Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Centris Sebut Kerusakan Lingkungan di Myanmar Akibat Kebrutalan China

Centris Sebut Kerusakan Lingkungan di Myanmar Akibat Kebrutalan China Kredit Foto: Reuters/Tyrone Siu
Warta Ekonomi, Jakarta -

Perusahaan China yang menambang mineral tanah jarang di Negara Bagian Kachin Myanmar, akhirnya berjanji akan menghentikan kegiatan mereka setelah lebih dari 1.000 penduduk lokal memprotes eksploritasi besar-besaran yang dilakukan Beijing diwilayah mereka.

Penduduk yang berunjuk rasa berasal dari sedikitnya 10 desa di wilayah yang dikendalikan oleh Organisasi Kemerdekaan Kachin (KIO), salah satu kelompok etnis paling kuat di Myanmar dan kelompok bersenjata Tentara Kemerdekaan Kachin (KIA).

Para pengunjuk rasa meminta perusahaan China dan Tentara Kemerdekaan Kachin (KIA), sayap bersenjata dari Organisasi Kemerdekaan Kachin (KIO), yang telah berjuang untuk penentuan nasib sendiri dan otonomi selama beberapa dekade, untuk menghentikan penambangan, dengan alasan dampak terhadap lingkungan, satwa liar dan masyarakat lokal.

Kepada Voice Of Amerika (VOA) Burma, warga yang menggekat unjuk rasa mengaku protes sebenarnya telah dimulai pada bulan Desember 2022 lalu, setelah KIO memberikan izin kepada perusahaan China untuk menambang di Negara Bagian Kachin di daerah dekat perbatasan dengan Provinsi Yunnan China.

Menanggapi hal ini, Center for Indonesian Domestic and Foreign Policy Studies (CENTRIS) meminta negara-negara dunia termasuk Indonesia untuk berhati-hati dan mewaspadai segala bentuk kerjasama eksploitasi kekayan alam negaranya dengan China.

Peniti senior CENTRIS, AB Solissa mengatakan kerusakan lingkungan yang di Myanmar adalah contoh nyata dampak ‘kebrutalan’ China saat mengeksploitasi tambang di luar wilayah Tiongkok.

“Bukan hanya penduduk, pemimpin-pemimpin gereja di Myanmar kami dengar dari berbagai media juga menentang penambangan unsur-unsur tanah jarang yang ‘ugal-ugalan’ di eksploitasi Beijing,” kata AB Solissa kepada wartawab, Kamis, (27/4/2023).

Dalam sebuah surat yang ditandatangani oleh Uskup Raymond Sumlut Gam dan empat pemimpin keuskupan lainnya, termasuk vikjen dan dewan keuskupan, pada 4 Maret lalu, lanjut AB Solissa, mereka mengatakan mineral tanah jarang adalah anugerah dari Tuhan sehingga masyarakat segogianya memiliki tanggung jawab untuk melindunginya.

Para pemimpin gereja juga menuliskan rasa keprihatinan dengan dampak degradasi lingkungan, mata pencaharian masyarakat lokal dan kesejahteraan hewan akibat ekstraksi tanah jarang.

Negara Bagian Kachin sendiri memiliki populasi Kristen yang besar, kaya akan sumber daya alam seperti emas, batu giok, amber, dan rubi, yang telah memicu konflik selama puluhan tahun antara militer dan Tentara Kemerdekaan Kachin.

“Disinyalir ekspokitasi ugal-ugalan yang diduga dilakukan Beijing karena permintaan mineral tanah jarang dapat melonjak tiga hingga tujuh kali lebih tinggi pada tahun 2040, untuk mengejar tenggat waktu kebijakan untuk memperlambat perubahan iklim,” ungkap AB Solissa.

Penambangan terkonsentrasi di Daerah Khusus Kachin, yang berada di bawah kendali panglima perang lokal Akhung Ting Ying. Wilayah ini kaya akan keanekaragaman hayati dan rumah bagi tumbuhan dan hewan langka dan terancam punah.

Awalnya hanya ada segelintir penambangan tanah jarang di Negara Bagian Kachin tahun 2016 yang didominasi oleh perusahaan asal Beijing.

Akan tetapi menurut laporan Global Witness Report, pada Maret 2022, jumlah penambangan membengkak menjadi 2.700 dan tersebar di 300 lokasi terpisah, meliputi area seluas Singapura.

Tanah jarang mengandung unsur-unsur yang banyak digunakan dalam produk seperti komponen komputer, kendaraan listrik, sel surya, dan gudang persenjataan modern.  

Tambang Myanmar menghasilkan jumlah terbesar keempat dari mineral ini, yaitu 12.000 metrik ton (MT) tanah jarang pada tahun 2022, menurut Investing News.

“Info dari VOA Burma, sebuah komite yang mewakili penduduk desa dari distrik N Ba Pa dan Dingsing Pa yang dikuasai KIO di distrik Bamaw Negara Bagian Kachin, telah bertemu dengan Ketua Jenderal KIO N Ban La, untuk menghentikan seluruh kegiatan tambang tanah jarang,” lanjut AB Solissa.

Sumber-sumber lokal mengatakan kepada VOA Burma bahwa N Ban La, yang memberikan hak penambangan kepada perusahaan China, berjanji tidak akan membiarkan penambangan berlanjut.

Investing News melaporkan bahwasanya China adalah produsen mineral tanah jarang terbesar di dunia, dengan output 210.000 MT jauh melebihi total gabungan tempat kedua Amerika Serikat (43.000 MT), tempat ketiga Australia (18.000 MT), Myanmar (12.000 MT) dan tempat kelima  Thailand (7.100 MT).

Dari data _resourcetrade.eart_, sebuah situs web yang berafiliasi dengan think tank Inggris Chatham House, dapt diketahui jika sebagian besar mineral tanah jarang Myanmar diekspor ke China.

“Yang pasti, menurut laporan dan penelitian Harvard International Review, hany ada dua cara untuk menambang mineral tanah jarang dan keduanya berbahaya bagi lingkungan, mencemari air tanah dan tanah lapisan atas sekaligus menghasilkan debu beracun,” tutur AB Solissa.

“Apalagi dua hal tersebut dilakukan dengan cara ‘ugal-ugalan’ seperti yang diduga diteraokan oleh perusahan tambang Beijing,” pungkas AB Solissa.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Ferry Hidayat

Tag Terkait:

Advertisement

Bagikan Artikel: