Fresh Factory: RI Kekurangan Gudang Pendingin, Akibatnya Jadi Penyumbang Sampah Makanan Terbesar
Perusahaan rintisan (startup) yang berfokus pada rantai pasok dan gudang pendingin, Fresh Factory mengumumkan kerja samanya dengan perusahaan logistik PT Nusantara Card Semesta (NCS) di Jakarta pada Rabu (12/7/2023). Di sela-sela sesi tanya jawab, seorang pendiri Fresh Factory menyinggung soal Indonesia yang kekurangan gudang pendingin, yang berdampak pada timbulnya sampah makanan.
CEO dan founder Fresh Factory, Larry Ridwan mengatakan Indonesia kekurangan kapasitas gudang pendingin. Alhasil, terjadi sampah makanan (food waste). Ia mengambil contoh kasus ketika nelayan di Ambon, Maluku Selatan yang tengah memanen ikan, tapi karena distribusi kurang luas hingga ke luar daerah, ikannya membusuk dan akhirnya dikubur.
“Kalau kita semua mengambil warehousing atau cold storage sebagai salah satu indikatornya kan, pallet capacity menurut data ARPI (Asosiasi Rantai Pendingin Indonesia), di Indonesia sekarang jumlah palet cold storage itu sekitar 2,8 juta palet. Sedangkan kebutuhan Indonesia tuh 4 juta palet. Jadi, Indonesia kekurangan capacity cold storage,” jelasnya.
Baca Juga: Fresh Factory Gandeng NCS Kembangkan Distribusi Rantai Pasok & Gudang Pendingin ke Seluruh Indonesia
Karena adanya kekurangan kapasitas gudang pendingin, Indonesia berpotensi berada di kondisi sebagai penyumbang sampah makanan (food waste) terbesar.
“Ini reflect ke mana? Food waste state, pak. Makanan yang basi. Kebetulan saya habis dari Ambon. Ada saatnya waktu panen ikan, ikan itu dikubur pak karena tidak ada cold storage. Itu salah satu indikatorlah,” ujar Larry serius.
Larry juga sempat menyebutkan, Indonesia sebagai negara penghasil budi daya pertanian dan perikanan, masih membutuhkan peranan rantai pasok dan gudang pendingin (cold chain).
“Dari segi perekonomian Indonesia, kita merasa bahwa—Indonesia negeri agrikultur dan akuakultur—namun cold chain ini peranannya sangat besar. Estimasi kami hampir 20% perekonomian itu related ke cold chain. Itu ketika kita semua mengambil GDP sebagai indikator, berarti it’s US$400 juta (Rp6 triliun) GDP. Kalau kita semua lihat 10%-nya itu sebagai logistic warehouse related cost, this is US$2 triliun (Rp30.152 triliun) industry,” bebernya.
“Hampir sama dengan electric vehicle-nya Pak Luhut. Jadi saya rasa besar sekali,” tutup Larry.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Nadia Khadijah Putri
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait:
Advertisement