Persidangan kasus Persetujuan Ekspor (PE) minyak sawit mentah yang juga dikenal sebagai kasus minyak goreng, akan segera berakhir. Besok, Rabu (4/1/2023), majelis hakim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta akan membacakan vonis untuk para terdakwa.
Dalam persidangan tersebut kelima terdakwanya adalah mantan Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Kementerian Perdagangan (Kemendag) RI, Indra Sari Wisnu Wardhana, mantan Komisaris PT. Wilmar Nabati Indonesia, Master Parulian Tumanggor, mantan Senior Manager Corporate Affair PT VAL, Stanley MA, mantan General Manager (GM) Bagian General Affair PT MM, Pierre Togar Sitanggang, serta mantan Penasihat Kebijakan/Analis pada Independent Research & Advisory Indonesia (IRAI), sekaligus Tim Asistensi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia, Weibinanto Halimdjati alias Lin Che Wei.
Seperti diketahui, kasus tersebut terjadi saat di dalam negeri tengah berlangsung krisis minyak goreng, yang dipicu oleh melonjaknya harga minyak sawit di pasar internasional. Merespon kondisi itu, Menteri Perdagangan (Mendag) yang pada awal tahun 2022 dijabat oleh Muhammad Lutfi, mengajak Lin Che Wei untuk memecahkan masalah krisis minyak goreng. Pemerintah melalui Kemendag pada awal tahun 2022 akhirnya mengeluarkan kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) serta Domestic Price Obligation (DPO).
Melalui kebijakan itu, setiap perusahaan yang berniat memperoleh PE minyak sawit mentah dan sejumlah turunannya, wajib menyisihkan sebagian untuk kebutuhan pasar dalam negeri, atau DMO. Minyak yang disisihkan untuk kebutuhan dalam negeri harganya harus sesuai dengan aturan pemerintah, atau DPO. Kebijakan tersebut bertujuan untuk mengakhiri krisis minyak goreng yang terbuat dari minyak sawit.
PT. Wilmar Nabati Indonesia, PT VAL, serta PT MM, adalah sebagian perusahaan yang mengajukan PE ke Kemendag melalui sistem daring. Dalam pengajuan PE, perusahaan-perusahaan tersebut juga menyertakan sejumlah dokumen yang membuktikan bahwa mereka telah memenuhi persyaratan DMO dan DPO. Pengajuan oleh perusahaan-perusahaan itu disetujui oleh Indra Sari Wisnu Wardhana.
Setelah ekspor dilakukan, ternyata krisis minyak goreng di dalam negeri belum juga berakhir. Belakangan diketahui, perusahaan-perusahaan tersebut memberikan dokumen yang tidak sesuai dengan kondisi di lapangan. Alhasil pemerintah terpaksa menggelontorkan program Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang nilainya mencapai lebih dari Rp 6 triliun. Selain itu, penegak hukum juga mulai menjerat orang-orang yang terlibat di dalam kasus minyak goreng.
Kelima terdakwa dituntut antara 7 - 12 tahun penjara. Selain para terdakwa dituntut mengganti kerugian negara akibat korupsi PE, mereka juga diminta mengganti anggaran BLT pemerintah, yang jumlahnya mencapai lebih dari Rp 6 triliun. Master Parulian Tumanggor adalah terdakwa yang dituntut mengganti kerugian negara paling besar, yakni Rp 10.980.601.063.037.
Dalam persidangan yang digelar pada 6 Desember lalu, saksi ahli dari Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (UGM), Rimawan Pradiptyo, dalam kesaksiannya sempat mengakui bahwa dirinya menggunakan metode Input Output dalam penghitungan kerugian negara, antara lain karena keterbatasan data. Dia juga mengakui bahwa dirinya tidak menghitung pemasukan negara yang didapat dari ekspor yang sudah dilakukan para terdakwa.
"Di dalam analisis, itu tidak saya perhitungkan, karena dilihat shortage nya," ujar Rimawan Pradiptyo.
Dosen UGM itu menjelaskan bahwa analisanya berfokus pada dampak dari yang dilakukan para terdakwa, terhadap krisis minyak goreng atau shortage yang terjadi di dalam negeri. Sehingga pemasukan negara yang didapat dari ekspor yang dilakukan seperti pajak dan bea cukai, tidak dipertimbangkan dalam penghitungan kerugian negara.
Rimawan Pradiptyo mengatakan bahwa ekspor yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan tersebut, telah memberikan manfaat kepada negara. Jika dirinya diberikan data-data soal manfaat yang didapat negara dari ekspor tersebut, dia mengaku bisa melakukan penghitungan. Rimawan Pradiptyo menyebut jika manfaat yang berupa pemasukan untuk negara ikut dipertimbangkan, maka nilai kerugian negara yang tercantum dalam tuntutan para terdakwa bisa berkurang.
“Kalau itu (variabel manfaat) dimasukkan, maka angka kerugiannya akan turun lagi,” ujar Rimawan Pradiptyo.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Sufri Yuliardi
Editor: Sufri Yuliardi
Tag Terkait:
Advertisement