Bank Indonesia (BI) optimistis ekonomi Indonesia akan tetap tumbuh kuat pada tahun 2023 kendati gejolak ekonomi global belum mereda, bahkan semakin meningkat.
"Bank Indonesia memprakirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2023 tetap kuat pada kisaran 4,5-5,3%, dan akan terus meningkat menjadi 4,7-5,5% pada 2024," ujar Gubernur BI Perry Warjiyo saat Pertemuan Tahunan BI (PTBI) 2022 di Jakarta, Rabu (30/11/2022).
Dia menjelaskan, berlanjutnya proses pemulihan ekonomi Indonesia didorong oleh solidnya permintaan domestik, baik konsumsi swasta maupun investasi, sejalan dengan terus meningkatnya mobilitas dan aktivitas ekonomi keuangan. Baca Juga: Pekan Keempat November 2022, BI Prediksi Inflasi 0,18 Persen
"Tetap positifnya kinerja ekspor didukung oleh kenaikan nilai tambah dari hilirisasi industri berbasis sumber daya alam, serta berlanjutnya penyelesaian Program Strategis Nasional (PSN)," pungkasnya.
Sementara itu, inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) diprakirakan menurun dan kembali ke dalam sasaran 3,0±1% pada 2023 dan 2,5±1% pada 2024, dengan inflasi inti akan kembali lebih awal pada paruh pertama 2023.
"Hal ini seiring dengan tetap terkendalinya inflasi harga impor (imported inflation) dengan nilai tukar Rupiah yang stabil dan respons kebijakan moneter yang front loaded, pre-emptive, dan forward looking," imbuhnya.
Koordinasi kebijakan yang erat dengan Pemerintah Pusat dan Daerah melalui Tim Pengendalian Inflasi Pusat dan Daerah (TPIP dan TPID) dan Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan (GNPIP) berkontribusi kuat pada terkendalinya inflasi.
"Sinergi dan inovasi merupakan kunci dari prospek kinerja ekonomi Indonesia pada 2023 dan 2024 yang akan melanjutkan ketahanan dan kebangkitan ekonomi," papar Perry.
Menurutnya, sinergi dan inovasi juga sebagai kunci untuk menghadapi gejolak global. Optimisme terhadap pemulihan ekonomi perlu terus diperkuat dengan tetap mewaspadai rambatan dari ketidakpastian global, termasuk risiko stagflasi (perlambatan ekonomi dan inflasi tinggi) dan bahkan resflasi (resesi ekonomi dan inflasi tinggi).
"Hal ini mengingat risiko koreksi pertumbuhan ekonomi dunia dan berbagai negara dapat terjadi apabila tingginya fragmentasi politik dan ekonomi terus berlanjut, serta pengetatan kebijakan moneter memerlukan waktu yang lebih lama untuk mampu menurunkan inflasi di masing-masing negara," tuturnya.
Adapun pertumbuhan dunia kembali direvisi menjadi 3,0% pada tahun 2022 dan menurun menjadi 2,6% pada 2023 dengan kecenderungan risiko ke bawah, sebelum membaik menjadi 2,8% pada 2024. Baca Juga: BI Gandeng Kemnaker Kembangkan Kompetensi SDM di Bidang SPPUR
Koreksi penurunan yang tajam terutama terjadi di AS, Eropa, dan Amerika Latin pada tahun 2023 yang bahkan disertai dengan meningkatnya risiko resesi. Hal ini karena di ketiga kawasan tersebut kontraksi pertumbuhan terjadi bersamaan, baik dari sisi penawaran karena terbatasnya pasokan energi akibat ketegangan geopolitik maupun dari sisi permintaan karena pengetatan moneter yang agresif dan menurunnya daya beli konsumsi akibat tingginya inflasi.
Sementara itu, koreksi pertumbuhan relatif lebih kecil di negaranegara yang pengetatan kebijakan moneternya relatif tidak agresif dan/atau mempunyai pasokan energi dan pangan domestik yang lebih baik.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Fajar Sulaiman
Editor: Fajar Sulaiman
Tag Terkait: