Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Sinergi Pemerintah dan BUMN Dorong Dekarbonisasi dan Pembiayaan Infrastruktur Berkelanjutan

Sinergi Pemerintah dan BUMN Dorong Dekarbonisasi dan Pembiayaan Infrastruktur Berkelanjutan Kredit Foto: PUPR

Sementara itu, Mohammed Ali Berawi, Deputi Bidang Transformasi Hijau dan Digitalisasi Otorita IKN, menerangkan bagaimana IKN menjadi lokomotif pertumbuhan ekonomi sebuah negara. “Infrastruktur menjadi lokomotif pertumbuhan ekonomi sebuah negara. Membangun infrastruktur menuju Indonesia maju 2045 is a must, ujar Ali. Proyek infrastruktur yang efisien, lanjut Ali, akan menjadi nilai tambah. Nilai tambah juga bisa muncul ketika bisa inovasi dilakukan. Nilai tambah juga bisa muncul dari kolaborasi. “IKN dibangun dengan prinsip hijau, ketahanan, berkelanjutan, inklusif, dan cerdas,” kata Ali.

Dalam pemaparannya, Herry Trisaputra Zuna, Direktur Jendral Pembiayaan Infrastruktur Kementerian PUPR, mengungkapkan bahwa Kementerian PUPR terikat untuk menurunkan emisi CO2 sebesar 29% atau net zero carbon di tahun 2060. “Pertanyaannya adalah bagaimana semua sektor infrastruktur yang dibangun hari ini bisa mengurangi emisi di masa depan? Kemudian, apakah prosedurnya sudah benar? Bagaimana semen yang digunakan?” ujar Herry.

Pembangunan infrastruktur di Indonesia belum semewah negara lain. “Biaya infrastruktur di Indonesia baru 40% sementara di negara lain sudah 70%,” katanya. Dalam RPJMN, lanjut Herry, untuk meningkatkan infrastruktur di Indonesia sebesar 10% dibutuhkan biaya sebesar Rp123,4 triliun. Untuk mencapai 100% butuh Rp1.000 triliun. Kalau mengacu ke RPJMN, butuh Rp6.045 triliun hingga tahun 2024 dan 37% bisa berasal dari APBN. “Tugas kita adalah bagaimana menterjemahkan 63% sisanya menjadi studi. Kalau tidak ada studi maka tidak ada investor yang masuk ke Indonesia. IKN juga sama, kalau tidak ada studi maka tidak ada yang berinvestasi,” ujar Herry.

Penggunaan green materials dan pengelolaan green financing dalam pembangunan infrastruktur berkelanjutan, merupakan salah satu unsur penting dalam mendukung misi mengurangi emisi karbon sebesar 29% - 41% menjelang tahun 2030. Komitmen pemerintah mendorong green infrastructure terlihat pada Peraturan Menteri PUPR No. 9 tahun 2021 tentang Pedoman Penyelenggaraan Konstruksi Berkelanjutan dan Instruksi Menteri PUPR No. 4 tahun 2020 tentang Penggunaan Non-Ordinary Portland Cement (OPC) pada Pekerjaan Konstruksi di Kementerian PUPR.

Berbagai regulasi dan kebijakan Kementerian PUPR beberapa tahun terakhir juga ditujukan untuk mendukung upaya pengurangan emisi GRK, seperti pemanfaatan permukaan air (bendungan/waduk) untuk PLTS Apung di samping pemanfaatan potensi tenaga air untuk pembangkit listrik, dan konsistensi penggunaan material konstruksi berjejak karbon rendah yang ramah lingkungan seperti penggalakan penggunaan semen Non-OPC. 

Iswandi Imran, mengemukakan bahwa spesifikasi semen di Indonesia sangat spesifik dan kaku padahal teknologi material saat ini sudah maju. “Di luar negeri, penggunaan material sudah berdasarkan performance base. Indonesia masih terpaku pada masalah bahan,” ungkap Ketua Himpunan Ahli Konstruksi Indonesia (HAKI) ini. “Kita tidak perlu terpaku pada masalah bahan baku semen yang penting performance base nya tercapai. Ini yang harus diubah mindset-nya. Indonesia masih cukup kaku terkait dengan penggunaan material dalam infrastruktur padahal sudah ada aturan.” 

Dalam SNI material semen ramah lingkungan sudah terdaftar dan itu sudah cukup kuat untuk digunakan di infrastruktur. SNI sudah memberikan ruang tinggal implementasi di lapangan. “Mutu dari semen non-OPC juga tidak kalah dengan semen OPC biasa. Dari aspek durability pun, semen Non-OPC juga lebih baik dari semen OPC,” kata Iswandi.

Implementasi kebijakan konstruksi ramah lingkungan ini membutuhkan komitmen kuat dan kolaborasi seluruh pemangku kepentingan seperti konsultan perencana, kontaktor, asosiasi, akademisi dan peneliti. Kehadiran juklak dan juknis terkait penggunaan material hijau dari Kementerian PUPR, tentunya juga akan mempercepat implementasi kebijakan ini. Bahkan, kehadiran produk hukum yang lebih tinggi seperti Peraturan Presiden (Perpres) atau Peraturan Pemerintah (PP) akan mempercepat implementasi kebijakan karena Perpres atau PP akan melibatkan keseluruhan elemen pemerintah, tidak hanya Kementerian PUPR semata.

Halaman:

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Annisa Nurfitri
Editor: Annisa Nurfitri

Advertisement

Bagikan Artikel: