DPP PII Ingatkan Pemerintah agar Tak Terjerat Jebakan Utang China
Dewan Pimpinan Pusat Pelajar Islam Indonesia (DPP PII) mengingatkan pemerintah agar tidak terjebak dengan jebakan maut hutang China agar tidak ‘terjajah’, seperti yang dialami beberapa negara dunia, antara lain sejumlah negara di Afrika dan Srilanka.
Beijing diketahui memberikan bantuan berupa hutang sebesar US$ 4,5 Milyar, untuk membiayai sejumlah proyek pembangunan infrastruktur di negara-negara Afrika tersebut.
Negara Uganda misalnya, dikutip dari Economic Times, Pemerintah Uganda telah mendapatkan pinjaman dari Bank Exim China sebanyak US$ 207 juta untuk memperluas Bandara Internasional Entebbe.
Akibat tak mampu membayar hutang tepat pada waktunya, Beijing diduga telah mengambil alih Bandara Internasional Entebbe Uganda di Afrika Timur.
Wakil Bendahara Umum DPP PII, Furqan Raka menyebut nasib Indonesia bisa serupa dengan Uganda, mengingat saat ini hutang pemerintah untuk membangun beberapa proyek infrastruktur seperti kereta api cepat, semakin membengkak tiap harinya.
“Apalagi Beijing di proyek Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) pada desember 2020 lalu telah mengusulkan penambahan 30 tahun lagi dari konsesi 50 tahun kereta api cepat yang sedang dibangun di Jawa,” kata Furqan Raka kepada wartawan, Jum’at (12/5/2023).
Jika pemerintah Indonesia tidak dapat menolak proposal tersebut, lanjut Furqan Raka, perkeretaapian akan berada di bawah pengaruh China hingga awal abad ke-22.
Hal ini menimbulkan kekhawatiran di dalam negeri karena bukan tidak mungkin kondisi Indonesia seperti Sri Lanka yang terpaksa menyewakan Pelabuhan Hambantota ke China dengan imbalan keringanan utang.
Pemerintah Srilanka diketahui menyewakan Pelabuhan Hambantota kepada China swlama 99 tahun yang berlaku sejak tahun 2017.
“Kekhawatiran segenap bangsa Indonesia sangat wajar, mengingat konsesi 80 tahun yang di inginkan Beijing, jelas membuat negara ini terjajah,”tutur Furqan Raka.
“Apalagi kami dengar Beijing memiliki telah saham lebih dari 40 persen saham dalam proyek ini,” lanjut Firqan Raka.
Indonesia sendiri memiliki 60 persen saham di perusahaan patungan PT Kereta Api Indonesia (KCIC), yang terdiri dari mitra lokal PT Pilar Sinergo BUMN Indonesia (PSBI) dan konsorsium China yang terdiri dari China Railways International Co Ltd dan empat perusahaan lainnya.
DPP PII menilai ‘Drama Hutang China’ imi adalah kasus kasus klasik diplomasi jebakan hutang, ketika negara kreditur memberikan pinjaman dalam jumlah yang berlebihan, kemudian mengekstraksi konsesi ekonomi atau politik, ketika negara debitur tidak dapat memenuhi kewajiban pembayarannya.
Dalam hal ini, China mampu mengambil alih pelabuhan penting secara geostrategis di tengah Samudera Hindia itu.
Proyek kereta api cepat di Indonesia sendiri, dimulai pada tahun 2015 yakni dengan membangun jalur kereta api dengan tenggat tanggal penyelesaian yang ditetapkan paling cepat tahun 2018, lalu mulai bergulir setahun kemudian.
“Namun dalam perjalanannya, terjadi penundaan sehingga meningkatkan total biaya konstruksi sekitar 40 persen, dan memaksa pemerintah Indonesia untuk menggerogoti kas negara sebesar 7 triliun rupiah (US$468 juta),” ujar Furqan Raka.
The South China Morning Post melaporkan bahwa proses pembebasan tanah yang rumit dan memakan waktu untuk proyek tersebut belum selesai hingga tahun 2020, karena pemilik tanah di sepanjang rute tersebut menolak untuk menjual, menyebabkan biaya kompensasi meningkat tajam.
Padahal, Beijing melalui China Development Bank yang menawarkan pinjaman untuk menutupi 75 persen dari biaya proyek dengan jangka waktu pembayaran 40 tahun, awalnya menjanjikan proyek kereta api cepat selesai tepat waktu, yakni sebelum pemilihan umum 2019 di Indonesia.
Selain itu, berdasarkan laporan AidData menunjukkan bahwa China memberikan lebih dari US$34,9 miliar bantuan keuangan kepada Indonesia antara tahun 2000 dan 2017, yang ditujukan sebagai bantuan pembangunan resmi atau aliran masuk resmi lainnya.
AidData juga melaporkan bahwa Indonesia memiliki US$4,95 miliar eksposur utang negara ke China dan US$17,28 miliar yang telah ditanggung oleh perusahaan milik negara atau entitas pemerintah lainnya tanpa jaminan negara.
“Jika melihat data tersebut, Ini menyiratkan bahwa sekitar 78 persen utang Indonesia ke China tidak tercermin dalam buku-buku pemerintah, mengumpulkan apa yang digambarkan oleh editorial surat kabar digital online Koran Tempo sebagai “bom waktu yang berdetak” yang dapat berdampak pada pembangunan ekonomi negara,” jelas Furqan Raka.
DPP PII menilai wajar jika banyak pihak yang menyimpulkan Indonesia dapat membayar mahal atas sikap "ambil enteng" dan kerusakan yang disebabkan oleh kelalaian negara dalam negosiasi kontrak proyek kereta api.
“Jika tren ini berlanjut setelah Presiden Jokowi mengakhiri masa jabatan lima tahun keduanya pada Oktober 2024, presiden berikutnya dapat memanfaatkan mega proyek kereta api sebagai alat mudah untuk mendelegitimasi pencapaian Jokowi, terutama di bidang infrastruktur,” jelas Furqan Raka.
Dengan demikian pemerintah saat ini dan berikutnya berada di ambang dilema yang nyata seperti Srilanka dan negara-negara Afrika, dimana negara harus bertanggung jawab membayar bunga yang ditawarkan oleh China sebesar 3,4% per tahun dengan tenor selama 30 tahun.
“Ngeri sih, apalagi Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi, Luhut Panjaitan, mengatakan China enggan menurunkan bunga pinjaman menjadi 2% dengan tenor selama 40 tahun yang merupakan skema pembiayaan awal,” ucap Furqan Raka.
“Semoga ada langkah konkrit untuk terlepas dari jebakan hutang Beijing agar bangsa dan negara ini tidak terjajah Beijing seperti Uganda dan Srilanka,” pungkas Furqan Raka.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat
Tag Terkait:
Advertisement