Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Kritisi Kelangkaan dan Kenaikan Harga Minyak, Faisal Basri: Kebijakan Pemerintah Semrawut

Kritisi Kelangkaan dan Kenaikan Harga Minyak, Faisal Basri: Kebijakan Pemerintah Semrawut Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Kelangkaan dan kenaikan harga minyak goreng di sejumlah wilayah di Indonesia yang mulai terjadi pada tahun 2022 lalu kini kembali terulang pada awal tahun 2023 di mana "Minyakita" sebagai minyak goreng kemasan subsidi milik pemerintah mulai sulit diakses oleh masyarakat di saat harga minyak melambung jauh dari harga eceran tertinggi (HET).

Menurut Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan, salah satu yang menjadi penyebab terjadinya kelangkaan Minyakita adalah adanya program biodiesel B35 yang berlaku mulai 1 Februari 2022 di mana kebijakan biodesel dinilai telah menyebabkan pasokan minyak sawit mentah (CPO) yang juga merupakan bahan baku utama minyak goreng menjadi lebih banyak terserap ke program tersebut dibandingkan dengan industri lainnya.

Adapun respon dari Pemerintah untuk menekan kelangkaan justru diambil dengan melakukan pelarangan ekspor CPO. Menyoroti hal ini, akademisi sekaligus ekonom senior Faisal Basri menyampaikan bahwa langkah larangan ekspor telah menghilangan kesempatan dari CPO yang dalam hal ini negara tidak menggunakan langkah dengan konsep opportunity cost, melainkan hanya sebatas konsep satu sisi saja.

"Katakanlah kita pakai data Gaikindo, di situ ditunjukkan tahun 2022 produksi CPO turun kemudian ekspor juga turun. Penurunan ekspor lebih tajam daripada penurunan produksi karena serapan di dalam negerinya meningkat cukup tajam dari 18,4 juta ton pada 2021 menjadi hampir 21 juta ton pada tahun 2022. Jadi minyak goreng harganya naik bukan karena kelangkaan CPO. Itu juga terjadi dari tahun 2020 ke 2021, ekspor juga turun, nah komplainnya kan kelangkaan CPO di dalam negeri, sangat tidak betul," tutur Faisal dalam webinar Problematika Minyak Goreng, CPO Bagi Pangan vs Energi pada Sabtu (4/2/2023).

Baca Juga: Temuan KPPU Harga Minyak Goreng Melampaui HET, Stok Langka

Pengaturan terkait dengan penggunaan CPO untuk energi (B35) dan pangan (minyak goreng) hingga saat ini masih menjadi sumber persoalan, khususnya tata kelola sawit khususnya tata kelola dan distribusi minyak goreng perlu mendapatkan perhatian lebih dan dibenahi. Diketahui saat ini kebutuhan CPO untuk program B35 sebanyak 13 juta ton CPO, meningkat 4 juta dari program B20 yang hanya membutuhkan 9 juta ton CPO. Hal ini menunjukkan bahwa ada persaingan terjadi antara kebutuhan CPO bagi energi (B35) dan kebutuhan CPO bagi pangan (minyak goreng).

"Oleh karena itu penerapan Domestic Price Obligation (DPO) dan Domestic Market Obligation (DMO) ngawur juga karena tidak ada kelangkaan. Oleh karena itu tidak benar juga kebijakan yang diumumkan Pak Jokowi CPO dilarang ekspor. Tidak ada masalah dengan ekspor. Jadi semrawut, kita tidak tahu siapa kondekturnya. Semrawut sekali," ujar Faisal.

Ia menambahkan, "dikatakan oleh Pak Luhut meniru batu bara, batu bara kan ada DMO dan DPO. Tapi ingat jangan meniru batu bara begitu saja karena di batu bara itu tidak ada yang namanya pajak ekspor, 0 pajak ekspornya. Jadi ini sudah dikenakan pajak ekspor sawit ini, dikenakan bea sawit, ditambah DPO DMO, luar biasa dahsyatnya kerusakan yang terjadi itu, tumpang tindih tidak karuan. Asal niru."

Dengan ekspor CPO yang menurun dan alokasi CPO untuk dalam negeri semakin naik signifikan dari 18,4 juta ton menjadi hampir 21 ton, Faisal menegaskan bahwa yang terjadi sebenarnya adalah tidak ada kelangkaan CPO di dalam negeri. "Yang masalah adalah Pemerintah secara sembrono itu menetapkan ada dua harga CPO. Ini yang jadi masalah. Harga CPO untuk biodiesel lebih tinggi, kalau CPO dijual ke biodiesel lebih tinggi, karena kalau lebih rendah disuntik sama dana sawit yang dinolkan setelah ada ribet-ribet itu."

Baca Juga: Jadi Pilihan Dunia, Ini Lima Keunggulan Minyak Sawit Sebagai Sumber Pangan Global

Tidak hanya itu, Faisal menilai adanya tindakan yang tidak masuk akal, di mana kontribusi 40% dari petani rakyat atau petani kecil justru dikenai pajak, yang tentu dalam pajak ekspor sekalipun pajak dibebankan pada petani. Sementara dalam industri batubara yang tidak memiliki petani, 11 perusahaan yang mengusai kira-kira 70% industri tidak dikenakan pajak ekspor. Hal ini pun menunjukkan adanya kinerja yang tidak terintegrasi dan tidak bisa dimengerti sehingga turut menyulitkan demokrasi dalam industri.

Menggunakan perumpaan, Faisal mengatakan, "kalau saya punya CPO, saya punya harga yang lebih baik kalau jual ke biodiesel ya saya jual ke biodiesel. Otomatis dan hak setiap orang untuk menjual dengan harga lebih baik. Oleh karena itu secara relatif bisa dikatakan minyak goreng itu didiskriminasi. Kalau saya jual ke minyak goreng saya tidak dapat subsidi dari BPDPKS, kalau jual ke biodiesel dari subsidi dari BPDPKS. Inilah biang keladinya. Kalau ada dua harga, malaikat pun akan cari harga yang rendah kalau mau beli, pengusaha kalau ada dua harga dia akan jual ke harga tertinggi. Jadi inilah jelas tidak ada harmoni, jelas treat-off."

"Pengguna CPO terbesar itu biodiesel, karena dikasih insentif dan mandatory, minyak goreng tidak. Jadi ini ribet, akar masalahnya adalah kebijakan pemerintah sendiri. Saya rasa di dunia tidak ada yang menerapkan kebijakan yang ugal-ugalan yang seperti ini. Tidak ada. Bahkan solusinya dengan larangan ekspor, ya larangan ekspor itu yang dikeluarkan oleh Pak Jokowi karena Pak Jokowi sendiri yang mengumumkan itu pasti ESDM tidak tahu, bukan dari ESDM itu. Menteri ESDM tidak tahu, menteri pertanian tidak tahu, menteri keuangan tidak tahu, saya tidak tahu Pak Luhut, tapi itulah realitasnya," pungkasnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Tri Nurdianti
Editor: Annisa Nurfitri

Advertisement

Bagikan Artikel: