- Home
- /
- New Economy
- /
- Energi
Revolusi Hilirisasi: Mengapa Ekspor Bukan Hanya Soal Angka, Tapi Juga Manfaat Nyata?
Perbandingan Perlakuan terhadap Perusahaan Nikel
Said Didu membahas perbandingan perlakuan terhadap perusahaan nikel yang ada di Indonesia, khususnya PT Aneka Tambang (Antam), dalam konteks kebijakan hilirisasi. Ia mengajukan pertanyaan mengapa perusahaan-perusahaan tersebut tidak diberikan fasilitas yang sama dengan China dalam proses hilirisasi.
Dia menyoroti perusahaan nikel Indonesia, seperti Antam, seharusnya memiliki hak yang sama dalam mendapatkan fasilitas dan insentif yang diberikan kepada perusahaan asing, terutama China. Ia mempertanyakan mengapa perusahaan nikel Indonesia tidak mendapatkan perlakuan yang setara dengan China dalam hal fasilitas dan insentif yang mendukung hilirisasi.
Dia pun menjelaskan, perusahaan nikel Indonesia, seperti Antam, telah ada sejak lama dan memiliki pengalaman dalam industri ini. Namun, ia mengamati tidak ada penjelasan yang memadai mengapa perusahaan-perusahaan ini tidak mendapatkan fasilitas dan perlakuan yang setara dengan perusahaan China dalam konteks hilirisasi.
Lebih lanjut, Said Didu mencatat banyak perusahaan tambang di Indonesia, termasuk yang bergerak dalam ekspor nikel, berpindah tangan untuk menyuplai bahan baku ke China. Ia mengajukan pertanyaan penting mengenai mengapa perusahaan-perusahaan ini lebih memilih untuk menyuplai China daripada menjalankan proses pengolahan di Indonesia.
Dalam pandangannya, perbandingan perlakuan terhadap perusahaan nikel Indonesia dan China menunjukkan pentingnya adanya kesetaraan dalam mendukung perusahaan nasional dalam menjalankan hilirisasi. Dia menggambarkan perlunya meninjau kembali kebijakan dan regulasi yang berlaku untuk memastikan perusahaan-perusahaan nasional tidak merasa terpinggirkan dan dapat mendapatkan manfaat yang setara dalam proses hilirisasi.
Kehilangan Pendapatan Negara dan Royalti
Said Didu membahas dampak dari kebijakan hilirisasi terhadap pendapatan negara dan royalti yang mungkin hilang atau berkurang akibat perubahan harga dan proses ekspor. Ia mengajukan pertanyaan kritis mengenai bagaimana kebijakan ini bisa berdampak pada hilangnya pendapatan negara yang seharusnya diperoleh.
Dia menjelaskan, dalam situasi di mana harga komoditas seperti nikel memiliki perbedaan yang signifikan antara harga dunia dan harga dalam negeri, terdapat potensi kehilangan pendapatan negara yang besar. Ia memberi contoh, nikel yang dijual ke China dengan harga lebih rendah dari harga dunia akan mengakibatkan kehilangan pendapatan, terutama jika perbedaan harganya signifikan.
Selanjutnya, dia membahas perhitungan royalti berdasarkan harga jual or kepada smelter atau ekspor. Ia mengingatkan, dalam kasus seperti nikel, yang diekspor dalam bentuk bahan setengah jadi, perhitungan royalti harus mempertimbangkan kenyataan bahwa nilai tambah dan manfaat ekonomi yang lebih besar diperoleh oleh China dalam proses produksi akhir.
Ia menyoroti bagaimana peningkatan nilai tambah dan manfaat ekonomi yang dihasilkan oleh ekspor bahan setengah jadi sebenarnya lebih besar daripada yang diperoleh Indonesia. Ini mengakibatkan kerugian dalam hal pendapatan negara dan royalti karena sebagian besar manfaat ekonomi dari proses produksi dan peningkatan nilai tambah tidak diperoleh Indonesia.
Dalam pemahaman Said Didu, hal ini mencerminkan kebutuhan untuk memastikan perhitungan royalti dan pendapatan negara harus sesuai dengan manfaat ekonomi sebenarnya yang diperoleh oleh Indonesia. Ia menyuarakan keprihatinan terhadap potensi kehilangan pendapatan negara yang mungkin tidak sejalan dengan tujuan hilirisasi, dan mengajukan pertanyaan penting mengenai bagaimana pendapatan ini seharusnya dialokasikan agar lebih menguntungkan bagi Indonesia.
Kontroversi terkait Kepentingan Pemerintahan Jokowi
Said Didu membicarakan kontroversi yang muncul seputar dugaan adanya kepentingan tertentu dalam kebijakan ekonomi, terutama terkait dengan pemerintahan Jokowi. Ia mengungkapkan pandangannya tentang bagaimana beberapa proyek dan kebijakan, seperti hilirisasi dan Ibu Kota Negara (IKN), dapat dilihat sebagai kontroversial karena adanya dugaan kepentingan yang terlibat.
Said Didu mengangkat isu bahwa beberapa kebijakan ekonomi, seperti proyek hilirisasi dan IKN, tampaknya menjadi prioritas utama pemerintahan Jokowi. Ia merasa ini menimbulkan pertanyaan mengapa proyek-proyek ini menjadi begitu penting bagi pemerintahan tersebut, apakah ada kepentingan khusus yang terlibat, dan apakah proyek-proyek ini memberikan manfaat yang substansial bagi Indonesia.
Ia mencatat proyek-proyek ini menjadi bahan kontroversi karena dugaan adanya pengaruh pribadi atau kepentingan tertentu yang mungkin terlibat dalam pemilihan proyek dan kebijakan ekonomi. Said Didu tidak hanya membicarakan proyek hilirisasi, tetapi juga proyek lain seperti IKN yang ia sebutkan sebagai salah satu dari tiga proyek yang dititipkan pada masa pemerintahan Jokowi.
Dalam pandangannya, ia mendorong perlunya transparansi dalam menjalankan proyek-proyek tersebut. Ia menyuarakan keprihatinannya tentang bagaimana dugaan kepentingan tertentu dapat mempengaruhi kebijakan dan keputusan ekonomi, dan menekankan pentingnya memastikan kebijakan ekonomi dan proyek-proyek yang diambil sebenarnya mendukung kepentingan nasional dan kesejahteraan masyarakat Indonesia secara keseluruhan.
Dengan mengemukakan pandangan ini, ia menggambarkan adanya kebutuhan untuk memastikan kebijakan ekonomi dan proyek-proyek yang diambil oleh pemerintah sejalan dengan prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas, dan kepentingan nasional. Pandangannya menggarisbawahi pentingnya menjalankan kebijakan ekonomi yang lebih transparan dan berlandaskan pada manfaat nyata bagi rakyat dan negara Indonesia.
Kritik terhadap Program Hilirisasi Timah
Said Didu pun mengemukakan kritiknya terhadap program hilirisasi yang berkaitan dengan tambang timah. Ia memberikan pandangannya tentang bagaimana program hilirisasi ini menghadirkan potensi kerugian jangka panjang bagi Indonesia, terutama terkait dengan cadangan tambang timah yang semakin menipis.
Ia memulai dengan mengingatkan bahwa cadangan tambang timah Indonesia hanya terbatas pada jumlah tertentu, yakni sekitar 21 juta ton. Ia menyoroti cadangan tersebut akan habis dalam waktu 10-12 tahun jika tidak diambil tindakan tegas. Dalam konteks ini, ia menyatakan kekhawatirannya bahwa program hilirisasi yang berfokus pada ekspor bahan setengah jadi akan mengakibatkan kehilangan cadangan tersebut lebih cepat.
Said Didu menyuarakan keprihatinannya bahwa program hilirisasi timah, yang memungkinkan ekspor bahan setengah jadi ke luar negeri, dapat menghabiskan cadangan tambang timah dengan lebih cepat. Ia menegaskan hal ini berpotensi mengakibatkan kerugian jangka panjang bagi Indonesia karena cadangan yang terbatas akan habis tanpa memberikan manfaat maksimal dalam jangka panjang.
Selanjutnya, ia memberikan contoh perusahaan tambang besar seperti Freeport yang sebelumnya memberikan kontribusi besar bagi pendapatan negara dari ekspor tembaga dan emas. Namun, ia menyoroti perusahaan ini kemudian berganti kepemilikan dan memiliki persentase pendapatan yang lebih kecil yang masuk ke negara. Analoginya adalah cadangan tambang timah yang habis dengan cepat juga dapat menghasilkan kerugian serupa dalam hal pendapatan negara dan manfaat jangka panjang.
Dia memberikan perspektif kritis tentang dampak program hilirisasi terhadap cadangan tambang timah dan perekonomian jangka panjang. Ia menggambarkan kebutuhan untuk mempertimbangkan konsekuensi jangka panjang dari kebijakan ekonomi, terutama dalam pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang terbatas. Kritik ini mengajukan pertanyaan penting mengenai bagaimana pemerintah dapat mengelola cadangan tambang secara berkelanjutan dan memastikan manfaat yang lebih optimal bagi negara dan rakyat Indonesia.
Tantangan terhadap Keterangan Angka Presiden
Said Didu mengajukan tantangan terhadap keterangan angka yang diungkapkan oleh Presiden terkait dengan ekspor dan pendapatan dari program hilirisasi. Ia menyampaikan keraguan dan kekhawatirannya terkait dengan keterangan angka tersebut, yang dianggapnya belum dapat diuraikan secara rinci untuk memahami sejauh mana manfaat ekonomi sebenarnya bagi negara dan rakyat Indonesia.
Ia menjelaskan, dalam kasus tertentu, seperti ketika Presiden mengumumkan nilai ekspor sebesar Rp510 triliun, keterangan tersebut perlu lebih ditelusuri. Ia mempertanyakan siapa yang sebenarnya memiliki dan menikmati nilai ekspor tersebut, dan apakah angka tersebut benar-benar menggambarkan manfaat ekonomi yang diperoleh oleh bangsa Indonesia.
Dia juga menyoroti perbedaan antara angka ekspor yang diumumkan dan manfaat yang sebenarnya diperoleh Indonesia. Ia mengamati fokus pada kenaikan volume ekspor sering kali mengesampingkan pertanyaan yang lebih penting mengenai berapa persentase ekspor tersebut yang benar-benar masuk ke negara sebagai pendapatan, berapa yang menjadi pajak, royalti, dan manfaat ekonomi lainnya.
Lebih lanjut, ia mengemukakan, keterangan angka-angka semacam itu hanya menggambarkan satu sisi dari cerita. Ia mendorong agar pemerintah juga menguraikan detail mengenai bagaimana ekspor tersebut berkontribusi pada pendapatan negara dan masyarakat, serta bagaimana manfaat ekonomi sebenarnya diperoleh Indonesia.
Pandangan Said Didu menekankan transparansi dan kejelasan dalam melaporkan angka ekspor dan pendapatan negara. Tantangan yang diajukan olehnya mengajak untuk lebih mendalam dalam menganalisis manfaat ekonomi yang sebenarnya diperoleh dari program hilirisasi dan bagaimana hal tersebut berkontribusi pada kesejahteraan bangsa Indonesia secara keseluruhan.
Kerugian Negara dalam Kebijakan Hilirisasi
Said Didu menguraikan bagaimana program hilirisasi, terutama jika tidak dijalankan dengan tepat, dapat mengakibatkan kerugian ekonomi bagi Indonesia.
Ia mencatat dalam beberapa kasus, kebijakan hilirisasi dapat memberikan manfaat ekonomi yang lebih besar kepada negara-negara tujuan ekspor, seperti China, daripada kepada Indonesia. Ia menyoroti ekspor bahan setengah jadi, yang kemudian diolah menjadi produk akhir, dapat memberikan keuntungan lebih besar kepada negara-negara penerima daripada kepada negara pemilik bahan mentah.
Selain itu, dia juga mengemukakan pengolahan bahan setengah jadi menjadi produk akhir dapat menghasilkan nilai tambah yang signifikan, yang sering kali tidak dinikmati oleh Indonesia. Ia menjelaskan, nilai tambah dan manfaat ekonomi yang dihasilkan dari proses ini terkadang jauh lebih besar daripada pendapatan yang diperoleh dari ekspor bahan mentah.
Ia juga menyoroti potensi hilangnya royalti dan pendapatan negara yang mungkin tidak sejalan dengan manfaat ekonomi sebenarnya dari ekspor bahan setengah jadi. Perhitungan royalti yang didasarkan pada harga jual or kepada smelter atau ekspor tidak selalu mencerminkan manfaat ekonomi penuh yang diperoleh negara.
Said Didu menggambarkan bagaimana kerugian ekonomi dapat timbul akibat kebijakan hilirisasi yang tidak memastikan nilai tambah dan manfaat ekonomi sebenarnya diperoleh Indonesia. Ia menekankan pentingnya mempertimbangkan manfaat jangka panjang bagi negara dan rakyat serta menjalankan kebijakan ekonomi yang lebih transparan dan berorientasi pada keuntungan yang sebenarnya.
Pertimbangan Jangka Panjang
Dia pun menekankan pentingnya melakukan pertimbangan jangka panjang dalam menjalankan kebijakan ekonomi, terutama dalam hal pengelolaan SDA dan proyek-proyek ekonomi. Ia mengemukakan pandangannya tentang bagaimana kebijakan ekonomi harus mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap negara dan rakyat Indonesia.
Ia mengingatkan kebijakan ekonomi, seperti program hilirisasi, tidak hanya harus mempertimbangkan manfaat ekonomi jangka pendek, tetapi juga manfaat jangka panjang. Ia menunjukkan contoh kasus cadangan tambang timah yang terbatas dan akan habis dalam beberapa tahun ke depan. Dalam konteks ini, ia menggarisbawahi pentingnya menjalankan kebijakan ekonomi yang berkelanjutan untuk melindungi dan memaksimalkan manfaat dari SDA yang terbatas.
Said Didu juga membahas dampak jangka panjang dari hilangnya nilai tambah dan manfaat ekonomi akibat ekspor bahan setengah jadi. Ia mengajukan pertanyaan mengenai apakah ekspor semacam ini benar-benar memberikan manfaat maksimal bagi Indonesia dalam jangka panjang, terutama jika manfaat tersebut lebih besar diperoleh negara-negara tujuan ekspor.
Lebih lanjut, ia menggambarkan bagaimana program hilirisasi yang tidak mempertimbangkan manfaat jangka panjang dapat mengakibatkan kerugian ekonomi dan kerusakan lingkungan yang tidak dapat diperbaiki di masa depan. Dengan mengambil contoh hilangnya cadangan tambang timah dan potensi kerugian dari ekspor bahan setengah jadi, ia mengajak untuk lebih bijaksana dalam mengambil keputusan ekonomi yang dapat membawa manfaat jangka panjang bagi Indonesia.
Ia menggarisbawahi perlunya mempertimbangkan dampak jangka panjang dari kebijakan ekonomi, terutama dalam hal pengelolaan SDA dan pengambilan keputusan terkait proyek-proyek ekonomi. Ia mengajak untuk lebih memprioritaskan manfaat jangka panjang bagi negara dan rakyat serta memastikan kebijakan ekonomi yang diambil sejalan dengan prinsip-prinsip keberlanjutan dan kesejahteraan nasional dalam jangka panjang.
Baca Juga: Menghadapi Tantangan Mobil Listrik: Antara Energi Bersih, Geopolitik, dan Kesejahteraan Nasional
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait:
Advertisement