Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Menakar Ambivalensi China dalam Konflik Rusia dan Ukraina

Menakar Ambivalensi China dalam Konflik Rusia dan Ukraina Kredit Foto: Reuters/Sputnik/Sergei Karpukhin

Di saat negara-negara lain dengan vokal mengutuk invasi Rusia ke Ukraina, China menolak untuk melakukan hal yang sama. Pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 Bali November lalu, China memilih untuk tidak menggunakan kata “perang” untuk mendeskripsikan situasi yang sedang terjadi di Ukraina.

China juga menolak untuk menjatuhkan sanksi ekonomi kepada Rusia dan mengkritisi bahwa sanksi yang diberikan oleh negara-negara Barat malah “memperburuk krisis pangan dan kesulitan finansial di negara berkembang dan menimbulkan lebih banyak kesulitan kepada masyarakat.”

Baca Juga: Diminta Jelaskan Eror dalam Bantuan di Ukraina, Gedung Putih Cuma Kasih Jawaban Begini

Diterjemahkan dari pidato Wang Yi, diplomat senior dan mantan Menteri Luar Negeri China, yang berjudul “Maintain a Global Vision, Forge Ahead with Greater Resolve and Write a New Chapter in Major-Country Diplomacy with Chinese Characteristics,” Desember 2022 lalu, China dengan resmi menyatakan bahwa, “Sehubungan dengan krisis Ukraina, kami secara konsisten menjunjung tinggi prinsip-prinsip dasar objektivitas dan ketidakberpihakan, tanpa memihak salah satu pihak, atau memantik api, apalagi mencari keuntungan sendiri dari situasi tersebut.”

Tak hanya itu, pada masa awal pecahnya konflik Rusia-Ukraina, China abstain (tidak memberikan suara) dalam pemungutan suara Dewan Keamanan PBB yang mengecam invasi Rusia itu. Kamis, 16 Februari lalu, tepat satu tahun Rusia menginvasi Ukraina, PBB mengadopsi sebuah resolusi yang menuntut Rusia untuk menarik mundur pasukannya dan segera menghentikan perang. Tercatat 141 negara anggota, termasuk Indonesia, yang menyetujui resolusi tersebut. Akan tetapi, China kembali abstain.

Yang menarik, meski abstain dalam dua resolusi di atas, serta tidak bersedia mengutuk Rusia atas invasinya ke Ukrania, China turut memberikan bantuan kemanusiaan kepada Ukraina sejak satu bulan pertama pecahnya konflik Rusia-Ukraina.

Dalam sebuah dokumen resmi yang baru saja dirilis oleh Kementerian Luar Negeri China pada 17 Februari lalu, China menyerukan untuk memulai kembali dialog untuk mewujudkan perdamaian, menyudahi sanksi sepihak, dan menentang sikap Rusia yang mengancam akan menggunakan senjata nuklir dalam invasinya.

China juga menambahkan bahwa ia akan terus memainkan “peran yang konstruktif”, tanpa memberikan elaborasi lebih lanjut. Terakhir, China juga menawarkan diri untuk menjadi mediator bagi Rusia dan Ukraina.

Saat penulis menulis artikel ini, pada 13 Maret, dikabarkan bahwa Presiden China, Xi Jinping, akan menelepon dan berdialog dengan Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky, dalam waktu dekat dan ini akan menjadi komunikasi pertama Xi dengan Zelensky sejak invasi Rusia ke Ukraina.

Respons China yang tampaknya ambivalen ini tentu mengundang banyak kritik dari masyarakat dunia. Terdapat kekhawatiran bahwa hubungan bilateral yang erat antara China dan Rusia akan membuat China mendukung Rusia dalam invasinya, baik secara militer maupun finansial.

Kekhawatiran ini terlihat, misalnya, dalam peringatan keras presiden AS Joe Biden kepada Presiden China, Xi Jinping. Dalam sebuah pertemuan daring antara keduanya, Biden dengan keras memberi peringatan kepada Xi bahwa akan ada “konsekuensi bila China memberikan dukungan material atau militer kepada Rusia.”

Menanggapi kekhawatiran di atas, Wang Yi menegaskan, “China tidak menyediakan dan memberikan senjata ke Rusia karena itu adalah bagian dari kebijakan luar negeri kami untuk tidak mempersenjatai pihak yang berkonflik.” Wang Yi juga menyampaikan, “Kami menginginkan solusi politik untuk memberikan kerangka kerja yang damai dan berkelanjutan ke Eropa.”

Bagaimana kita memahami sikap China yang tampaknya ambivalen itu? Dalam pandangan penulis, sikap China di atas perlu dipahami dalam konteks rivalitas yang tajam antara China dan Amerika Serikat. China tampaknya berpandangan bahwa bergabung dengan aliansi negara-negara Barat dalam mengutuk invasi Rusia dan juga memberikan sanksi ekonomi dapat membuatnya dianggap tunduk kepada kehendak AS.

Halaman:

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Muhammad Syahrianto

Advertisement

Bagikan Artikel: