Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Strategi Hadapi Dampak El Nino dan Stop Pemborosan Makanan Menjadi Sangat Penting untuk Ketahanan Pangan

Strategi Hadapi Dampak El Nino dan Stop Pemborosan Makanan Menjadi Sangat Penting untuk Ketahanan Pangan Kredit Foto: UKP Mardiono
Warta Ekonomi, Jakarta -

Utusan Khusus Presiden (UKP) RI Bidang Kerja Sama Pengentasan Kemiskinan dan Ketahanan Pangan Muhamad Mardiono menekankan pentingnya strategi dan antisipasi oleh seluruh elemen masyarakat di tanah air dalam menghadapi dampak El Nino yang diperkirakan puncaknya akan terjadi pada Agustus-September 2023 dan mengancam ketahanan pangan di Indonesia.

UKP Muhamad Mardiono saat menyampaikan pidato kunci dalam Focus Group Discussion (FGD) Strategi dan Antisipasi Dampak El Nino Terhadap Ketahanan Pangan di Novotel Bogor Golf Resort and Convention Center di Bogor, Kamis (6/7/2023), mengatakan fenomena El Nino menjadi ancaman serius bagi ketahanan pangan di Indonesia.

“Kita dihadapkan pada ancaman kekeringan karena fenomena El Nino yang bisa berdampak pada produksi pangan secara nasional. Kemarau panjang dan ekstrem ini harus benar-benar kita antisipasi dengan strategi yang baik,” kata Mardiono.

Jika tidak diantisipasi dan dimitigasi dengan strategi yang baik, kekeringan akan menjadi bencana bahkan mendatangkan dampak ikutan lain seperti gagal panen, krisis air bersih, kebakaran lahan yang berpengaruh langsung pada keberlanjutan ketahanan pangan.

Baca Juga: Krisis Pangan di Depan Mata, Pemerintah Buat Apa?

El Nino tercatat menurunkan produksi padi di Indonesia antara 1-5 juta ton sejak 1990-2020. 

Sejumlah riset yang dilakukan juga menunjukkan hal serupa salah satunya turunnya produksi beras di Banten sejak 2002-2015 akibat fenomena El Nino. Tahun ini Badan Pusat Statistik (BPS) mendata realisasi produksi beras pada Februari dan Maret 2023, masing-masing 2,8 juta ton dan 5 juta ton, atau lebih rendah dibandingkan proyeksi sebelumnya yang ditetapkan sebesar 3,6 juta ton dan 5 juta ton.

“El Nino dan La Nina sebenarnya merupakan fenomena yang sudah jamak terjadi dan BMKG juga sudah memperkirakan Indonesia akan mengalami dengan puncak terekstrem pada Agustus 2023. Oleh karena itu, saya berharap seluruh stakeholder termasuk perguruan tinggi, BRIN, Bapanas, Kementan, dan instansi terkait harus menjadi lokomotif dalam menghadapi fenomena alam ini, mengingat pengaruh El Nino terhadap sektor pertanian bersifat langsung dan nyata,” katanya.

Selain itu, Mardiono menekankan perlunya perhatian khusus, dari instansi terkait dengan mengeluarkan kebijakan berupa perlindungan terhadap para petani, yang mengalami gagal panen, akibat dampak dari iklim ekstrem, karena selain kerugian ekonomi yang sangat dahsyat, kebakaran hutan dan lahan, juga membawa dampak kesehatan yang mengerikan. 

Berkaca pada pengalaman yang lalu, kabut asap yang menutupi kota-kota bahkan, mencapai negara tetangga, telah mengakibatkan banyaknya pengungsian, pada rumah-rumah yang menyediakan udara lebih sehat.

Terkait dengan upaya mewujudkan ketahanan pangan, UKP Mardiono juga fokus pada pola budaya konsumsi di masyarakat yang mulai menunjukkan gejala terjadinya pemborosan pangan yakni fenomena food waste dan food loss di Indonesia. 

“Saya ingin menyampaikan, data dari UNEP pada 2021, menunjukkan Indonesia menjadi negara dengan produksi sampah makanan urutan ke-4, terbesar di dunia, setelah China, India, dan Nigeria dengan total sampah makanan mencapai 21 juta ton tiap tahunnya,” katanya.

Baca Juga: Palm Co Diyakini akan Perkuat Kemampuan Pemerintah Kelola Ketahanan Pangan

Bahkan menurut data Bappenas, sampah makanan di Indonesia mencapai 23 sampai 48 juta ton per tahun, atau setara dengan 115 sampai 184 kilogram per orang per tahun. Besarnya sampah makanan berdampak terhadap sektor ekonomi, sosial, dan lingkungan. 

Akibat sampah makanan ini pula, Bappenas memperkirakan negara setidaknya mengalami kerugian ekonomi yang mencapai Rp213 triliun sampai Rp551 triliun per tahun, atau setara dengan 4 sampai 5 persen PDB Indonesia.

“Sampah makanan juga menyumbang sekitar 8 sampai 10 persen emisi gas rumah kaca, sehingga saya kira ke depan mendesak ada perubahan budaya masyarakat, melalui kampanye program ‘makan secukupnya’ atau ‘cukup satu porsi’ untuk mengubah perilaku masyarakat, dengan mengambil makanan sedikit, dan dapat menambah makanan sesuai porsinya jika diperlukan,” katanya.

