Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Importir Sawit Asia: Negara Penghasil Sawit Perlu Buat Kebijakan Ekspor yang Stabil

Importir Sawit Asia: Negara Penghasil Sawit Perlu Buat Kebijakan Ekspor yang Stabil Kredit Foto: Antara/Akbar Tado
Warta Ekonomi, Jakarta -

Negara-negara importir minyak kelapa sawit mentah Asia yang tergabung dalam Asian Palm Oil Alliance (APOP) mendesak negara-negara penghasil sawit untuk membuat kebijakan ekspor yang stabil. Adapun sejumlah negara yang tergabung dalam APOP antara lain India, Pakistan, Bangladesh, Nepal, dan Sri Lanka. Hal tersebut perlu dilakukan agar importir memiliki kepastian saat melakukan transaksi.

Ketua APOP, Atul Chaturvedi, mengatakan, negara importir telah membangun kilang untuk memproses CPO. Namun, negara produsen mengenakan bea ekspor yang lebih tinggi untuk CPO dibandingkan bea masuk untuk produk yang disuling. Hal ini membuat pembelian minyak sawit olahan lebih murah daripada CPO.

Baca Juga: Senin Pertama Maret 2023, Harga CPO Domestik Tercatat Segini

"Pajak yang lebih tinggi untuk CPO membuat kilang-kilang di negara pengimpor menganggur. Produsen perlu memikirkan struktur bea masuk yang merugikan pembeli ini," katanya seperti dikutip dari Channel News Asia, Rabu (8/3).

Direktur Godrej International India Dorab Mistry mengatakan, produsen utama sawit, yakni Indonesia dan Malaysia, perlu menyadari bahwa negara-negara Asia adalah pelanggan terpercaya mereka. Para pembeli Asia juga tak pernah membuat masalah pada industri sawit.

Menurutnya, perubahan kebijakan ekspor yang tiba-tiba seperti larangan ekspor oleh Indonesia tahun lalu, tidak hanya mengganggu rantai pasokan di negara importir, tetapi juga merugikan produsen. Bagaimana tidak, Indonesia harus menghadapi komplain dari pelanggan sembari memikirkan strategi lain untuk menutupi kekurangan pasokan.

Indonesia yang merupakan produsen CPO terbesar di dunia sempat melarang ekspor CPO pada April-Mei 2022. Hal ini membuat negara-negara pembeli cepat-cepat mengamankan pasokan dari Malaysia. Namun, harga CPO Malaysia jadi melambung karena adanya permintaan yang tinggi. Sebagai gantinya, negara importir pun mencari alternatif lain seperti minyak kedelai dan biji bunga matahari.

Sementara itu, Presiden Asosiasi Ekstraktor Solvent India Ajay Jhunjhunwala mengatakan, produsen CPO besar seperti Indonesia dan Malaysia cenderung menanggapi banyak tuntutan dari Eropa, dibandingkan memperhatikan kebutuhan pasar di Asia yang pembeliannya justru besar.

"Uni Eropa menyumbang kurang dari 9% dari impor CPO global. Pembeli Asia menyumbang sekitar 40%, tetapi produsen mencoba memenuhi tuntutan Eropa dan mengabaikan pembeli Asia," katanya.

Perlu diketahui, pada Desember 2022, Uni Eropa mengesahkan Undang-Undang Deforestasi, yang mengharuskan perusahaan untuk menghasilkan pernyataan uji tuntas dan memberikan informasi yang dapat diverifikasi bahwa komoditas yang akan diekspor ke kawasan tersebut, termasuk kelapa sawit, tidak ditanam di lahan hasil pembabatan hutan setelah 2020.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Ellisa Agri Elfadina
Editor: Puri Mei Setyaningrum

Advertisement

Bagikan Artikel: