata.

Menurut Hotman, tuduhan korupsi dalam kasus minyak goreng dengan melanggar ketentuan Pasal 25 dan Pasal  54 ayat (2) huruf a, b, e, f Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, telah menunjukkan adanya kekeliruan dalam memahaminya.

Umumnya, korupsi terjadi dalam dua perbuatan yaitu suap atau pengadaan barang dan jasa. Jika kemudian ada korupsi selain dari dua perbuatan tersebut maka perlu dikritisi. Hal ini terkait alasan ketaatan terhadap prinsip hukum. Hukum adalah hukum dan bukan politik.

“Tuduhan korupsi karena kelangkaan minyak goreng semestinya tidak terjadi karena tidak ada suap dan tidak ada pula pengadaan barang atau jasa,” katanya.

Ia menjelaskan, tiga unsur korupsi adalah (1) Pebuatan melawan hukum, dan (2) Kerugian Keuangan Negara atau Kerugian Perekonomian Negara, dan (3) Memperkaya diri sendiri atau orang lain.

"Tanpa ada pebuatan melawan hukum, tanpa ada kerugian keuangan negara, dan tanpa ada memperkaya diri sendiri atau orang lain juga tidak ada korupsi,” jelasnya.

Menurutnya, ketiga unsur haruslah diuraikan secara jelas dan terang dan kemudian dibuktikan di depan pengadilan. Hal itu, merunut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 25/PUU-XIV/2016 tanggal 25 Januari 2017 menyatakan, hasil penghitungan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara dalam perkara korupsi harus nyata dan pasti.

“Sementara penyaluran BLT merupakan kebijakan pemerintah sebagai bentuk tanggung jawab ketika melihat dan merasakan kesulitan yang dialami masyarakat. Bagaimana hal itu kemudian dianggap sebagai kerugian keuangan negara dengan jumlah yang sangat fantastis,” katanya.

Menurut Hotman, dakwaan dengan menggunakan Pasal 18 Undang-Undang Tipikor sangat berlebihan. Apalagi dalam beberapa kesaksian, terungkap bahwa jika proses pengurusan PE CPO telah sesuai dengan prosedur. Sehingga dugaan korupsi dalam pengurusan PE CPO tidak terpenuhi.

Kebijakan Berubah-Ubah Sulitkan Pelaku Usaha

Dalam persidangan sebelumnya, saksi Indra Wijayanto, Analis Perdagangan Direktorat Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting, Ditjen Perdagangan Dalam Negeri, Kementerian Perdagangan (Kemendag), mengakui dalam mengatasi persoalan kelangkaan minyak goreng, pemerintah seringkali melakukan perubahan kebijakan secara cepatdan mendadak sehingga menyulitkan pelaku usaha.

Menurut Indra, Kemendag kebingungan dalam menyikapi kenaikan harga CPO. Di satu sisi, Indonesia diuntungkan karena nilai ekspor naik, tetapi di sisi lain harga minyak goreng (migor) di dalam negeri ikut melambung.

“Kemendag sebenarnya sudah menemukan harga migor mulai merangkak naik pada Agustus 2021. Pada saat itu, sejumlah regulasi dikeluarkan Kemendag guna mengatasinya,” katanya.

Indra mengatakan, pemerintah telah berusaha keras untuk memastikan ketersediaan harga minyak goreng di pasaran sesuai dengan ketetapan Harga Eceran Tertinggi (HET).

Padahal, HET yang ditetapkan jauh selisihnya dari harga keekonomian yang sesungguhnya. Ujungnya, pelaku usaha jadi merugi.

“Pelaku usaha pasti merugi, HET yang ditetapkan jauh selisihnya dari harga keekonomian yang sesungguhnya. Minyak jenis apapun, merk apapun harus dijual dengan harga Rp14 ribu. Di mana, harga keekonomiannya sekitar Rp17.260," pungkas Indra.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Ferry Hidayat

Bagikan Artikel: