Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

DPP PII Nilai China Lecehkan Kedaulatan Negara Lain

DPP PII Nilai China Lecehkan Kedaulatan Negara Lain Kredit Foto: Reuters/Tyrone Siu
Warta Ekonomi, Jakarta -

Beijing kembali membuat kontroversi yang menghebohkan dunia, terkait pernyataan Duta Besar (Dubes) China untuk Perancis, Lu Shaye perihal pandangan Tiongkok terhadap negara yang lahir setelah jatuhnya Uni Soviet, tidak memiliki status efektif di bawah hukum internasional.

Pernyataan Lu Shaye ini disampaikannya saat berbicara di saluran berita LCI, yang memantik kemarahan negara-negara Eropa. Apalagi Lu Shaye dengan entengnya menyebut tidak ada perjanjian internasional yang menegaskan status mereka sebagai negara berdaulat.

“Bahkan negara-negara bekas Uni Soviet ini tidak memiliki status efektif, seperti yang kami katakan, di bawah hukum internasional karena tidak ada kesepakatan internasional untuk mengkonkretkan status mereka sebagai negara berdaulat,” kata Lu kepada saluran berita LCI.

Sontak pernyataan loyalis Presiden Xi Jin Ping tersebut, menimbulkan keresahan bukan hanya bagi Ukraina yang telah diinvasi Rusia sejak Februari tahun lalu. Kini, semua negara bekas Republik Soviet yang mendeklarasikan sebagai negara merdeka setelah jatuhnya Uni Soviet pada tahun 1991, dimana didalamnya terdapat banyak negara anggota Uni Eropa.

Merespons hal ini, Dewan Pimpinan Pusat Pelajar Islam Indonesia (DPP PII) meminta masyarakat dunia untuk mengutuk pandangan China, karena dianggap telah melecehkan kedaulatan sebuah negara.

Wakil Bendahara DPP PII Furqan Raka mengatakan pernyataan Duta Besar (Dubes) China untuk Perancis, Lu Shaye sejatinya adalah cerminan sikap Beijing terhadap negara-negara yang dianggap Tiongkok tidak memiliki status hukum internasional.

“Ini jelas bentuk nyata pelecehan kedaulatan sebuah negara yang selama ini dilakukan oleh Beijing,” kata Furqan Raka kepada wartawan, Jum’at (5/5/2023).

Wajar jika banyak negara dunia yang mengutuk China, lanjut Furqan Raka, terutama negara-negara yang menyatakan kemerdekaannya paska jatuhnya Uni Soviet tahun 1991 lalu.

DPP PII menilai pernyataan Lu Shaye sangat menampakkan posisi China yang mengesampingkan kedaulatan negara-negara tersebut, sehingga gelombang kemarahan terhadap Beijing semakin besar kian harinya.

“Sebagai respons atas pernyataan Lu Shaye, tiga negara Baltik Uni Eropa telah memanggil utusan China di negara masing-masing, untuk dimintai penjelasan. Ketiga negara itu, yakni Lithuania, Estonia, dan Latvia,” terang Furqan Raka.

Pernyataan keras langsung disampaikan oleh Menteri Luar Negeri Lithuania, Gabrielius Landsbergis, yang mengingatkan Beijing bahwa negaranya bukan negara pasca-Soviet, dalam artian Lithuania adalah negara yang secara ilegal diduduki oleh Uni Soviet kala itu.

Senada dengan Gabrielius Landsbergis, Menteri Luar Negeri Estonia, Margus Tsahkna menegaskan bahwa negara-negara Baltik adalah negara berdaulat independen yang tergabung dalam Uni Eropa dan NATO.

“Kami dengar Menteri Luar Negeri Estonia, Margus Tsahkna menyatakan kemarahan dan ketidakpuasan dengan sikap Beijing terhadap negaranya, seperti yang disampaikan Lu Shaye,” tutur Furqan Raka.

Sementara Ajudan Presiden Ukraina, Mykhaylo Podolyak menegaskan bahwa status negara-negara pasca-Soviet diabadikan dalam hukum internasional.

Mykhaylo Podolyak mengatakan sangat aneh mendengar versi absurd sejarah Crimea jika mengacu pada pandangan China, yang disampaikan oleh Lu Shaye, dan pandangan Beijing tersebut tentu tidak dapat diterima.

DPP PII menilai wajar jika negara-negara tersebut marah, apalagi Lu Shaye menyebut ada sejarah di mana Krimea awalnya merupakan bagian dari Rusia dan Khrushchev yang menawarkan Krimea ke Ukraina selama periode Uni Soviet.

Disisi lain, China disinyalir telah menekan negara-negara dunia yang menjalin kerjasama dengannya, seperti Brazil, yang tiba-tiba mendukung Rusia yang tak lain kolega Tiongkok mengingat kedua negara sama-sama memiliki faham komunis.

Usai menemui Presiden Xi Jinping, Presiden Brasil, Luiz Inácio Lula da Silva, tiba-tiba menyebut Eropa harus berhenti memasok senjata ke Ukraina karena memperpanjang konflik, dengan alasan hal tersebut akan menimbulkan korban perang lebih banyak lagi.

Presiden Brasil menawarkan dirinya sebagai perantara perdamaian, bertemu dengan menteri luar negeri Rusia, Sergei Lavrov, di Brasília minggu lalu, tetapi belum pernah bertemu dengan pejabat senior Ukraina.

“Dari laporan sejumlah media, Gedung Putih menuduh Lula adalah propaganda Rusia dan China, dimana Beijing ingin Rusia terhindar dari kekalahan,” pungkas Furqan Raka.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Ferry Hidayat

Tag Terkait:

Advertisement

Bagikan Artikel: