'BUMN Leadership Challenge': Relevansi Kultur-Strategi Bisnis
WE Online, Jakarta - Arah investasi anggaran pemerintahan Jokowi (Joko Widodo Red.), yang mengalokasikan anggaran Rp45 triliun sebagai tambahan penyertaan modal pada BUMN karya, mengindikasikan mereka tahu apa yang mereka perbuat. Ini kabar yang hebat! Tidak saja ada tambahan investasi, kini perseroan karya “pelat merah” itu juga tidak lagi diwajibkan untuk sesegera mungkin menyetor dividen mereka ke kas negara. Otomatis retained earning perseroan bisa dijadikan leverage tambahan modal kerja. Skenario seperti ini akan memperkuat kapasitas, kapabilitas, dan daya saing organisasi mereka.
Investasi menunjukkan minat dan keseriusan. Arah alokasi resources investasi menunjukkan komitmen. No investment, no commitment. Tanpa kejelasan investasi, perseroan tidak akan menuai panen. No investment, no risk. Tanpa investasi, kita tidak bisa mengarahkan perilaku organisasi. Kalau arah tabur sumber daya tidak jelas maka pengharapan tidak akan muncul. Padahal pengharapan adalah jiwa dan roh dari kegesitan organisasi.
Salah satu tantangan besar leadership BUMN adalah bagaimana meng-align kultur korporat dengan strategi bisnis mereka. Legacy perseroan BUMN pada umumnya adalah penugasan: menyangkut hajat hidup orang banyak. Dengan demikian, perilaku organisasi yang umumnya terbentuk dengan pakem assignment seperti itu adalah tanpa repot-repot memikirkan strategi bisnis pun, selama manajemen “tidak macam-macam”, demand akan ada dengan sendirinya. Orientasinya lebih banyak ke operasional daripada ke strategi bisnis.
Kini setting bisnis berubah. Pasar menjadi terbuka. Siapa pun bisa masuk menjadi berbagai operator public services. Kompetisi dan daya saing menjadi keyword. Transformasi menjadi keharusan. Business as usual tidak lagi beredar. Bagaimana perseroan sejatinya merancang corporate culture yang punya impact bisnis, bukan sekadar jargon.
Alignment Strategy: Kultur dan Struktur Organisasi
Sebagian besar transformasi kultur perseroan tidak berjalan mulus karena tidak ada alignment yang jelas antara kultur dan strategi andalan perseroan. Kalau misalnya strategi tempur andalan yang dipilih perseroan adalah competitive cost, maka kultur organisasi perlu dirancang agar ia aligned dengan strategi tersebut. Misalnya, strukturnya tidak boleh gemuk, overhead harus menjadi “musuh bersama”. Apa pun yang bisa digeser menjadi komponen variable cost, harus digeser menjadi unit variabel. Efisiensidan penghematan overhead menjadi kata kunci. Birokrasinya harus seramping mungkin. Cost awareness-nya harus hadir dalam diri tiap pekerja. Ada semangat untuk terus menyempurnakan operational excellence, agar bisa menghasilkan cost advantages. Setiap orang dalam proses produksi atau support service memikirkan upaya apa yang harus dilakukan agar menghasilkan suatu work flow dan sistem yang paling efisien. Dengan demikian, pekerja bisa melihat, kalau mereka bisa efisien maka competitiveness perseroan akan meningkat.
Mereka tidak hanya mengerjakan cost awareness program seperti itu, tetapi juga paham bahwa semua inisiatif tersebut dilakukan supaya perseroan memiliki senjata tempur andalan (dalam hal ini, cost leadership) yang bisa mereka pakai untuk memenangkan pasar. Dengan demikian, jika suatu strategi telah dipilih maka perseroan perlu mendesain kultur organisasi yang bisa mendukung strategi tersebut. Spirit seperti itu harus muncul.
Kalau strategi ketajaman harga itu diterjemahkan menjadi operational excellence dalam proses produksi, maka mereka akan tergerak untuk terlibat dalam gerak Program Lean. Atau, kalau strategi ketajaman harga dikaitkan dengan relokasi produk di tempat lain yang lebih terjangkau faktor biaya produksinya, atau subcontracting/outsourcing, maka dinamika relokasi akan disambut dengan antusias. Pendek kata, semua departemen, saya ulangi, semua departemen, harus punya orientasi yang sama dalam hal implementasi efisiensi.
Tidak saja perihal kultur dan spirit, tetapi juga struktur, sistem, dan kebijakan, serta berbagai hal lain dalam ranah desain organisasi, perlu bergerak secara sinkron terhadap strategi. Mengambil analogi konser musik orkestra, maka, dalam kasus seperti itu, setiap orang tidak bisa lagi memainkan musiknya sendiri-sendiri sesuai selera dan kepentingannya tanpa terkoordinasi oleh sang konduktor konser secara harmonis.
Tanpa kejelasan seperti itu, strategi bergerak sendiri, kultur bergerak secara arbitrer, attitude dan spirit juga berkembangan sekehendak hati mereka tanpa ada suatu alignment dengan strategi. Kalau hal itu yang terjadi, maka berbagai departemen dalam perseroan akan terasa seperti jalan dalam ego sektoral sendiri-sendiri. Dan, apabila ada suatu tekanan, hantaman terhadap competitiveness atau consumer complaint, maka Anda akan bisa langsung merasakan suatu iklim yang sering saling menyalahkan dan menuduh (blaming) departemen lain.
Implikasi Kultur-Engagement
Kultur tidak bisa berdiri sendiri. Jadi, perseroan perlu menciptakan relevansi yang jelas antara kultur yang ingin dibangun dan strategi yang dicanangkan. Dengan begitu, corporate citizen akan melihat bahwa perubahan iklim atau atmosfer yang ingin dibentuk bukanlah hanya sekadar untuk sebuah perubahan, apalagi sekadar ikut tren, melainkan suatu transformasi kultur yang punya relevansi amat kuat dengan strategi perseroan. Dengan kata lain, berhubungan dengan hidup dan matinya perseroan. Oleh karena dikaitkan dengan strategi, maka insan perseroan juga akan bisa melihat peran dan kontribusi mereka dalam program tersebut. Dengan konstelasi seperti itu, maka motivasi, keterlibatan, dan antusiasme untuk menyukseskan transformasi kultur baru akan terbentuk.
Kini, setiap insan perseroan bisa melihat bahwa arah transformasi kultur yang hendak dibentuk ini punya keterkaitan langsung dengan hidup-matinya perseroan dan nasib periuk mereka masing-masing. Hal yang terakhir ini berkaitan dengan vested interest insan perseroan. Ketika kelangsungan hidup organisasi dan individu tergantung pada sukses atau gagalnya sebuah implementasi program, maka fokus perhatian kolektif akan menjadi lebih mudah diarahkan. Employee engagement menjadi lebih mudah terbentuk. Dengan kata lain, kini keberhasilan transformasi kultur tidak hanya menjadi urusan organisasi, tetapi urusan setiap orang. Kalau kesatuan spirit korporat seperti itu terwujud, tentu shareholder tetap bisa tidur nyenyak ketika memutuskan untuk menyuntikkan investasi tambahan Rp45 triliun.
Penulis: Hendrik Lim, CEO Defora Consulting, [email protected]
Sumber: WE-02/XXVII/2014
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Cahyo Prayogo
Tag Terkait:
Advertisement