Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Ini Dia Sisi Positif dan Negatif B35 untuk Indonesia

Ini Dia Sisi Positif dan Negatif B35 untuk Indonesia Petugas SPBU mengangkat nozzle bio solar di SPBU Coco, Jalan HR Rasuna Said, Jakarta, Selasa (22/10/2019). Pemerintah akan mengimplementasikan penggunaan komposisi minyak sawit pada bio solar mencapai 30 persen atau B30 pada sektor transportasi mulai awal tahun 2020. | Kredit Foto: Antara/Aprillio Akbar
Warta Ekonomi, Jakarta -

Upaya pemerintah untuk melakukan pencampuran antara bahan bakar fosil dan bahan bakar nabati melalui program B35 dinilai mengandung sisi positif maupun negatif dari sisi biaya maupun manfaatnya. 

Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro mengatakan bahwa pemerintah menyampaikan, implementasi kebijakan B35 diproyeksikan akan memberikan manfaat terhadap indikator ekonomi, sosial, dan lingkungan. 

Di mana implementasi B35 disebut bakal mengurangi impor solar, sehingga dapat menghemat devisa impor sekitar US$10,75 miliar atau setara Rp161 triliun.

Baca Juga: Kementerian ESDM Siap Jaga Kualitas Mutu B30 dan B35

Kebijakan tersebut juga diproyeksikan dapat menyerap tenaga kerja sekitar 1,6 juta orang. Terkait aspek lingkungan, implementasi B35 akan mengurangi emisi gas rumah kaca hingga 34,9 juta ton CO2e. 

Selain berpotensi memberikan sejumlah manfaat, implementasi kebijakan B35 juga berpotensi menimbulkan tambahan biaya dalam aspek fiskal, moneter, dan bagi badan usaha niaga BBM yang akan diberikan penugasan. 

"Hal tersebut salah satunya karena rata-rata harga bahan baku Biodiesel (CPO) lebih mahal dibandingkan rata-rata harga minyak mentah. Rata-rata harga CPO selama 2021-2022 sekitar 1,86 kali lebih mahal dibandingkan harga minyak mentah jenis Brent," ujar Komaidi kepada Warta Ekonomi, Rabu (1/3/2023).

Komaidi mengatakan, jika komponen biaya-biaya yang lain diasumsikan sama, maka harga Biosolar akan lebih mahal sekitar 1,86 kali dibandingkan harga Solar yang diproduksi dari minyak mentah. 

"Akibatnya, kebutuhan anggaran untuk subsidi Biosolar juga lebih besar dibandingkan anggaran untuk subsidi Solar," ujarnya.

Sementara itu, dari aspek moneter, terkait dengan penghematan devisa impor dari implementasi B35 pada dasarnya bergantung pada sejumlah asumsi. 

Di mana, penghematan devisa secara riil akan diperoleh jika realisasi rata-rata harga CPO dalam satuan yang sama lebih murah dibandingkan rata-rata harga minyak mentah, atau CPO yang dialokasikan untuk produksi Biodiesel merupakan hasil produksi yang tidak terserap atau tidak laku untuk ekspor. 

"Jika kedua asumsi tersebut tidak terpenuhi, penghematan devisa dari implementasi kebijakan B35 pada dasarnya tidak akan diperoleh," ucapnya. 

Lanjutnya, jika mengacu pada rata-rata harga CPO dan minyak mentah jenis Brent periode 2021-2022, devisa yang diperoleh dari ekspor CPO sebesar 1 barel pada dasarnya dapat untuk mengimpor minyak mentah jenis Brent sekitar 1,86 barel. 

Dengan kata lain, jika hanya memperhitungkan aspek penghematan devisa saja justru penghematan akan diperoleh ketika CPO yang dialokasikan untuk bahan baku Biodiesel diekspor. 

Menurutnya, dengan volume kebutuhan Biodiesel 2023 yang diproyeksikan 82,69 juta barel dan mengacu pada rata-rata harga CPO tersebut, devisa yang dapat diperoleh jika CPO yang diekspor sekitar US$ 13,84 miliar. 

"Sementara, bila Biosolar diganti dengan Solar hanya akan memerlukan sekitar US$7,44 miliar untuk mengimpor minyak mentah. Artinya, penghematan devisa yang berpotensi dapat diperoleh dengan pola tersebut sekitar US$6,40 miliar," ungkapnya. 

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Djati Waluyo
Editor: Rosmayanti

Advertisement

Bagikan Artikel: