"Ke depan, dengan adanya deklarasi NZE oleh hampir semua perusahaan migas di dunia, implementasi CCS/CCUS menjadi suatu keharusan dalam proyek pengembangan lapangan migas. Semua PoD (Planning of Development) dipastikan memasukkan inisiatif ini dalam lingkup pekerjaan yang ada," ujarnya.
Benny menegaskan, bagi pelaku sektor hulu migas, hal yang mendesak saat ini adalah diberikannya kepastian pengakuan bahwa kegiatan CCS/CCUS termasuk dalam bagian dari kegiatan industri hulu migas. Hal ini penting guna memastikan biaya yang dibutuhkan untuk implementasi CCS/CCUS dapat dibebankan ke dalam biaya operasi migas.
Baca Juga: Perdagangan Karbon PLTU Dimulai, ESDM Optimis Akan Pangkas Emisi hingga 500 Ribu Ton!
Namun, dia mengingatkan agar investor jangan hanya melihat CCS/CCUS dari aspek tambahan biaya semata karena hal tersebut tidak mencerminkan gambaran keekonomian proyek secara menyeluruh.
Menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), emisi karbon yang bersumber dari sektor migas mencapai sekitar 44 juta ton CO2e pada 2030, sebagai imbas peningkatan produksi migas nasional sesuai target 1 MBOPD minyak bumi dan dan 12 BSCFD gas bumi. Adapun, hingga 2060, total emisi dari sektor migas diperkirakan mencapai 1.149 juta ton CO2e, yaitu terdiri dari 659 juta ton CO2e sektor hulu dan 490 juta ton CO2e sektor hilir.
Saat ini, Kementerian ESDM sedang menyusun peraturan terkait implementasi CCS/CCUS dan merekomendasikan kepada Kementerian terkait lainnya agar KKKS mendapatkan insentif mengingat investasi CCS/CCUS masih sangat mahal. Sebagai contoh, investasi CCS/CCUS pada proyek LNG Abadi di Blok Masela diketahui mencapai USD 1,2–1,4 juta. Pada tahap awal, CCUS baru diterapkan pada tiga proyek migas lain yakni Lapangan Gundih, Sukowati, dan Tangguh.
Menurut Benny, ketika menghitung keekonomian suatu proyek investor hendaknya tidak hanya melihat pada faktor biaya saja sebab diyakini ada keuntungan kompetitif dari implementasi CCS/CCUS tersebut dan berdampak pada keekonomian proyek.
"Ini kita baru bicara keekonomian, belum bicara benefit yang bersifat lebih jangka panjang, yaitu upaya penurunan emisi karbon global. Tentu saja nantinya akan dilihat detail proyeknya. Bisa saja dibutuhkan tambahan insentif, tapi bisa juga tidak. Kita lihat case-by-case, yang penting jangan kebanyakan diskusi, nanti kita ketinggalan kereta," ungkap Benny.
Pendapat senada juga disampaikan Tumbur Perlindungan, praktisi hulu migas yang menjadi pimpinan sebuah perusahaan migas di Indonesia. Menurut dia, tantangan industri hulu migas ke depan adalah bagaimana perusahaan dapat melakukan eksplorasi dan produksi dengan baik dengan tetap menjalankan operasi sesuai dengan target penurunan emisi karbon.
Perusahaan perlu mencari teknologi-teknologi atau prosedur-prosedur yang dapat meningkatkan produksi guna membantu mengatasi ancaman krisis energi pasca pandemi. Oleh karena itu, dukungan pemerintah seperti carbon tax dalam rangka implementasi CCS/CCUS menjadi dirasakan penting.
"CCS/CCUS memang harus segera dilaksanakan baik dalam pilot project maupun implementasinya," katanya.
Baca Juga: 227 Proyek Emisi Karbon Dibiayai Jepang, Indonesia Dapat Paling Banyak!
Menurut dia, CCS/CCUS merupakan teknologi baru dan cukup mahal. Oleh karena itu, teknologi tersebut hanya bisa diterapkan jika adanya penambahan produksi dari suatu lapangan migas yang ada. Upaya yang dapat dilakukan adalah dengan menerapkan Enhanced Oil Recovery (EOR).
"CCS/CCUS sangat memungkinkan dilaksanakan karena dapat digunakan untuk EOR ataupun hanya sebagai storage karena kondisi geologi yang ada. Carbon tax yang menarik juga harus segera ditentukan agar bisa segera dilakukan economic analysis dalam implementasinya. CO2 tidak bisa dihilangkan namun dapat di simpan dan sampai saat ini penyimpanan hanya dapat dilakukan pada reservoir jauh di bawah permukaan bumi," jelas Tumbur.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ayu Almas
Tag Terkait:
Advertisement