WE Online, Jakarta - Pilihan basis dan pola strategi korporat menentukan kelangsungan masa depan perseroan. Basis itu ditentukan oleh perspektif manajemen puncak dalam memandang bisnis. Pola dasar strategi korporat dari perseroan berbasis teknologi, termasuk Telkom, misalnya, bergerak dari competence to commercialization. Pakem ini menggunakan basis core competence mereka untuk merambah ke bisnis terkait, melakukan ekstensifikasi pasar dengan bermodal keunggulan keahlian mereka. Misalnya, dari bisnis jaringan, masuk ke selular, internet wifi, maupun fiber optic lewat Speedy atau TV berbayar. Pakem strategi korporat ini banyak diadopsi perseroan di Indonesia, lewat integrasi vertikal, baik ke hilir maupun ke hulu. Berbagai industri, BUMN bidang jasa konstruksi, misalnya, mereka bergerak ke arah property developer atau engineering, procurement, dan contractors (EPC).
Basis pemikirannya adalah perseroan merasa punya core competence suatu bidang, kemudian bergerak ke sisi lain dari values chain. Pola ini juga ditemui dalam industri tekstil dan produk tekstil (TPT), dari pabrik tekstil kain dan benang masuk ke industri kimia polimerisasi biji plastik. Atau, terjun ke sektor hilir manufacturing garment. Bahkan bisa masuk makin ke hilir dalam bentuk retailer. Contoh lain bisa dilihat dari industri pabrikasi mobil, yang juga terjun dalam sektor pembuatan suku cadang aki, ban, atau hal-hal sejenis, bahkan rental dan services (bengkel). Pola ini amat jamak dianut oleh grup perseroan besar di Indonesia.
Untuk Telkom, lazimnya industri padat modal, teknologi, dan high caliber SDM, opsi ini bisa dianggap memaksimalkan leverage komersial atas kompetensi mereka. Di samping memiliki berbagai kekuatan, opsi ini tentu saja mengandung risiko. Apa saja risiko utamanya, yang jika tidak diperhatikan bisa mengancam ketajaman komersialisasi value creation mereka?
Kekuatan dari desain strategi korporat ini adalah bisa mengontrol supply chain, baik kuantitas, kualitas, maupun kebijakan setting harga. Selain itu, mereka memiliki captive market. Dengan demikian, volatilitas pasar bisa diminimalisasi. Risikonya, kalau satu sektor anak usaha terguncang, ia merembet ke anak perseroan lainnya dalam grup yang sama. Fenomena inilah yang paling nyata terpantau ketika ekonomi Indonesia mengalami turbulensi pada krisis ekonomi 1997, belasan tahun yang lalu.
Sudut Pandang Bisnis
Bagaimana sudut pandang (angle) pengembangan usaha dari pola seperti ini? Fokus dari strategi ini cenderung focus-in, melihat kemampuan dan kompetensi internal organisasi. Dalam lingkungan bisnis yang berubah secara revolusioner, perspektif seperti ini bisa berbahaya. Jika manajemen puncak tidak jeli memantau dan mendeteksi pergeseran pasar dan preferensi konsumen, jika analisis kebutuhan dan capture trend konsumen tidak tepat alias terabaikan, maka eksistensi kompetensi menjadi tidak relevan terhadap kebutuhan pasar. Apa yang mereka hasilkan bisa kurang tajam (tidak menggigit) terhadap tren perubahan preferensi konsumen. Kalau ini yang terjadi, efek komersialisasi akan tumpul.
From Commercialization to Competence
Pola ini melihat apa yang saling mengikat dan berhubungan dalam suatu grup bisnis. Contoh yang tetap untuk menggambarkan strategi ini bisa dilihat dari strategi korporat Grup Lippo. Arah perkembangannya tidak berdasarkan kompetensi spesifik yang dimiliki perseroan, tetapi pada sektor bisnis apa yang relevan dengan usaha inti mereka. Kemudian dicarilah kaum profesi yang punya kompetensi spesifik itu untuk menjalankan unit usaha tersebut.
Kehebatan dari strategi korporat ini adalah masing-masing unit bisnis bisa berdiri sendiri-sendiri secara otonom. Namun, ketika mereka bersama-sama masuk dalam suatu grup usaha, maka kekuatan sinergis akan muncul dan menciptakan suatu aliansi dan saling dukung yang sangat kuat. Efek orkestra dan keteraturan denyut bisnis antar-anak perseroan amat harmonis. Dalam contoh Grup Lippo di atas, sub-grup usaha yang mereka bentuk semuanya memiliki ekuitas branding yang otonom dan berkembang, seperti Siloam (rumah sakit), Aryaduta (hotel), Hypermart (supermarket besar), Pelita Harapan (unit edukasi; toko buku), dan terakhir Cineplex konon juga bisnis yang ingin mereka rambah. Mungkin itu sebabnya, performance anak perseroan Grup Lippo yang telah go public, harga saham mereka sangat baik kenaikannya. Pola ini bukan pola strategi yang lazim di Indonesia, tetapi bisa menjadi sebuah pakem yang hebat untuk diadopsi.
Kekuatan lainnya adalah titik pandang pengembangan usaha dilihat dari sektor bisnis relevan, apa yang dibutuhkan masyarakat konsumen, dan berhubungan dengan usaha. Dengan demikian, fokus perspektifnya adalah focus-out, mengikuti keinginan konsumen. Selain tangible benefits, keuntungan lain yang amat bernilai dari strategi ini adalah brand equity dari masing-masing sektor akan terwujud.
Opportunity-Based Diversification
Strategi ketiga yang juga sering digunakan adalah perseroan bergerak cepat ke mana saja begitu ada kesempatan bisnis. Mereka dengan cepat masuk mengikuti insting entrepreneurial yang amat kuat. Ia bergerak mengikuti ke mana arah angin bisnis bertiup. Implikasinya, perseroan bisa bergerak di bidang mana saja. Sinergis kompetensi antar-grup tidak bisa dinikmati. Masing-masing unit bergerak sendiri secara otonom. Faktor positif dari pola seperti ini adalah diversifikasi risiko. Namun, perseroan yang bergerak dalam ranah strategi korporat seperti ini tidak bisa menikmati kekuatan sinergis atau competitiveness yang sustainable. Brand equity dari masing-masing portofolio juga tidak muncul.
Pada akhirnya, apa pun basis strategi korporat yang akan dipilih dan diadopsi oleh perseroan, ia hanyalah sebuah tool untuk mendekatkan apa yang mereka hasilkan untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan konsumen. Yang penting, perseroan memiliki pemahaman yang jelas dan tiga ambigu opsi yang mereka pilih, konsekuensi dan peluang dari pilihan tersebut. Bagaimanapun, pilihan basis strategi tersebut akan menentukan sustainabilitas dan masa depan perseroan.
Penulis: Hendrik Lim, CEO Defora Consulting, [email protected]
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Cahyo Prayogo
Tag Terkait:
Advertisement