International Finance Corporation (IFC) baru-baru ini mengumumkan kebijakan untuk berhenti mendanai proyek batu-bara baru di berbagai negara tujuan. Kebijakan ini dikeluarkan setelah tekanan kuat dari kelompok masyarakat sipil global agar IFC menyelaraskan portofolionya dengan Perjanjian Paris.
Komitmen IFC ini berarti menganulir kebijakan sebelumnya dengan IFC masih mengizinkan klien perantara keuangan, seperti bank komersial, untuk mendukung proyek batu bara baru asalkan bank tersebut keluar dari portofolio proyek batu bara pada 2030.
Sejak Mei 2019, IFC yang berfokus dalam pembiayaan investasi di sektor swasta telah menggelontorkan investasi sebesar hampir US$40 miliar untuk berbagai klien perantara keuangan, salah satunya PT Bank KEB Hana Indonesia yang mendanai proyek PLTU baru, Jawa 9 & 10 di Cilegon, Banten.
“Butuh perjuangan panjang dan setelah terlambat lebih dari tujuh tahun sejak Perjanjian Paris, akhirnya IFC mengambil langkah signifikan untuk menutup celah kebijakan mereka yang masih memungkinkan dukungan pada proyek batubara baru,” ujar Peneliti Trend Asia, Andri Prasetiyo di Jakarta, Kamis (13/4).
Celah kebijakan itu terungkap dalam laporan yang dikeluarkan sejumlah organisasi masyarakat sipil dunia. Salah satu studi kasus dalam laporan itu yakni di Indonesia, yang membahas penerapan praktik ekuitas hijau atau Green Equity Approach (GEA) pada klien pertamanya, PT Bank KEB Hana Indonesia.
Ekuitas hijau merupakan investasi (modal) yang ditanamkan pemilik dalam sebuah perusahaan, yang bertujuan mempromosikan kelestarian lingkungan agar sesuai dengan komitmen Perjanjian Paris.
Namun, alih-alih seperti peruntukannya. Kurang dari setahun setelah mendaftar untuk GEA Bank Hana Indonesia, beserta perusahaan induk KEB Hana Korea, justru menandatangani pembiayaan proyek PLTU baru, Jawa 9 & 10 di Cilegon, Banten.
"Komitmen terbaru IFC ini menjadi lonceng kematian bagi industri batu bara, juga sebagai peringatan keras bagi lembaga keuangan yang masih mengeluarkan uang publik untuk mendanai proyek energi kotor batu bara," kata Andri.
Andri menambahkan, GEA yang diusung IFC sebagai konsep pendanaan yang diklaim lebih berwawasan lingkungan, seharusnya memberikan kontribusi signifikan dalam transisi energi untuk mengatasi persoalan krisis iklim.
"Jika ingin menyelaraskan seluruh portofolionya dengan Perjanjian Paris, IFC juga harus menghentikan pendanaan energi fosil lainnya, seperti minyak dan gas fosil. GEA seharusnya digunakan hanya untuk mendanai proyek-proyek energi terbarukan," imbuhnya.
Sebelumnya, Hana Financial Group telah berjanji untuk bergabung dalam kampanye anti-batu bara. Kampanye ini demi mendukung target Pemerintah Korea untuk menjadi negara netral karbon pada 2050. Hana Financial Group menyatakan tidak akan lagi mendanai bisnis yang merusak lingkungan atau melanggar hak asasi manusia.
Namun, bertolak belakang dari arah kebijakan perusahaan grupnya, Bank Hana Indonesia, justru masih memberikan dukungan pendanaan untuk pembangunan PLTU Jawa 9 dan 10, Suralaya, Banten, Indonesia.
"Komitmen terbaru IFC sudah sepantasnya membuat Hana Bank Indonesia segera menarik pendanaan mereka di salah satu proyek energi kotor batubara terbesar yang masih tersisa, yaitu proyek PLTU Jawa 9-10," tambah Climate and Energy Manager Greenpeace Indonesia, Didit Haryo Wicaksono.
Pembangunan PLTU Jawa 9 & 10 akan memperburuk kualitas lingkungan hidup dan kesehatan masyarakat di sekitar PLTU. PLTU ini juga akan menambah panjang daftar sumber polutan di wilayah Suralaya.
Saat ini, di wilayah Suralaya telah terdapat delapan PLTU dengan total kapasitas 4025 MW yang letaknya begitu berdekatan dengan pemukiman masyarakat. PLTU Jawa 9 & 10 akan menambah daftar PLTU baru yang akan semakin memperburuk kualitas udara baik di wilayah Suralaya, maupun wilayah Banten secara umum dan kawasan sekitar seperti Jabodetabek.
Temuan Trend Asia dan Recourse, sebuah lembaga pengawas finansial berkelanjutan, menunjukkan PLTU Jawa 9 & 10 diperkirakan akan melepaskan rata-rata 250 juta ton karbon dioksida selama 25 tahun masa operasinya, setara dengan emisi rata-rata negara Thailand atau Spanyol.
Kualitas udara di Suralaya yang buruk telah menyebabkan tingginya tingkat penderita Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) di Kota Cilegon. Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota Cilegon sejak 2018 sampai dengan Mei 2020 terdapat 118.184 kasus ISPA di kota Cilegon. Ini membuat pembangunan PLTU Jawa 9 dan 10 menuai kecaman publik dan penolakan warga.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Boyke P. Siregar
Editor: Boyke P. Siregar
Tag Terkait:
Advertisement