Hal ini semata untuk mencegah terjadinya mubazir pangan yang kemudian menjadi sampah makanan. Kampanye program “belanja dengan bijak” untuk mengurangi stok makanan berjamur dan kadaluarsa juga harus terus dilakukan. 

Selain itu diperlukan tempat penyimpanan makanan yang baik, untuk menghindari makanan menjadi basi. Di samping perlu program “berbagi makanan” untuk menghindari kadaluarsa makanan, misalnya bekerja sama dengan pasar modern atau supermarket untuk menyalurkan makanan yang mendekati kadaluarsa. Hal itu tidak lain agar pemborosan makanan bisa ditekan sehingga ketahanan pangan terwujud secara berkualitas di Indonesia.

Pada kesempatan yang sama Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) Arief Prasetyo Adi mengatakan riset World Food Programme (WFP) menunjukkan negara dengan kerawanan iklim semakin tinggi cenderung akan menimbulkan kerawanan pangan yang berdampak pada populasi masyarakat dengan gizi kurang (undernourished). 

“Indonesia termasuk wilayah dengan kerawanan iklim medium, sehingga diperlukan awareness dan antisipasi untuk mengurangi potensi krisis pangan. Perlu political will dan langkah aksi bersama untuk meningkatkan produksi beras, kedelai, daging lembu, dan gula konsumsi agar dapat memenuhi kebutuhan nasional,” kata Arief.

Sementara itu Direktur Kebijakan Pembangunan Manusia, Kependudukan dan Kebudayaan Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) Anugerah Widiyanto menyampaikan BRIN senantiasa akan melakukan berbagai riset untuk mengantisipasi dan memitigasi iklim serta mendukung upaya ketahanan pangan. 

Ia juga menyampaikan saran kebijakan penanganan El Nino secara jangka pendek dan jangka panjang. Saran kebijakan El Nino jangka pendek mencakup penyiapan benih varietas tanaman yang toleran Kekeringan dan Umur pendek; percepatan tanam daerah berpotensi air cukup.

“Selain itu juga memanfaatkan air seoptimal mungkin dari embung, dam juga dengan pompa; mengatur pemanfaatan air secara efisien dengan menerapkan teknologi Intermitten; memanfaatkan teknologi budidaya lainnya agar kelembaban tanah terjamin untukpertumbuhan tanaman seperti penggunaan mulsa, dan menggerakkan pemda dan penyuluh untuk mengawal pertanaman di lapang dan memastikan tanaman menghasilkan,” katanya.

Sedangkan saran kebijakan mitigasi El Nino dalam jangka menengah panjang mencakup upaya untuk menambah kapasitas penampungan air yang lebih masif seperti membangun dam, waduk dan memperbaiki infrastruktur dalam jumlah massif dan pemanfaatannya secara efisien dan efektif; menambah cadangan air dengan memperbanyak masuk ke tanah dengan rehabilitasi lahan dan pembangunan fisik; mendorong pemulia tanaman untuk menghasilkan varietas umur pendek dan toleran kekeringan; memperkuat riset yang mengarah kepada mitigasi dan adaptasi dampak perubahan iklim; peningkatan pemahaman tentang fenomena alam El Nino dan dampaknya.

Plt Deputi Bidang Klimatologi BMKG Dr Ardhasena Sopaheluwakan mengatakan kondisi iklim selalu diupdate oleh BMKG dan sudah digunakan sebagai salah satu referensi/bahan pertimbangan pengambilan keputusan serta rekomendasi dalam Sistem Pemantauan Ketahanan Pangan Nasional. 

“Di semester II tahun 2023, diprediksikan akan ada gangguan iklim global yaitu El Nino yang berpotensi menyebabkan kekeringan di sejumlah wilayah di Indonesia. Perlu antisipasi dan langkah nyata dalam upaya mengamankan ketersediaan dan ketahanan pangan nasional,” katanya.

Dalam acara FGD tersebut hadir perwakilan dari berbagai stakeholder terkait untuk menghasilkan rumusan pemikiran sebagai referensi dan rekomendasi dalam pengambilan keputusan menyangkut ketahanan pangan khususnya terkait penanganan dampak El Nino. Hadir pula sejumlah pejabat di antaranya Direktur Utama ID Food Frans M.Tambunan.

Narasumber dalam FGD yakni Kepala BSIP Kementerian Pertanian Dr. Rahmawati; Kepala Organisasi Riset Pertanian dan Pangan BRIN Puji Lestari, S.P., M.Si., Ph.D; Deputi 2 Kantor Staf Presiden Abetnego Tarigan; Deputi Ketersediaan dan Stabilisasi Pangan, Badan Pangan Nasional, Maino Dwi Hartono S.TP., M.P. Dan tim perumus yakni Khudori, Prof Edi Santosa, Dr Irman Firmansyah, M.Si, dan Dr Didit Okta Pribadi, M.Si.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Annisa Nurfitri
Editor: Annisa Nurfitri

Tag Terkait:

Advertisement

Bagikan Artikel: