Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Tanggapan Kemenkominfo terkait Rancangan Perpres Jurnalisme Berkualitas: Kami Coba Jembatani

Tanggapan Kemenkominfo terkait Rancangan Perpres Jurnalisme Berkualitas: Kami Coba Jembatani Kredit Foto: Antara/Aprillio Akbar
Warta Ekonomi, Jakarta -

Peraturan Presiden (Perpres) tentang jurnalisme berkualitas masih memicu kontra dari berbagai pihak. Namun, salah satu perwakilan dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) mengatakan, pihaknya mencoba untuk menjembatani kepentingan antara pers dan perusahaan platform.

Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik (IKP) Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Usman Kansong, mengatakan bahwa rancangan Perpres tersebut masih mempertimbangkan masukan dari pers dan perusahaan platform.

Baca Juga: Pakar Hukum & Pers: Rancangan Perpres tentang Jurnalisme Berkualitas Adalah Langkah Antidemokrasi

"Pemerintah sudah berupaya keras. Kurang lebih kalau dihitung dari Perpres-nya sendiri, satu tahun belakangan, tidak dihitung gagasan awal [Perpres] yang sudah muncul pada tahun 2020. Kami coba menjembatani. Pada dasarnya itu," ujar Usman saat menghadiri diskusi panel bertajuk "Publisher Rights, Google dan Masa Depan Pers" yang dilansir dari YouTube Trijaya FM pada Minggu (30/7/2023).

Usman mengatakan, Perpres tersebut bukan mengatur pers, melainkan mengatur perusahaan platform untuk bekerja sama secara ekonomi demi mendukung jurnalisme berkualitas. Sayangnya, pihak perusahaan platform sempat keluar ketika membahas Pasal 5a yang tercantum dalam Perpres saat sesi rapat bersama Kominfo dan pers.

"Contoh ya misalnya di Pasal 5a yang sempat dipersoalkan, tetapi sekarang tidak lagi dipersoalkan oleh platform. Pasal 5a awalnya itu usulan teman-teman pers bahwa platform tidak boleh menyalurkan berita yang tidak sesuai dengan kode etik jurnalistik undang-undang Pers," ungkap Usman.

Usman melanjutkan, pihak perusahaan platform tidak bisa melakukan hal tersebut karena empat alasan, mulai dari algoritma, kompetensi untuk menyeleksi berita, masalah sensor berita, hingga kewenangan menyeleksi berita.

Usman merinci, pertama soal masalah algoritma, platform yang menyediakan dan melatih algoritma belum sampai pada tahap untuk memilah dan memilih apakah satu berita itu sesuai dengan kode etik jurnalistik.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Nadia Khadijah Putri
Editor: Puri Mei Setyaningrum

Advertisement

Bagikan Artikel: