Industri hilir sawit akan menghadapi tantangan berat baik di dalam maupun luar negeri sebagai dampak resesi global dan kondisi perekonomian masyarakat. Pemerintah diharapkan mampu menciptakan kebijakan dan dukungan terutama mengantisipasi dampak hambatan dagang di negara tujuan ekspor.
Hal ini disampaikan oleh tiga asosiasi hilir sawit Indonesia, yakni Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (APROBI), Asosiasi Produsen Oleochemical Indonesia (APOLIN), dan Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI).
Baca Juga: Bagaimana Kinerja Industri Sawit Nasional Periode Januari 2023?
Ketua Harian APROBI, Paulus Tjakrawan, menjelaskan, pada 2023, target penggunaan biodiesel B35 akan mencapai 13,15 juta kL yang mampu mengurangi impor minyak solar hingga Rp140 triliun.
"Program biodiesel merupakan bagian dari upaya mencapai target nol emisi pada 2060. Karena itulah, perlu didorong program bioenergi lainnya seperti bioavtur, bioethanol, dan bensin sawit," kata Paulus, dilansir dari laman Majalah Sawit Indonesia, Rabu (29/3/2023).
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Umum APOLIN Rapolo Hutabarat mengatakan, Indonesia perlu bersyukur dianugerahi kelapa sawit sebagai sumber bahan baku utama dari produk oleokimia yang membantu daya saing industri.
"Indonesia telah menjadi produsen terbesar dari produk oleokimia di dunia. Saat ini, kapasitas produksi oleokimia Indonesia mencapai 11,38 juta ton, lebih tinggi dari Malaysia yang sebesar 2,5 juta sampai 3 juta ton yang berbasis minyak sawit," ujar Rapolo, dilansir dari laman Majalah Sawit Indonesia.
Disampaikan Rapolo, seiring pemulihan ekonomi, volume ekspor oleokimia mencapai 4,2 juta ton pada 2022. Negara tujuan utama ekspor adalah India, Tiongkok, dan Eropa. Nilai ekspor oleokimia pada tahun 2022 mencapai US$5,4 miliar atau serata Rp83 triliun lebih.
"Hal Ini sebuah pencapaian bersama terutama keberpihakan pemerintah yang mendukung hilirisasi di Indonesia. Kinerja positif oleokimia, juga ditopang keberpihakan pemerintah melalui kebijakan gas murah. Jadi, industri oleokimia mendapatkan insentif gas murah sampai 2024," kata Rapolo.
Sementara itu, Direktur Eksekutif GIMNI Sahat Sinaga menjelaskan bahwa di kuartal pertama tahun ini, terjadi penurunan tren produksi 17 minyak nabati dunia sebesar 2% menjadi sekitar 58 juta ton dari target awal 61 juta ton. Begitu pula di dalam negeri, harga sawit tidak seperti tahun lalu yang berada di atas US$1.000/ton.
Baca Juga: Di Senin Terakhir Maret 2023 Harga Sawit Masih Tersungkur, Berapa?
"Saat ini ekspor sawit menurun akibat dampak resesi global. Imbasnya, target Domestic Market Obligation sulit dicapai. Lemahnya ekspor ini mulai terjadi di akhir 2022, di mana hak ekspor sawit sebesar 6,1 juta ton tidak sepenuhnya terealisasi. Dampak berikutnya, pasokan MinyaKita berkurang lantaran dana subsidi MinyaKita itu dari ekspor," ujar Sahat, dilansir dari laman Majalah Sawit Indonesia.
Sahat mengusulkan DMO tidak lagi tepat menggerakkan pemenuhan kebutuhan minyak goreng. Sebaiknya, pemerintah fokus membantu masyarakat kurang mampu sekitar 33 juta orang, di mana kebutuhan minyak goreng murah sekitar 42 juta kL. Syaratnya, pemerintah melalui Bulog yang memegang distribusi minyak goreng kepada masyarakat kurang mampu.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Ellisa Agri Elfadina
Editor: Puri Mei Setyaningrum
Tag Terkait:
Advertisement