Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Menuju NZE, Beginilah Arah Kebijakan Transisi Energi

Menuju NZE, Beginilah Arah Kebijakan Transisi Energi Kredit Foto: SUN Energy
Warta Ekonomi, Jakarta -

Direktur Perencanaan dan Pembangunan Infrastruktur Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi, Kementerian ESDM, Hendra Iswahyudi mengatakan, transisi energi mempertimbangkan berbagai aspek antara lain kecukupan, keandalan, keberlanjutan, keterjangkauan, dan keadilan.

Hendra menyebut posisi bauran energi terbarukan Indonesia saat ini masih di level 12-13 persen. Percepatan transisi energi terus dilakukan antara lain melalui pembangunan PLT EBT on grid, implementasi PLTS Atap, konversi PTD ke PLT EBT, mandatori B30 dan lain sebagainya. 

"Selain itu, Pemerintah juga telah menerbitkan Perpres No.112 Tahun 2022 sebagai penguatan regulasi dalam percepatan pengembangan energi terbarukan untuk penyediaan tenaga listrik," ujar Hendra dalam keterangan tertulis yang diterima, Rabu (23/11/2022). 

Baca Juga: Potensi Migas Indonesia Begitu Besar di Tengah Transisi Energi, Ini Sikap Pemerintah

Hendra mengatakan realisasi penurunan emisi gas rumah kaca sektor energi semakin meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2021, sektor energi berhasil menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 70 juta ton CO2e.

Sementara itu, Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto menjelaskan bahwa DPR berkomitmen memberikan dukungan politik terhadap transisi energi, terutama untuk mewujudkan keadilan listrik. 

"Apalagi masih terdapat desa-desa yang belum mendapatkan listrik di tengah kondisi surplus di Jawa dan Sumatera. Sehingga transisi energi juga harus mempertimbangkan aspek keadilan energi," ujar Mulyanto. 

Lanjutnya, DPR RI mendukung pengembangan energi bersih dari jenis apapun sepanjang harga listrik terjangkau bagi masyarakat salah satunya adalah dengan Rancangan undang-undang (RUU) Energi Baru, Energi Terbarukan (EBT). 

"Namun, sampai saat ini DPR RI masih belum menerima DIM dari Pemerintah padahal di dalam UU P3 Tahun 2022 (pasal 45) menyatakan bahwa pemerintah menerbitkan surat presiden yang menunjuk menteri yang bertanggung jawab paling lama 60 hari dan wajib menyertakan DIM, " ujarnya.

Di sisi lain, ekonom senior Institute for Development on Economics and Finance (Indef) Faisal Basri mengatakan tren transisi energi di level global menunjukkan kenaikan, namun di Indonesia masih stagnan.

"Data membuktikan bahwa biaya renewable energy dunia cenderung menurun, tetapi anehnya di Indonesia justru mahal, tentu ada yang salah," ujarnya. 

Faisal mengatakan, energi surya terus dimanfaatkan negara-negara dunia antara lain di China, Jepang, Jerman, Amerika, India. 

"Tetapi Indonesia masih kecil sekali pemanfaatan PLTS, bahkan lebih kecil dibandingkan Vietnam. Selain itu, berbagai negara yang berhasil menurunkan emisi memperlihatkan dampak postif terhadap pertumbuhan ekonomi," ucapnya. 

Kepala Center of Food, Energy and Sustainable Development (CFESD) Indef Abra Talattov mengatakan, transisi energi perlu didukung sebagai wujud komitmen terhadap mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. 

Namun, ambisi dalam mendorong transisi energi sudah seharusnya dilaksanakan secara rasional, bertahap, dan terukur dalam rangka menjaga ketahanan dan kedaulatan energi nasional. 

"Transisi energi di Indonesia menghadapi tantangan besar berupa missmatch antara pasokan dengan permintaan listrik sehingga menimbulkan kondisi oversupply yang besar," ungkapnya. 

Oleh karena itu, kebijakan transisi energi semestinya jangan hanya berfokus pada sisi supply, tetapi juga harus memperhitungkan sisi demand yang saat ini realisasinya masih jauh lebih rendah dari asumsi pemerintah.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Djati Waluyo
Editor: Rosmayanti

Bagikan Artikel: