Fadhil Hasan, ekonom senior, memberikan paparan tentang Hilirisasi, Untungkan Siapa? dalam wawancara eksklusif di program Zoominari Kebijakan Publik yang diselenggarakan oleh Narasi Institute pada Jumat (18/8/2023) yang dipandu oleh Achmad Nur Hidayat.
Dalam tahap awal wawancara, Fadhil Hasan memperkenalkan topik utama yang dibahas, yaitu konsep hilirisasi dan pentingnya revitalisasi sektor manufaktur. Ia menggarisbawahi dua aspek krusial dalam konteks ini.
Pertama, hilirisasi mencerminkan upaya pemerintah untuk meningkatkan nilai tambah produk dalam negeri. Hal ini menandakan langkah menuju pengembangan teknologi dan pemahaman mendalam terhadap proses produksi yang lebih canggih. Kedua, dalam perdebatan ini, aspek revitalisasi sektor manufaktur juga dipertimbangkan sebagai bagian integral dari strategi ekonomi yang lebih luas.
Baca Juga: Revolusi Hilirisasi: Mengapa Ekspor Bukan Hanya Soal Angka, Tapi Juga Manfaat Nyata?
Fadhil menjelaskan, konsep hilirisasi bukan sebatas mengeksploitasi Sumber Daya Alam (SDA) yang ada, terutama sumber daya tak terbarukan. Hal ini didorong oleh keyakinan bahwa mengolah sumber daya secara lebih lanjut di dalam negeri dapat memberikan dua keuntungan utama. Pertama, meningkatkan kemampuan teknologi dan pengetahuan dalam sektor tersebut. Kedua, memberikan nilai tambah lebih tinggi terhadap produk-produk tersebut, yang nantinya akan memberi kontribusi signifikan pada pertumbuhan ekonomi.
Selanjutnya, Fadhil juga menjelaskan, selama ini pemerintah telah berusaha melaksanakan kebijakan hilirisasi dengan mengeksploitasi SDA, seperti nikel, pasir kuarsa, dan lain-lain. Meskipun hal ini menunjukkan hasil positif dalam peningkatan ekspor, ia berpendapat efektivitas instrumen kebijakan yang digunakan saat ini mungkin perlu dievaluasi lebih lanjut.
Namun, hilirisasi tidak cukup, di sinilah pentingnya revitalisasi sektor manufaktur turut menjadi sorotan, sebagai upaya untuk menciptakan lapangan kerja dan menjamin pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Konsep dan Dua Hal Penting dari Tujuan Hilirisasi
Fadhil menguraikan konsep hilirisasi sebagai suatu pendekatan ekonomi yang bermaksud untuk meningkatkan nilai tambah produk dalam negeri dengan mengolah SDA menjadi produk jadi, daripada hanya mengirimkan bahan mentah keluar negeri. Dia menekankan tujuan utama hilirisasi adalah untuk mencapai dua hal penting.
Pertama, hilirisasi dianggap sebagai langkah strategis untuk menguatkan kapasitas teknologi dan pengetahuan dalam negeri. Dengan mengolah sumber daya secara lebih lanjut di dalam negeri, pemerintah dapat merangsang pengembangan teknologi yang lebih maju. Ini melibatkan pembelajaran dan implementasi teknologi modern untuk meningkatkan kualitas produk serta efisiensi dalam proses produksi. Tujuan ini menandakan transformasi ekonomi dari model ekspor bahan mentah ke model ekonomi yang lebih canggih dan teknologi-intensif.
Kedua, konsep hilirisasi bertujuan untuk memberikan nilai tambah lebih tinggi terhadap produk-produk dalam negeri. Dengan mengubah bahan mentah menjadi produk jadi, pemerintah berharap mampu menjual produk dengan harga yang lebih tinggi di pasar domestik maupun internasional. Ini juga berdampak positif pada penerimaan negara karena nilai ekspor yang lebih tinggi dapat menghasilkan pendapatan yang lebih besar bagi negara. Selain itu, dengan memiliki produk jadi yang berkualitas tinggi, negara dapat mengembangkan reputasi sebagai produsen produk bernilai tambah di pasar global.
Fadhil juga menyoroti bahwa hilirisasi berpotensi mendorong pertumbuhan ekonomi. Dengan memperkuat sektor produksi dan industri di dalam negeri, perekonomian dapat terdiversifikasi dan tidak hanya bergantung pada ekspor bahan mentah. Ini akan menciptakan lapangan kerja, meningkatkan pendapatan masyarakat, dan mengurangi ketergantungan pada sektor tertentu.
Dalam rangka mencapai tujuan-tujuan ini, pemerintah perlu mengambil kebijakan dan langkah-langkah yang mendukung proses hilirisasi. Ini mencakup investasi dalam riset dan pengembangan, pelatihan tenaga kerja, serta menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pengembangan industri dalam negeri. Dengan demikian, konsep hilirisasi memegang peran sentral dalam upaya memajukan ekonomi negara dan meningkatkan daya saing global.
Manfaat dari Pelaksanaan Hilirisasi
Fadhil menjelaskan manfaat yang diharapkan dari pelaksanaan hilirisasi dalam konteks ekonomi Indonesia. Pengolahan SDA menjadi produk jadi di dalam negeri memiliki potensi untuk menghasilkan beberapa manfaat penting.
Pertama, pelaksanaan hilirisasi menunjukkan kemampuan teknologi dan pengetahuan yang lebih tinggi di dalam negeri. Dengan mengolah sumber daya secara lebih lanjut, Indonesia dapat meningkatkan pengetahuan teknis dan kemampuan produksi yang lebih maju. Ini berarti negara akan lebih mandiri dalam pengembangan teknologi daripada hanya mengandalkan teknologi dari luar negeri.
Kedua, hilirisasi memiliki potensi untuk memberikan nilai tambah lebih tinggi pada produk dalam negeri. Dengan mengubah bahan mentah menjadi produk jadi, Indonesia dapat menjual produk dengan harga lebih tinggi di pasar domestik dan internasional. Ini memberikan peluang untuk meningkatkan penerimaan negara melalui ekspor produk dengan nilai tambah yang lebih tinggi.
Ketiga, manfaat lainnya adalah mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Dengan memperkuat sektor industri dalam negeri, perekonomian dapat tumbuh lebih beragam dan tidak hanya bergantung pada ekspor bahan mentah. Ini akan menciptakan lapangan kerja baru, meningkatkan pendapatan masyarakat, dan mengurangi ketidakpastian ekonomi yang mungkin muncul dari fluktuasi harga komoditas.
Selain itu, Fadhil menggarisbawahi bahwa hilirisasi dapat memacu peningkatan investasi dalam pengembangan teknologi dan infrastruktur. Investor akan tertarik untuk berpartisipasi dalam pengolahan lebih lanjut SDA jika melihat potensi nilai tambah yang lebih besar. Ini juga membantu dalam menciptakan ekosistem bisnis yang mendukung inovasi dan perkembangan industri di dalam negeri.
Dalam keseluruhan, pelaksanaan hilirisasi diharapkan akan memberikan manfaat nyata bagi ekonomi Indonesia, termasuk peningkatan kapasitas teknologi, nilai tambah produk, dan pertumbuhan ekonomi yang lebih berkelanjutan. Namun, penting untuk mempertimbangkan dengan hati-hati instrumen kebijakan yang digunakan untuk memastikan manfaat ini dapat diwujudkan dengan efektif.
Instrumen Kebijakan Hilirisasi
Fadhil menjelaskan instrumen kebijakan yang digunakan dalam implementasi hilirisasi, termasuk larangan ekspor bahan baku pertambangan dan pemberian insentif fiskal serta non-fiskal. Dia menguraikan kedua instrumen ini serta implikasinya terhadap proses hilirisasi.
Pertama, larangan ekspor bahan baku pertambangan menjadi instrumen penting dalam mendorong pengolahan lebih lanjut SDA di dalam negeri. Dengan melarang ekspor bahan mentah, pemerintah berharap dapat mendorong industri dalam negeri untuk melakukan pengolahan dan menghasilkan produk jadi.
Namun, Fadhil mengidentifikasi beberapa dampak negatif dari larangan ini. Perbedaan harga yang signifikan antara harga internasional dan domestik dapat mendorong ekonomi ilegal seperti ekspor ilegal atau penyelundupan. Selain itu, kurangnya pengawasan dan monitoring dalam sistem ekspor juga menyebabkan pelanggaran dan kerugian bagi negara.
Kedua, pemberian insentif fiskal dan non-fiskal adalah instrumen lain yang digunakan untuk menarik investasi di sektor terkait. Insentif ini dapat berupa keringanan pajak, subsidi, atau fasilitas infrastruktur yang diberikan kepada perusahaan yang berinvestasi dalam pengolahan SDA di dalam negeri. Tujuannya, untuk membuat investasi di sektor hilirisasi menjadi lebih menarik bagi investor baik dalam negeri maupun luar negeri.
Namun, Fadhil juga mengungkapkan beberapa kekhawatiran terkait instrumen kebijakan yang digunakan. Ia merasa instrumen ini mungkin tidak transparan dan dampak negatif dapat timbul, terutama dari larangan ekspor. Dampak pertama adalah munculnya ekonomi ilegal dan penyelundupan. Dampak kedua adalah potensi kehilangan penerimaan negara karena larangan tersebut. Dampak ketiga adalah potensi reaksi dari negara-negara mitra dagang yang melihat larangan ini sebagai pelanggaran aturan perdagangan internasional.
Dalam menghadapi tantangan ini, Fadhil menyarankan pertimbangan untuk memilih instrumen kebijakan yang lebih transparan dan efektif. Ia memberikan contoh alternatif, yaitu sistem tarif yang berbeda antara bahan baku dan produk olahannya. Ini akan memastikan produk jadi mendapatkan insentif lebih besar daripada produk bahan mentah tanpa harus melarang ekspor bahan mentah secara total.
Dalam keseluruhan, instrumen kebijakan hilirisasi perlu dievaluasi dengan hati-hati untuk memastikan efektivitasnya dalam mendorong pengolahan lebih lanjut SDA dan mencapai manfaat yang diharapkan.
Dampak Negatif dari Larangan Ekspor Bahan Baku
Fadhil membahas dampak negatif yang dapat timbul akibat larangan ekspor bahan baku dalam konteks pelaksanaan hilirisasi. Ia menyoroti beberapa konsekuensi yang mungkin terjadi akibat kebijakan ini.
Pertama, perbedaan harga yang signifikan antara harga internasional dan domestik dapat memicu munculnya ekonomi ilegal. Dengan larangan ekspor, harga bahan mentah di pasar domestik dapat menjadi lebih rendah daripada harga internasional. Hal ini menciptakan insentif bagi individu atau kelompok untuk terlibat dalam ekspor ilegal atau penyelundupan. Penyelundupan ini dapat merugikan negara dalam bentuk pendapatan yang tidak diperoleh dari pajak dan royalti, serta merusak ketertiban ekonomi dan keamanan.
Kedua, dampak lainnya adalah potensi kehilangan penerimaan negara. Dengan tidak adanya ekspor bahan mentah, negara kehilangan kesempatan untuk memperoleh pendapatan dari aktivitas ekspor ini. Fadhil merujuk pada kasus nikel di mana larangan ekspor telah mengakibatkan hilangnya potensi tambahan pendapatan negara. Dalam konteks ini, larangan ekspor dapat merugikan negara karena negara tidak dapat memanfaatkan potensi pendapatan dari ekspor komoditas tersebut.
Ketiga, larangan ekspor ini juga dapat berdampak pada perdagangan internasional. Fadhil mencatat larangan ekspor bahan baku dapat dianggap melanggar ketentuan perdagangan internasional yang diatur oleh Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Hal ini dapat menyebabkan reaksi dari negara-negara mitra dagang, yang pada akhirnya dapat mengurangi akses pasar internasional bagi produk-produk Indonesia. Dengan demikian, larangan ekspor dapat menyebabkan efek reaktif yang merugikan dalam konteks hubungan perdagangan global.
Dalam simpulannya, larangan ekspor bahan baku sebagai instrumen kebijakan hilirisasi dapat berdampak negatif pada ekonomi dan perdagangan Indonesia. Oleh karena itu, perlu pendekatan yang lebih cermat dan seimbang untuk meminimalkan dampak-dampak negatif tersebut sambil tetap mencapai tujuan hilirisasi.
Potensi Kehilangan Penerimaan Negara Akibat Larangan Ekspor
Fadhil menguraikan potensi dampak ekonomi yang dapat terjadi akibat larangan ekspor bahan baku dalam konteks pelaksanaan hilirisasi, khususnya terkait potensi kehilangan penerimaan negara. Ia mengidentifikasi beberapa aspek yang dapat memengaruhi penerimaan negara.
Pertama, dengan adanya larangan ekspor bahan baku, Indonesia kehilangan kesempatan untuk memeroleh pendapatan dari aktivitas ekspor. Bahan baku yang seharusnya diekspor sebagai komoditas dapat menjadi sumber pendapatan berharga bagi negara melalui penerimaan pajak, royalti, dan biaya ekspor. Tanpa ekspor, penerimaan negara dari sektor ini dapat menurun secara signifikan.
Kedua, potensi penerimaan negara juga dapat hilang karena kurangnya fleksibilitas dalam memanfaatkan harga internasional yang lebih tinggi. Dengan melarang ekspor bahan mentah, negara tidak dapat memanfaatkan potensi peningkatan harga internasional yang mungkin terjadi di masa mendatang. Hal ini mengakibatkan kehilangan peluang untuk memaksimalkan penerimaan negara yang bisa didapatkan jika bahan baku tersebut dapat diekspor.
Fadhil juga menyoroti penerimaan negara bukan hanya terkait dengan pendapatan dalam bentuk uang, tetapi juga dalam bentuk nilai tambah produk. Dengan mengolah bahan baku menjadi produk jadi, nilai produk meningkat dan dapat dijual dengan harga yang lebih tinggi di pasar domestik maupun internasional. Ini dapat memberikan kontribusi tambahan pada penerimaan negara melalui peningkatan ekspor produk bernilai tambah.
Dalam rangka mengatasi potensi kehilangan penerimaan negara, Fadhil memberikan alternatif solusi, yaitu melalui sistem tarif yang berbeda antara bahan baku dan produk olahannya. Dengan menerapkan tarif lebih rendah pada produk olahan daripada bahan mentah, negara dapat tetap mengamankan penerimaan sambil mendorong hilirisasi. Pendekatan ini memungkinkan negara untuk memanfaatkan potensi penerimaan yang optimal tanpa harus melarang ekspor bahan mentah sepenuhnya.
Dalam keseluruhan, potensi kehilangan penerimaan negara adalah salah satu aspek yang perlu diperhatikan dalam perumusan kebijakan hilirisasi. Penting untuk memastikan instrumen kebijakan yang digunakan dapat mendukung pencapaian tujuan hilirisasi tanpa mengorbankan penerimaan negara yang penting bagi pembangunan ekonomi.
Tantangan terkait Kepatuhan terhadap Aturan Perdagangan Internasional
Fadhil mengidentifikasi tantangan yang muncul terkait dengan kepatuhan terhadap aturan perdagangan internasional dalam konteks pelaksanaan hilirisasi. Ia menggambarkan beberapa dampak dan implikasi dari larangan ekspor bahan baku terhadap hubungan perdagangan Indonesia dengan negara-negara mitra dagang.
Pertama, larangan ekspor bahan baku dapat menimbulkan potensi pelanggaran aturan perdagangan internasional yang diatur oleh WTO. Fadhil merinci bahwa negara-negara mitra dagang dapat melihat larangan ekspor ini sebagai pelanggaran komitmen perdagangan internasional. Ini dapat memicu sengketa perdagangan antara Indonesia dan negara-negara tersebut di bawah mekanisme penyelesaian sengketa WTO. Sengketa semacam itu dapat merugikan hubungan perdagangan Indonesia dengan mitra dagang dan bahkan dapat mengakibatkan sanksi ekonomi terhadap Indonesia.
Kedua, dampak dari larangan ekspor ini juga dapat mengancam akses pasar internasional bagi produk-produk Indonesia. Fadhil menunjukkan, negara-negara mitra dagang memiliki argumen bahwa larangan ini melanggar prinsip perdagangan internasional yang mendorong kebebasan perdagangan dan non-diskriminasi. Sebagai akibatnya, negara-negara mitra dagang dapat menerapkan tindakan balasan, seperti tarif atau kuota ekspor terhadap produk-produk Indonesia. Hal ini berpotensi mengurangi daya saing produk Indonesia di pasar internasional.
Dampak negatif dari potensi sengketa perdagangan dan reaksi negara-negara mitra dagang terhadap larangan ekspor dapat mengganggu iklim perdagangan internasional Indonesia secara keseluruhan. Dalam konteks globalisasi ekonomi saat ini, menjaga hubungan yang positif dengan mitra dagang adalah penting untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan stabilitas.
Dalam menghadapi tantangan ini, Fadhil menekankan perlunya mempertimbangkan keseimbangan antara tujuan hilirisasi dan kewajiban internasional dalam perdagangan. Hal ini mencakup penerapan instrumen kebijakan yang lebih sesuai dan proporsional, serta komunikasi yang efektif dengan negara-negara mitra dagang untuk menghindari konflik perdagangan yang merugikan.
Dalam keseluruhan, tantangan terkait kepatuhan terhadap aturan perdagangan internasional memerlukan pendekatan yang hati-hati dalam merumuskan kebijakan hilirisasi. Penting untuk menjaga keseimbangan antara kepentingan dalam pengembangan ekonomi nasional dan kewajiban internasional dalam perdagangan global.
Potensi Revaluasi dan Dampak Proteksionisme
Fadhil menjelaskan potensi revaluasi mata uang dan dampak proteksionisme yang dapat muncul akibat pelaksanaan hilirisasi, terutama dalam konteks larangan ekspor bahan baku. Ia menguraikan beberapa aspek yang berkontribusi terhadap potensi ini.
Pertama, dengan larangan ekspor bahan mentah, harga bahan tersebut di pasar domestik bisa menjadi lebih rendah daripada harga internasional. Hal ini dapat menciptakan tekanan terhadap nilai tukar mata uang negara. Perbedaan harga yang signifikan dapat mendorong permintaan mata uang dalam negeri untuk mendapatkan harga yang lebih rendah di pasar internasional. Revaluasi mata uang ini dapat merugikan sektor ekspor lainnya, yang bergantung pada mata uang yang lebih lemah untuk menjaga daya saing produk.
Kedua, dalam upaya untuk melindungi industri dalam negeri dari dampak revaluasi mata uang, negara dapat cenderung mengadopsi kebijakan proteksionis. Fadhil menggambarkan proteksionisme adalah praktik mengurangi atau membatasi akses produk dari negara lain dengan cara penerapan tarif, kuota ekspor, atau hambatan perdagangan lainnya. Proteksionisme semacam ini dapat merugikan perdagangan internasional dan berpotensi memicu konflik dagang dengan mitra dagang.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait:
Advertisement