Awas! Batas Modal Minimum Fintech Jangan Sampai Memunculkan Dominasi Pasar
Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menilai, ketentuan permodalan financial technology lending (fintech lending) yang dapat menyebabkan terjadinya merger antara perusahaan fintech jangan sampai memunculkan dominasi pasar. Dominasi pasar oleh satu-dua perusahaan akan menghilangkan kompetisi sehat dalam pasar fintech yang bertujuan untuk mewujudkan inklusi keuangan.
Untuk memenuhi ketentuan permodalan yang ditetapkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), perusahaan fintech lending dapat melakukan konsolidasi atas aset mereka hingga mencapai batas minimum yang ditetapkan OJK.
"Peningkatan compliance ketentuan permodalan dan ekuitas untuk fintech dalam rangka proteksi konsumen merupakan langkah pemerintah yang tepat. Namun, jika adanya merger nanti antara perusahaan fintech lending untuk memenuhi persyaratan perlu diawasi dan diatur agar kompetisi pasar tetap sehat dan mencegah dominasi pangsa pasar oleh sejumlah pemain,” jelas Peneliti CIPS Amira Husna Natanegara di Jakarta, Selasa (20/6/2023). Baca Juga: Hindari Fintech Gagal Bayar, OJK Wajib Terus Awasi dan Beri Penalti pada P2P Lending
Menurutnya, kompetisi yang sehat antara perusahaan fintech perlu dijaga agar perusahaan terus berinovasi dan diversifikasi target segmen dalam mencapai inklusi keuangan. Karena fintech lending adalah solusi untuk banyak peminjam yang membutuhkan dana cepat dan accessible, terutama untuk kalangan unbanked dan underbanked.
"Dari sisi pemain fintech juga perlu menjamin bahwa merger tidak hanya semata pemenuhan persyaratan, tetapi mereka harus memastikan layanannya membawa manfaat dari merger kepada nasabah seperti diversifikasi produk, efisiensi dalam operasi bisnis, dan perbaikan dalam proses dan sistem pinjam-meminjam," paparnya.
Upaya untuk mencegah terjadinya gagal bayar juga termasuk ke dalam perlindungan konsumen. Fintech lending idealnya memberikan informasi yang sejelas-jelasnya mengenai produk dan profil risikonya kepada konsumen dan memastikan mereka memahami produk yang mereka gunakan.
Penelitian CIPS juga merekomendasikan perlunya pedoman yang lebih jelas bagi konsumen tentang bagaimana dan kemana mengajukan pengaduan untuk setiap jenis masalah terkait dengan transaksi P2P lending. Pedoman ini sangat diperlukan karena tidak semua konsumen mengetahui jenis pelanggaran apa yang harus diajukan ke OJK (penagihan utang secara agresif, legalitas pemberi pinjaman) atau ke polisi (dalam kasus ancaman, penganiayaan atau pelecehan).
Sebagaimana diketahui, dalam rangka compliance atau kepatuhan, OJK dalam Peraturan OJK (POJK) Nomor 10/POJK.05/2022 tentang ketentuan persyaratan permodalan dan ekuitas minimum, telah mengatur bahwa penyelenggara harus memiliki modal disetor pada saat pendirian paling sedikit Rp25 miliar; dan Penyelenggara wajib setiap saat memiliki ekuitas paling sedikit Rp12,5 miliar, penggabungan perusahaan fintech atau merger antara dua atau lebih dari dua perusahaan dapat menjadi solusi dari pemenuhan persyaratan tersebut. Baca Juga: Fintech Indonesia Berkembang Cepat, Wakil Sri Mulyani: KSSK Awasi Ketat Lewat UU P2SK
Ketentuan permodalan akan diberlakukan secara bertahap yang dimulai pada 4 Juli 2023 sengan minimal permodalan senilai Rp 2,5 miliar. Kemudian di tahun berikutnya, persyaratan modal minimum perusahaan fintech menjadi Rp 7,5 miliar dan seterusnya hingga Rp 12,5 miliar pada 4 Juli 2025.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Fajar Sulaiman
Editor: Fajar Sulaiman
Tag Terkait:
Advertisement