Inflasi, Krisis Utang, dan Perang Adalah Sumber Ketakutan Baru Dunia, Pakar: Kita Harus Apa?
Oleh: Achmad Nur Hidayat, Pakar Kebijakan Publik
Dunia kini dilanda ketakutan. Masa-masa berat sudah mulai dirasakan oleh semua orang yang diprediksi semuanya akan semakin berat di tahun-tahun mendatang.
"Ada tiga kekhawatiran ekonomi dan bisnis dalam kurun 2023-2024 ke depan yaitu inflasi tinggi, krisis utang negara dan swasta, dan biaya hidup publik," kata ekonom dan pakar kebijakan publik Narasi Institute Achmad Nur Hidayat, dalam keterangan tertulisnya, Senin (7/11/2022).
Baca Juga: Kesuksesan KTT G20 Makin Jauh, Pakar: Lihat Potensi Perang Korea Utara Vs Korea Selatan
Achmad mencatat, raksasa ekonomi dunia seperti Amerika serikat saat ini tingkat inflasi hampir 9%, Inggris, Jerman, dan negara-negara Eropa mengalami inflasi lebih dari 10%. Yang paling parah adalah Turki dan Argentina yang lebih dari 80%.
Sementara itu, sambungnya, Indonesia mendapati kondisi inflasinya masih lebih baik dibanding negara-negara yang tersebut di atas. Namun itu tidak menjadi ukuran dan jaminan ekonomi kuat di masa depan.
"Indonesia saat masih bisa menikmati windfall komoditas yang harga-harganya sedang naik sehingga mendapatkan surplus. Alhasil saat ini tingkat inflasi Indonesia ada di level 5,71%, tapi itu pun tidak menjamin akan sama di masa-masa mendatang yang kemungkinannya kemampuan impor negara-negara penerima ekpor komoditas dari Indonesia akan semakin melemah," paparnya.
Terbukti, kata Achmad, dengan turunnya permintaan di industri tektil dan sepatu seperti yang media-media beritakan beberapa waktu yang lalu yang mengakibatkan lebih dari 64.000 orang di-PHK.
"Pemicunya seperti chain reaction, dari mulai pandemi yang memporak-porandakan tatanan kehidupan manusia, disusul konflik Rusia dengan Ukraina yang menyebar ke berbagai negara sebagai dampak turunan dari konflik tersebut yang imbasnya menerpa semua negara tanpa memandang negara-negara tersebut terlibat konflik ataupun tidak," terang ekonom Narasi Institute.
Masalah inflasi tinggi, krisis utang negara dan swasta dan biaya hidup publik, tiga temuan tersebut berdasarkan survei kesadaran manajemen perusahaan diumumkan oleh Forum Ekonomi Dunia (WEF) pada tanggal 7 November lalu.
Baru pertama kali dalam 10 tahun terakhir, masalah lingkungan telah didrop dari 3 masalah utama bagi ekonomi dan bisnis ke depan tersebut. Tapi tidak bisa diartikan masalah lingkungan ini berkurang. Tapi ini adalah pergeseran urutan berdasarkan naiknya tingkat ancaman dari 3 permasalahan di atas yang saat ini melanda dunia.
Ini menunjukan persepsi kalangan bisnis dan ekonomi di 20 negara telah mengalami perubahan. Sebesar apapun masalah lingkungan saat ini ternyata masalah inflasi, debt crisis dan daya beli dinilai jauh lebih besar dampaknya bagi kehidupan 2 tahun yang akan datang.
Tentunya melemahnya ekonomi negara-negara di dunia berdampak kepada melemahnya kemampuan negara-negara tersebut dalam menangani berbagai persoalan, termasuk di dalamnya masalah lingkungan.
Semakin banyak orang yang kelaparan. Angka stunting akan naik di setiap negara yang terkena dampak.
Terakhir dikabarkan China sudah tidak sanggup untuk memberikan bantuan-bantuan dana ke negara-negara Afrika. Banyak negara-negara di Afrika yang terjebak dengan hutang ditengah kenaikan suku bunga yang ekstrim yang dilakukan oleh bank-bank sentral akibat inflasi.
"Dan bagaimana dengan kemampuan Indonesia menghadapi 3 masalah di atas? tanyanya.
"Ini masih menjadi pertanyaan publik. Langkah-langkah konkret pemerintah tampaknya belum terlihat, hari ini masih berputar-putar di wacana seperti food estate, dan lain-lain yang progres dan hasilnya belum dapat dirasakan. Semuanya masih kabur, tentu saja ini bukan hal yang dapat membangun optimisme bagi publik," tegas Achmad.
Pakar kebijakan publik itu menegaskan, lagi-lagi, publik harus mencari jalan keluar sendiri untuk menghadapi kehidupan berat yang akan dihadapi.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Muhammad Syahrianto
Tag Terkait: