Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Polemik Sinyal 'Uban dan Kerutan Wajah' Presiden Jokowi, Peneliti Sebut Harus Netral

Polemik Sinyal 'Uban dan Kerutan Wajah' Presiden Jokowi, Peneliti Sebut Harus Netral Kredit Foto: Andi Hidayat
Warta Ekonomi, Jakarta -

Pernyataan Presiden RI Joko Widodo terkait ‘rambut putih dan kerutan’ masih menjadi misteri sekaligus polemik. Pasalnya, pernyataan orang nomor satu ini bisa dianggap sebagai sinyal dukungannya kepada bakal calon RI selanjutnya.

Selain itu menurut Peneliti Ahli Utama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), R Siti Zuhro, penyataan Jokowi juga bisa dianggap tidak netral oleh publik.

“Pernyataan Jokowi tersebut bisa diterjemahkan dan dimaknai tidak netral oleh publik,” kata Zuhro, Kamis (1/12/2022).

Menurut Zuhro, pemilihan umum (Pemilu) memberikan peluang kepada calon untuk berkompetisi dan rakyat sebagai pemilik suara akan menentukan pilihannya.

“Jokowi tidak sekadar sebagai individu, tapi pada dirinya melekat predikat sebagai presiden (kepala negara dan kepala pemerintahan). Karena itu ucapannya akan menjadi rujukan dan perbincangan yang senantiasa disorot publik,” terang Zuhro.

Baca Juga: Jika Jadi Presiden, Proyek IKN Jokowi Bakal Diberangus? Jawabannya Sungguh Mengejutkan! Anies Baswedan: Kita Ingin Agar…

Zuhro menuturkan, persyaratan tentang calon presiden dan wakil presiden sudah ada ketentuannya. Meskipun demikian kalau ditarik ke tataran makro, konstitusi Indonesia tidak cukup melembagakan proses seleksi pemimpin secara demokratis, tapi hanya mengatur prinsip-prinsip ketatanegaraan dan pemerintahan quasi presidensial yang bersifat umum.

“Konstitusi masih dipengaruhi oleh sistem kabinet parlementer pasca-Proklamasi,” kata dia.

Zuhro melanjutkan, perjalanan demokrasi terputus sejak 1958-1959 sehingga tradisi seleksi kepemimpinan belum melembaga. Dalam hal ini, para pemimpin Republik terpanggil dan terpilih melalui seleksi sejarah.

Praktik sistem Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru menutup peluang lahirnya pemimpin secara “normal” karena menempatkan birokrasi, sipil dan militer sebagai satu-satunya sumber rekrutmen pemimpin (bureaucratic polity). Praktik sistem demokrasi pasca orde baru (era reformasi) ditandai dengan diselenggarakannya pemilu secara teratur lima tahun sekali, sehingga menghasilkan suksesi kepemimpinan yang ajeg.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Bayu Muhardianto

Bagikan Artikel: