Mungkinkah BUMN Akan Hilang?
Oleh: Rino A Sa'danoer, Konsultan dan Ketua Koperasi Aliansi Rakyat Indonesia Makmur (KARIMA)
Kita lihat bahwa "ide" untuk menghilangkan BUMN beserta fungsinya merupakan ide yang melanggar UUD 45 dan mengorbankan kepentingan banyak orang, jika dilaksanakan. Perlu juga diingatkan bahwa Pasal 33 ayat (3) menyebutkan, "bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Kalaupun BUMN harus hilang dari perannya sebagai "penyelenggara kemanfaatan umum," maka fungsi ini harus diserahkan kepada masyarakat, bukan kepada orang per orang (swasta), yang kita sudah tahu motifnya. Pemilikan BUMN oleh masyarakat akan mengembalikan kebermanfaatannya kepada masyarakat pula.
Wadah berkumpulnya masyarakat juga sudah diperkenalkan oleh bung Hatta sejak awal berdirinya Republik ini, yaitu koperasi. Pasal 33 ayat (1) menyebutkan, "perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan," bentuk badan usaha apalagi kalau bukan koperasi yang "disusun sebagai usaha bersama?"
Koperasi, yang merupakan wadah berkumpulnya orang-orang, mempunyai karakter istimewa, yaitu pengguna produk dan jasa koperasi, yang kita sebut anggota, sekaligus "pemilik" koperasi. Dengan berpindah tangannya fungsi BUMN kepada koperasi, maka yang dilayani adalah masyarakat yang tergabung dalam koperasi.
Amanat Pasal 33 UUD 45 akan tetap dijalankan, hanya saja akan terwakili oleh lembaga koperasi yang menghimpun masyarakat Indonesia sebagai "penikmat" hasil bumi dan air negara tercinta ini. Karena anggota adalah sekaligus pemilik koperasi, maka tidak mungkin sebagai pemilik akan membebankan "keuntungan" kepada dirinya. Hal ini berbeda jika tugas "Public Obligation" dijalankan oleh pihak swasta. Jadi, harga barang dan jasa yang dibayarkan oleh anggota kepada koperasi akan lebih rendah.
Salah satu contoh konkret adalah penyediaan jasa listrik oleh PLN. Jika diasumsikan bahwa suatu saat nanti PLN tidak ada lagi (sebagai terjemahan dari pernyataan pak Menteri), maka penjualan listrik, dalam ilustrasi kita di atas, bisa dilakukan oleh swasta atau koperasi. Karena swasta bermotif mencari keuntungan, maka tarif listrik yang dibayar konsumen akan lebih tinggi (karena mengandung komponen profit dalam struktur tarif).
Sedangkan anggota koperasi hanya membayar biaya pokok saja dari tarif listrik karena pemilik tidak mungkin mengambil keuntungan dari dirinya. Di samping masyarakat sebagai anggota koperasi membayar harga yang lebih rendah, mereka juga pemilik koperasi. Sedangkan jika membeli listrik dari perusahaan swasta, pemakai listrik hanya sebagai konsumen, bukan pemilik. Contoh ini bisa dikembangkan kepada jenis BUMN lainnya, seperti Pertamina, BNI, PTPN, Telkom Indonesia, Garuda Indonesia, Waskita Karya, Bank Mandiri, dan lain-lain.
Kesimpulannya, jika memang suatu saat nanti BUMN tidak lagi diperlukan, maka pilihan terbaik saat ini adalah mengamanatkan koperasi untuk mengambil alih tugas "Public Obligation" BUMN. Selain daripada itu, aset BUMN jika dimiliki oleh koperasi, akan menjadi aset bersama, yang tetap berada di tangan masyarakat sebagai anggota koperasi.
Mandat Pasal 33 UUD 45 akan tetap dijalankan, hanya saja pada kendaraan yang berbeda. Untuk menjawab pertanyaan kita di awal, mungkinkah BUMN akan hilang? Jawabannya mungkin saja, hanya fungsi dan misinya harus tetap ada, yang bisa diemban oleh koperasi.
Baca Juga: BUMN Karya Diterpa Berbagai Isu Negatif, PTPP Bakal Fokus Perkuat Bisnis Inti di Bidang Konstruksi
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Rosmayanti
Advertisement