Mungkinkah BUMN Akan Hilang?
Oleh: Rino A Sa'danoer, Konsultan dan Ketua Koperasi Aliansi Rakyat Indonesia Makmur (KARIMA)
Beberapa waktu yang lalu, pernyataan Menteri BUMN Erick Thohir yang bisa diakses oleh publik, menggugah pikiran anak bangsa yang peduli terhadap negeri ini. Dalam kesempatan itu, beliau menyatakan bahwa pada tahun 2045 mungkin saja BUMN tidak akan ada lagi, dengan alasan pada tahun itu daya beli masyarakat sudah tinggi.
Walaupun pernyataan ini dibuat beberapa waktu yang lalu, tapi pernyataan seorang Menteri yang sedang menjabat itu tentu mengandung makna dan dampak luas kepada negeri ini. Apakah memang BUMN bisa lenyap hanya karena daya beli masyarakat tinggi atau memang ada "niat" politik di balik itu?
Beberapa tuduhan tersebar bahwa ada niat untuk "melenyapkan" BUMN melalui proses privatisasi, sehingga aset negara yang saat ini dinaungi BUMN berpindah tangan ke pihak swasta. Artinya, kekayaan negara secara pasti dan perlahan menjadi milik swasta, sehingga BUMN yang mempunyai Public Obligation (PO) akan diemban oleh swasta.
Baca Juga: Holding RS BUMN Luncurkan Call Center Rumah Sakit 24 Jam
Apakah tugas PO ini mungkin diamanatkan ke pihak swasta? Nampaknya tidak karena swasta sesuai fitrahnya berpihak kepada kepentingan dirinya, bukan memihak kepada kepentingan publik. Atau, apakah maksud pak Menteri semua kebutuhan publik akan dipenuhi melalui mekanisme pasar?
Dalam Undang-Undang Nomor 19 tahun 2003 tentang BUMN, Pasal 2 ayat (1c) menyebutkan bahwa, maksud dan tujuan pendirian BUMN adalah (untuk) "menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak."
Jelas bahwa mandat BUMN adalah untuk melayani kepentingan banyak orang. Mandat ini juga dipayungi oleh Pasal 33 UUD 45. Ayat (2) undang-undang ini menyatakan, "cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara." BUMN ditugasi oleh negara untuk menguasai cabang-cabang produksi, terutama "yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak." Mandat BUMN yang diperkuat melalui UU Nomor 19/2003 tadi jelas merupakan amanat UUD 45.
Dengan lenyapnya BUMN, baik melalui tindakan "kesengajaan" atau melalui proses alami, karena pailit misalnya, tentu akan membawa konsekuensi, baik konsekuensi terhadap fungsi yang diemban oleh BUMN maupun konsekuensi terhadap aset negara yang berada di bawah naungan BUMN.
Menurut situs Kementerian Keuangan Republik Indonesia, "sampai dengan bulan Juni 2022, terdapat 91 BUMN di Indonesia (79 Persero dan 12 Perum) yang tersebar di 12 sektor Industri..." Sedangkan pada tahun 2012 masih ada 141 BUMN. Jelas terlihat tendensi penurunan jumlah BUMN di Indonesia.
Kembali kepada pernyataan pak Menteri, bahwa pada tahun 2045 BUMN tidak akan ada lagi, bagaima nasib PO BUMN? Diserahkan kepada siapa tugas itu? Bagaimana tanggung jawab pemerintah dalam melaksanakan amanat UUD 45? Jika BUMN sudah tidak ada lagi, maka terhapus pula fungsinya untuk melayani kepentingan banyak orang. Jika ini memang terjadi, maka pemerintah juga sudah tidak menjalankan amanat UUD 45. Kecuali jika pasal 33 UUD 45 tersebut direvisi, sehingga tidak ada lagi kewajiban pemerintah untuk menguasai cabang produksi yang penting bagi banyak orang.
Dihapusnya peran BUMN tersebut, berarti cabang produksi yang penting, terutama yang menguasai hajat hidup banyak orang, bisa berpindah tangan ke pihak swasta. Sesuai dengan fitrahnya, tujuan pengelolaan usaha oleh swasta adalah untuk memperoleh keuntungan.
Demikian pula halnya, penguasaan cabang produksi yang menguasai hajat hidup banyak orang oleh pihak swasta bisa pula digunakan untuk memaksimalkan keuntungan (atau profit). Artinya, cabang produksi ini hanya akan bisa dinikmati oleh rakyat yang mau dan mampu "membayar" produk dan jasa yang disediakan oleh pihak swasta tadi.
Konsekuensinya, tidak semua barang dan jasa cabang produksi yang menguasai hajat hidup banyak orang bisa dinikmati oleh masyarakat luas. Dengan motif untuk mencari keuntungan, akan terjadi seleksi alamiah terhadap pengguna produk dan jasa cabang produksi tersebut. Ini berarti, "mekanisme pasar" yang akan mengambil alih tugas PO.
Dalam mekanisme pasar, tidak semua masyarakat akan memperoleh akses terhadap produk dan pelayanan. Akhirnya cabang produksi yang menguasai hajat hidup banyak orang hanya akan dinikmati oleh masyarakat yang "mampu" membayar barang dan jasa yang disediakan oleh pihak swasta tadi. PO yang bersifat "melayani" akan berubah bentuk menjadi "Private Obligation" (PO) yang bersifat "profit making."
Kita lihat bahwa "ide" untuk menghilangkan BUMN beserta fungsinya merupakan ide yang melanggar UUD 45 dan mengorbankan kepentingan banyak orang, jika dilaksanakan. Perlu juga diingatkan bahwa Pasal 33 ayat (3) menyebutkan, "bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Kalaupun BUMN harus hilang dari perannya sebagai "penyelenggara kemanfaatan umum," maka fungsi ini harus diserahkan kepada masyarakat, bukan kepada orang per orang (swasta), yang kita sudah tahu motifnya. Pemilikan BUMN oleh masyarakat akan mengembalikan kebermanfaatannya kepada masyarakat pula.
Wadah berkumpulnya masyarakat juga sudah diperkenalkan oleh bung Hatta sejak awal berdirinya Republik ini, yaitu koperasi. Pasal 33 ayat (1) menyebutkan, "perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan," bentuk badan usaha apalagi kalau bukan koperasi yang "disusun sebagai usaha bersama?"
Koperasi, yang merupakan wadah berkumpulnya orang-orang, mempunyai karakter istimewa, yaitu pengguna produk dan jasa koperasi, yang kita sebut anggota, sekaligus "pemilik" koperasi. Dengan berpindah tangannya fungsi BUMN kepada koperasi, maka yang dilayani adalah masyarakat yang tergabung dalam koperasi.
Amanat Pasal 33 UUD 45 akan tetap dijalankan, hanya saja akan terwakili oleh lembaga koperasi yang menghimpun masyarakat Indonesia sebagai "penikmat" hasil bumi dan air negara tercinta ini. Karena anggota adalah sekaligus pemilik koperasi, maka tidak mungkin sebagai pemilik akan membebankan "keuntungan" kepada dirinya. Hal ini berbeda jika tugas "Public Obligation" dijalankan oleh pihak swasta. Jadi, harga barang dan jasa yang dibayarkan oleh anggota kepada koperasi akan lebih rendah.
Salah satu contoh konkret adalah penyediaan jasa listrik oleh PLN. Jika diasumsikan bahwa suatu saat nanti PLN tidak ada lagi (sebagai terjemahan dari pernyataan pak Menteri), maka penjualan listrik, dalam ilustrasi kita di atas, bisa dilakukan oleh swasta atau koperasi. Karena swasta bermotif mencari keuntungan, maka tarif listrik yang dibayar konsumen akan lebih tinggi (karena mengandung komponen profit dalam struktur tarif).
Sedangkan anggota koperasi hanya membayar biaya pokok saja dari tarif listrik karena pemilik tidak mungkin mengambil keuntungan dari dirinya. Di samping masyarakat sebagai anggota koperasi membayar harga yang lebih rendah, mereka juga pemilik koperasi. Sedangkan jika membeli listrik dari perusahaan swasta, pemakai listrik hanya sebagai konsumen, bukan pemilik. Contoh ini bisa dikembangkan kepada jenis BUMN lainnya, seperti Pertamina, BNI, PTPN, Telkom Indonesia, Garuda Indonesia, Waskita Karya, Bank Mandiri, dan lain-lain.
Kesimpulannya, jika memang suatu saat nanti BUMN tidak lagi diperlukan, maka pilihan terbaik saat ini adalah mengamanatkan koperasi untuk mengambil alih tugas "Public Obligation" BUMN. Selain daripada itu, aset BUMN jika dimiliki oleh koperasi, akan menjadi aset bersama, yang tetap berada di tangan masyarakat sebagai anggota koperasi.
Mandat Pasal 33 UUD 45 akan tetap dijalankan, hanya saja pada kendaraan yang berbeda. Untuk menjawab pertanyaan kita di awal, mungkinkah BUMN akan hilang? Jawabannya mungkin saja, hanya fungsi dan misinya harus tetap ada, yang bisa diemban oleh koperasi.
Baca Juga: BUMN Karya Diterpa Berbagai Isu Negatif, PTPP Bakal Fokus Perkuat Bisnis Inti di Bidang Konstruksi
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Rosmayanti
Advertisement