WE Online, Jakarta - Salah satu komponen keyboard notebook Samsung saya tidak bekerja dengan baik. Lalu saya membawanya ke service center resmi Samsung. Kemudian komponen itu diganti dan perangkat pun bekerja kembali dengan sempurna. Ketika komponen notebook tersebut saya cek, di dalamnya ada tulisan Made in China. Seraya bergurau, saya bertanya kepada petugas layanan di service center tersebut, "Ini produk terbaru dan mutakhir, kok buatan China? Saya maunya komponen yang ori." Petugas itu menjawab, "Ya, ini ori, Pak. Produksinya memang di China."
Dalam hati saya timbul rasa salut terhadap daya values creation China. Mereka seolah menganut pakem "Sebuah produk teknologi, mau dikembangkan di mana pun tidak masalah, yang penting produksi massalnya di China". Bagi Negeri Panda ini, apakah suatu produk ditemukan atau dikembangkan di Korea, Finlandia, AS, atau Jepang, tidak masalah, yang penting setelah tahap pengembangan (development) tersebut, produksi (manufacturing)-nya segera dilakukan di China. Mereka seolah mengusung tagline "R&D boleh di antah berantah, asal produksi massalnya di China".
Strategi ini terbilang amat jitu. Betapa tidak? China punya penduduk yang amat besar, dan adanya employment menjadi syarat mutlak untuk kemajuan negara. Dengan menjadikan negaranya basis produksi massal dari produk apa pun yang diciptakan dari negara mana pun, ia berhasil mengatasi tantangan besar yang dihadapinya. Untuk membuat negaranya dijadikan basis dan sentra produksi dunia, mereka membangun berbagai perangkat untuk mendukung suksesnya opsi strategi tersebut. Di antaranya, inter-koneksi logistik, iklim investasi, dan daya saing pekerja. Singkat kata, berbagai sumber daya yang dimiliki, diinvestasikan ke faktor produksi. Dengan demikian, kemampuan daya dukung values creation-nya menjadi amat hebat.
Kemampuan values creation akan menjamin daya komersial suatu entitas perseroan, industri, termasuk neraca perdagangan negara. Ia akan menciptakan penjualan, dan memastikan terus adanya aliran revenue untuk membiayai operasional dan pertumbuhan. Secara kolektif akan terdemonstrasikan dalam total produksi domestik. Kalau diperbandingkan lintas batas negara, kita bisa melihat seberapa besar kemampuan tersebut dibandingkan orang (negara) lain, dalam indikator neraca perdagangan.
Kalau secara agregat, defisit, itu berarti lampu kuning. Besar pasak daripada tiang. Dan, jika dibiarkan terus-menerus, ia menjadi lampu merah! Ketika tingkat values creation tumpul, daya saing akan kalah. Akibatnya? Perlahan tetapi pasti, penjualan akan menurun, dan bisnis akan terancam, ekonomi rentan.
Dalam kasus China, karena kemampuan values creation-nya begitu besar, maka pendapatan menjadi berlimpah, dan mereka sanggup membangun infrastruktur dalam skala besar-besaran. Misalnya, lintasan kereta api cepat, dibangun dalam waktu singkat dan menjadi yang terpanjang di dunia. Kesanggupan seperti ini tidak dinikmati India. Kontinen India yang amat luas, tidak terkoneksi sebaik China.
Bagaimana melihat keseriusan negara dalam menumbuhkan values creation?
Ada tiga hal dasar yang harus hadir apabila kita ingin mendorong lahirnya spirit values creation. Pertama, design policy. Policy harus bisa mendorong dan menstimulasi values creation. Tidak hanya mendorong, tetapi ia juga harus memaksa daya values creation dalam bentuk regulasi. Kedua adalah dengan mendesain perilaku kolektif. Salah satunya melalui gerakan revolusi mental. Misalnya, dekonstruksi mental konsumtif, mental mau hasil cepat, tetapi tidak mau tahu harga sebuah proses, mental suka pamer, dan hedonistic. Dan, yang ketiga adalah intervenes aplikasi teknologi dalam proses values creation.
Aplikasi teknologi akan bisa membantu proses yang transparan dan akuntabel. Proses yang abu-abu akan melahirkan berbagai praktik patgulipat dan kongkalikong. Semua ini menyebabkan ekonomi biaya tinggi dan mencekik.
Bagaimana dengan Indonesia? Seberapa jauh kemajuan track membangun values creation?
Kita bisa melihat dari komitmen dan arah investasi sumber daya yang dimiliki. Salah satunya adalah dengan melihat, apakah anggaran (yang amat terbatas) yang dimiliki negara tersebut dicurahkan ke sektor produksi, alias sektor-sektor yang mendukung daya values creation, atau disalurkan untuk sektor konsumtif dan poles kosmetik politik?
Melihat arah belanja negara pemerintah Jokowi saat ini, rasanya we are on the right track. Sumber daya anggaran dialihkan ke sektor infrastruktur yang akan mendukung ekonomi. Belum pernah terjadi dalam sejarah, porsi pembangunan infrastruktur sebesar sekarang ini. Dekade sebelumnya, yang kita lihat adalah sumber daya anggaran yang lebih banyak dipakai untuk membiayai subsidi konsumsi. Akibatnya, kemampuan values creation dan daya saing kedodoran.
Berbagai inisiatif adopsi teknologi via e-budgeting dan e-procurement juga bisa dipandang sebagai upaya penguatan dan perbaikan proses, sehingga praktik bisa ditekan. Sementara itu, upaya revolusi mental mulai sering didengungkan, meskipun belum tampak jelas kerangka implementasinya ataupun integrasinya ke dalam sebuah operating system. Tanpa kejelasan ini, kita bisa menduga, buah dari sektor revolusi mental ini jalannya masih amat panjang. Dari tiga instrumen di atas, tampaknya design policy sudah mulai fit.
Jika track ini bisa dipertahankan, dalam lima tahun mendatang, kita akan melihat dan menikmati peningkatan kemampuan values creation yang secara agregat bisa dipantau dari neraca perdagangan. Kalau ia surplus, mata uang akan meningkat dengan sendirinya. Rupiah akan terapresiasi. Ia akan terkoreksi dengan sendirinya. Dan, tidak perlu repot-repot membuang garam ke laut atas nama intervensi pasar.
Sumber: Majalah Warta Ekonomi Edisi 18
Penulis: Hendrik Lim, CEO Defora Consulting
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Cahyo Prayogo
Tag Terkait:
Advertisement