Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Cost Recovery Migas Jauh dari Target, Ini Penyebabnya

Cost Recovery Migas Jauh dari Target, Ini Penyebabnya Kredit Foto: Antara/Akbar Nugroho Gumay
Warta Ekonomi, Jakarta -

Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) mencatat cost recovery di semester I-2023 jauh lebih rendah dari target yang ditetapkan. 

Cost recovery merupakan biaya operasi yang dikeluarkan terlebih dahulu oleh kontraktor untuk melaksanakaan kegiatan eksplorasi, eksploitasi, dan produksi minyak dan gas (migas). 

Wakil Kepala SKK Migas Nanang Abdul Manaf mengatakan, cost recovery pada semester I-2023 tercatat hanya berada di angka US$3,07 miliar atau lebih rendah dari target yang ditetapkan sebesar US$4,3 miliar.

Baca Juga: Meski Lebih Rendah dari Target, SKK Migas Sebut Lifting Migas Semester I-2023 Meningkat

"Kalau dibanding tahun lalu, pencapaian semester ini masih di bawah, 95,9 persen (US$3,2 miliar)," ujar Nanang dalam konferensi pers, Selasa (18/7/2023). 

Nanang mengatakan, catatan cost recovery pada semester 1 yang hanya mencapai 71 persen dari target dikarenakan beberapa pekerjaan yang tertunda, seperti pengeboran sumur dan pengembangan di area yang sibuk seperti di Pertamina Hulu Rokan (PHR) awal tahun terjadi kecelakaan. 

"Kemudian dilakukan yang namanya stand shutdown, sehingga semua rig di seluruh Pertamina Group dilakukan assesment, inspeksi, ternyata sebagaian tidak bisa digunakan lagi, jadi harus melalui perbaikan, melengkapi peralatan safety," ujarnya.

Nanang menyebut hal tersebut dilakukan guna menghindari kecelakaan yang sama. Sehingga, dalam posisi saat ini pihak terkait sedang berusaha untuk bisa menambah rig yang sesuai dengan inspeksi atau persyaratan keamanan.

Lanjutnya, dari sisi penerimaan negara, Nanang menyebut bahwa sepanjang semester I-2023 baru terealisasi sebesar US$6,75 miliar atau lebih rendah dari target yang ditetapkan sebesar US$7,4 miliar.

Hal tersebut terjadi lantaran adanya perbedaan asumsi makro di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2023 dengan realisasi yang ada.

"Asumsi kita US$90 per barel, realisasi kita di US$65 per barel, jadi ada US$15 deviasi antara asumsi APBN dengan realisasi rata-rata sampai semester I tahun ini, sehingga pencapaian kita dibanding tahun lalu hanya 69,9 persen, tapi untuk pencapaian target di semester ini 91 persen," ucapnya.

Baca Juga: SKK Migas Beberkan Tantangan Hulu Migas dalam Masa Transisi Energi

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Djati Waluyo
Editor: Rosmayanti

Advertisement

Bagikan Artikel: