Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Ini yang Terjadi Jika Pengusaha AMDK Tidak Perbesar Ukuran Kemasan Sesuai Aturan Pemerintah

Ini yang Terjadi Jika Pengusaha AMDK Tidak Perbesar Ukuran Kemasan Sesuai Aturan Pemerintah Kredit Foto: Ist
Warta Ekonomi, Jakarta -

Ketua Net Zero Waste Management Consortium, Ahmad Safrudin menilai ada indikasi tidak dijalankannya program reduce (pengurangan sampah) dengan cara upsizing (menghentikan penggunaan kemasan plastik pada volume/bobot kecil).

Selain itu, recycle dengan EPR (Extended Producers Responsibility, menarik kembali kemasan produknya untuk didaur-ulang), dan reuse dengan pemanfaatan kembali kemasan plastik yang tidak berisiko pada kesehatan.

"Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan atau Pemerintah Daerah Provinsi Bali harus memberikan teguran dan menarik uang paksa untuk pembinaan, dan penegakan hukum dalam pengelolaan sampah,” kata Ahmad Safrudin, beberapa waktu lalu.

Dia menjelaskan dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor 75 Tahun 2019 menargetkan pengurangan sampah hingga sebesar 30 persen pada tahun 2030. Target pengurangan tersebut dilakukan dengan, antara lain mendorong produsen air minum dalam kemasan (AMDK) mengubah desain produk berbentuk mini menjadi lebih besar (Size up) hingga ke ukuran 1 liter, untuk mempermudah pengelolaan sampahnya.

Di samping itu, produsen diharuskan untuk mengimplementasikan mekanisme pertanggungjawaban terhadap produk dalam kemasan plastik yang dijual, saat nantinya produk tersebut menjadi sampah (Extended Producers Responsibility/EPR).

Masalahnya, hingga kini, upaya Size up dan EPR oleh produsen masih menjadi tantangan implementasi Permen KLHK No. 75/2019.

"Permen LHK 75/2019 ini merupakan upaya pemerintah menekan volume sampah di Indonesia," kata Rosa Vivien Ratnawati, SH., M.SC. Direktur Jenderal Pengelolaan Limbah, Sampah, dan Bahan Beracun Berbahaya (PSLB3), KLHK, beberapa waktu lalu.

Data dari Asosiasi Industri Plastik Indonesia (Inaplas) dan Badan Pusat Statistik (BPS) memaparkan, Indonesia menghasilkan 64 juta ton sampah per tahun. Sampah plastik menguasai 5 persen atau 3,2 juta ton dari total sampah.

Dari jumlah 3,2 juta ton timbulan sampah plastik, produk AMDK menyumbang 226 ribu ton atau 7,06 persen. Sebanyak 46 ribu ton atau 20,3 persen dari total timbulan sampah produk AMDK, merupakan sampah AMDK kemasan gelas plastik.

Berdasarkan data yang dirilis World Economic Forum (WEF), produksi sampah plastik di Indonesia diperkirakan berpotensi melambung menjadi 8,7 juta ton pada 2025, dari sebelumnya sebesar 6,8 juta ton pada 2017. Hal ini sekaligus menunjukkan, Peta Jalan pengurangan sampah dipastikan bakal berjalan alot.

Sebelumnya, Sungai Watch menempatkan Danone di posisi puncak berdasarkan audit merek yang dipublikasikan dalam sebuah laporan terbaru berjudul: “Sungai Watch Impact Report 2022”.

Kesimpulan ini diperoleh setelah tim Sungai Watch melakukan penyortiran dan pengauditan sampah plastik berdasarkan merek produk dan produsennya di Bali dan Jawa Timur.

Menurut Sungai Watch audit merek untuk pengumpulan data polusi sampah plastik sudah mendesak dilakukan.

Berdasarkan data 235,218 item sampah plastik dari Bali dan Jawa Timur, sampah plastik produk Danone mencapai rekor tertinggi dengan angka 10 persen.

Dari semua produk milik Danone, kemasan gelas plastik sekali pakai ditemukan menjadi penyampah terbesar dengan capaian angka 63 persen, disusul dua merek botol berbahan plastik polyetilena tereftalat/PET (27 persen dan 5 persen), tutup galon guna ulang (3 persen), dan botol minuman ringan (1 persen).

Posisi penyampah terbesar kedua dalam laporan Sungai Watch diduduki oleh produk Orang Tua,yang mencatatkan 7 persen dari total limbah sampah plastik yang diaudit (95 persen sampah teh gelas).

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Ferry Hidayat

Tag Terkait:

Advertisement

Bagikan Artikel: