- Home
- /
- News
- /
- Megapolitan
Udara Jakarta Kian Memburuk, Direktur KPBB Ungkap Ada Manipulasi Data Polusi dari Pemerintah
Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) Ahmad Safrudin menyebutkan bahwa udara di Jakarta telah mencapai status kronis dalam hal polusi udara.
Situasi ini tidak hanya menciptakan dampak negatif terhadap kesehatan warga, tetapi juga menempatkan Jakarta sebagai salah satu kota dengan polusi udara terburuk di dunia.
“Soal pencemaran Jakarta ini kan kronis ya. Sejak tahun 92, sudah dilaporkan bahwa Jakarta adalah kota paling tercemar ketiga di dunia setelah Mexico City dan Bangkok. Jadi, kalau sekarang tinggi (polusi) itu jangan heran,” ucap Ahmad, dikutip dari kanal Youtube IESR Indonesia pada Senin (28/8/2023).
Baca Juga: Refleksi Kebijakan WFH ASN DKI Jakarta: Apakah Efektif Atasi Polusi Udara?
Ahmad juga mengungkapkan bahwa selama 10 tahun terakhir, kualitas udara di Jakarta telah berada dalam kondisi yang tidak sehat.
Namun, pemerintah tampaknya mengabaikan isu polusi udara ini. Bahkan, baik pemerintah maupun sejumlah akademisi mengklaim bahwa kualitas udara masih dalam kondisi sehat, meskipun realitasnya sebaliknya.
“Data ini resmi dari pemerintah, tapi tidak pernah dipublikasikan, kita berhasil membobol datanya. Nah, datanya itu selama 10 tahun terakhir, 2011 sampai 2020 (statusnya) unhealthy. Ada kekonyolan kita ini dan kawan-kawan akademisnya juga mendiamkan,” ujarnya.
Menurut Ahmad, pemerintah dan akademisi selama ini menilai kondisi “unhealthy” tersebut sebagai kondisi sedang atau bahkan baik dalam kualitas udaranya karena menggunakan analisis yang salah dan tidak benar.
Pemerintah diduga menggunakan data yang salah bahwa memakai baku mutu rata-rata harian untuk mengukur kualitas udara lebih dari satu minggu, yang seharusnya memakai rata-rata tahunan.
“Kualitas udara beberapa hari tetap diukur pakai rata-rata harian. Misalnya pada PM2,5 rata-rata kualitas udara di angka 25 (µg/m³) atau 30 (µg/m³) dan terjadi lebih dari satu minggu, seharusnya tidak boleh lagi pakai baku mutu rata-rata harian, harusnya sudah pakai rata-rata tahunan,” paparnya.
Ia menyebutkan, terjadi kesengajaan pemerintah untuk memanipulasi data tentang hasil kualitas udara di Jakarta.
“Kalau rata-rata harian angkanya 30 (µg/m³), kategorinya tetap baik, tapi kalau kita pakai data rata-rata tahunan yang 15 (µg/m³), datanya menjadi tidak sehat. Jadi ada satu kekeliruan atau itu sebuah kesengajaan untuk memanipulasi keadaan bahwa keadaan tercemar dianggap dalam kategori sehat,” ucapnya lagi.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Nevriza Wahyu Utami
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait:
Advertisement