Pemerintah menurunkan besaran kewajiban pasokan minyak goreng (migor) ke dalam negeri atau domestic market obligation (DMO) dari sebelumnya 450 ribu ton per bulan menjadi 300 ribu ton per bulan.
Penurunan kuota DMO untuk minyak goreng ini membuka peluang untuk peningkatan ekspor. “Relaksasi DMO yang dilakukan oleh Kementerian Perdagangan perlu disambut baik, karena pemerintah telah menyesuaikan dengan kondisi saat ini,” jelas Associate Researcher Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Krisna Gupta di Jakarta, kemarin.
Krisna menambahkan secara teori, DMO memang bisa menjaga suplai domestik untuk memastikan Indonesia sendiri tidak kekurangan minyak goreng. Namun, kebijakan Harga Eceran Tertinggi (HET) juga tidak efektif karena menghilangkan insentif pengusaha untuk menjual minyak goreng ke pasar dan membuat harga semakin susah untuk turun ke tingkat normal.
Meski demikian, lanjutnya situasi harga minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) saat ini cenderung stabil. Minyak goreng yang umumnya dikonsumsi di Indonesia dihasilkan dari CPO.
“Harga internasional sudah lama stabil di level yang familiar, bahkan dalam dua minggu belakangan ini mulai melemah. Di samping itu, kewajiban domestik sudah terpenuhi imbas permintaan yang tinggi di bulan puasa dan Lebaran kemarin,” tambahnya.
Untuk diketahui, kebijakan DMO sendiri menimbulkan dampak pada produk turunan minyak sawit lainnya, yang tidak berhubungan dengan minyak goreng (oleochemical). Pasalnya, tidak semua jenis minyak sawit bisa dipakai untuk minyak goreng.
“Kebijakan DMO mempersulit eksportir karena tidak semua eksportir memiliki spesialisasi untuk menyuplai pasar domestic. Mereka juga belum tentu memahami rantai distribusi domestik,”tegasnya.
Dia menegaskan, akses terhadap pupuk terjangkau adalah kunci untuk memenuhi permintaan minyak sawit dunia yang diperkirakan akan terus meningkat. “Pupuk merupakan komponen utama dalam produksi kelapa sawit yang memakan 30-35% dari total biaya produksi, sehingga harga pupuk yang tinggi akan meningkatkan biaya produksi minyak sawit,”jelasnya.
Petani swadaya yang tidak mampu membeli pupuk dengan harga tinggi akan mengurangi penggunaan pupuknya dan hal ini kemudian berpotensi besar menurunkan hasil panennya. “Pemerintah juga mulai perlu memikirkan peremajaan pohon-pohon yang mulai tidak produktif,” tambahnya.
Sebelumnya Kementrian Perdagangan kembali mengubah aturan domestic market obligation (DMO) atau kewajiban pasok dalam negeri bagi minyak goreng. Sebelumnya DMO minyak goreng ditetapkan sebanyak 450.000 ton per bulan.
Aturan yang berlaku sejak Februari 2023 itu, kini direvisi menjadi 300.000 ton per bulan. Ketentuan baru ini berlaku mulai 1 Mei 2023 mendatang. Selain itu, rasio volume DMO untuk ekspor minyak sawit (CPO) juga ditekan dari sebelumnya 1:6 menjadi 1:4.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Boyke P. Siregar
Editor: Boyke P. Siregar
Tag Terkait:
Advertisement