Indonesia masih masuk sebagai negara penghasil sampah makanan kedua di dunia selain Arab Saudi, lantas bagaimana strategi Dapur Cokelat untuk mengurangi atau mengatasi sampah makanan?
Mungkin ada perbedaannya begini, yang mungkin kalau banyak sampah makanan itu menurut saya, restoran, apa lagi ya, mungkin restoran yang makanan-makanannya, atau bahan bakunya itu benar-benar perishable, yang enggak tahan lama. Sedangkan kalau di industri kue, mungkin ya Warta Ekonomi sendiri juga kalau beli kue, taruh di kulkas, lupa makan seminggu juga masih tahan kan ya? Meskipun kami enggak merekomendasikan setelah seminggu itu untuk dimakan, ya mungkin rasanya pasti sudah berubah ya, karena untuk life-cycle kue itu enggak direkomendasikan selama itu.
Tapi akhirnya, sebenarnya produk-produk kami sendiri, sebagian besar, itu bisa bertahan lama, karena memang disimpan, baik di chiller atau freezer. Nah, jadi untuk kami sendiri, sampah makanan itu sangat minim. Misalnya ada garnache yang lebih diproduksi hari ini, itu bisa disimpan di chiller atau freezer, dan digunakan di shift berikutnya. Jadi, sangat minim atau saya bisa katakan tidak ada sampah makanan ya, di Dapur Cokelat.
Penyebabnya, kami punya produk yang sebagian besar, enggak perishable seperti di restoran, atau kami enggak menjual roti, begitu kan, pasti beberapa hari juga sudah kadaluwarsa, sedangkan kalau produk kami sendiri, kue dan coklat itu bisa bertahan lama.
Hanya kadang-kadang kalau untuk cokelat yang sudah sedikit terlalu lama, mungkin cokelat batangan atau proline, itu muncul lemak, yang putih-putih, sebenarnya itu lemak. Tapi pelanggan mungkin mengira itu jamur. Jadi secara tampilan enggak terlalu bagus, walau sebenarnya itu bukan jamur. Sebenarnya lemak yang muncul dari cokelat itu sendiri. Jadi, kalau bisa saya katakan, di industri kami, untuk sampah makanan, cukup minim ya.
Apa tantangan Dapur Cokelat selama tahun 2023 lalu dan bagaimana penanganannya?
Oke, ini kalau dari saya, lebih banyak kan kami melihat pasti bagaimana kebutuhan pelanggan itu sendiri ya. Karena yang menurut kami menjadi perbedaan besar pada tahun 2023 ini, pada dua tahun terakhir kan memang orang-orang saat pandemi di rumah terus nih, yang tadi saya cerita lebih banyak. Preferensi pembeli mulai bergeser dari yang tadinya hanya duduk di rumah, kami deketin dikit-dikit ke perumahan, sekarang orang-orangnya pada jalan-jalan, naik mobil semua, kejebak macet harus ke kantor begitu.
Oleh karena itu, makanya kami ada pergeseran strategi di tahun ini untuk bagaimana membuat pelanggan tidak hanya nyaman datang ke outlet kami, tapi juga ke delivery point kami. Daripada jauh-jauh ke outlet kami, kami punya titik untuk pengambilan atau pickup point lah, untuk mereka bisa juga membeli produk-produk kami lebih dekat. Tidak hanya di rumah, tapi juga di kantor.
Jadi sedikit banyak yang kami hadapi tahun ini adalah perubahan perilaku pelanggan itu sendiri. Karena mereka yang tadinya saat pandemidi rumah, lalu mereka mesti ke kantor lagi sekarang.
Dari 88 titik penjualan dengan 32 gerai dan 56 delivery points di Indonesia, kota mana saja yang memiliki penjualan tertinggi dan berapa pendapatannya secara yoy dan mom?
Yang pasti, kalau ini masih heavily populated di area Jakarta, ya pasti sejalan dengan dengan perusahaan-perusahaan lain, karena dimana ada jumlah populasi yang besar, berarti ada merchant yang besar juga, misalnya Jogja, Jakarta, dan Surabaya. Tapi kalau detailnya secara spesifik, ya pasti yang tertinggi berada di area Jabodetabek area, khususnya Jakarta.
Kalau dikatakan tertinggi, pasti hanya ada satu titik kan yang tertinggi, atau performing outlet. Dari kami yang bisa dibagikan, pasti yang masuk top performing outlets ada di kota-kota besar, yang saya bilang tadi, dengan populasi di Jakarta, Surabaya dan lainnya. Di tempat lain ya, akan mendatang dan yang mungkin sedang bertumbuhlah, tergantung pada jumlah orang yang ada di sana.
Kalau mungkin dulu kalau Bali dimana-mana, mereka bisa bekerja dari Bali atau work from Bali, mungkin orang-orang berkumpul ke sana, sekarang kebanyakan sih turis-turis yang datang.
Tuntutan produksi cokelat supaya mengurangi jumlah impor biji kakao terus ada, lantas bagaimana Anda merangkul tim supaya tetap produktif dan aktif memasarkan Dapur Cokelat di Indonesia?
Saya ingin sebutkan di awal, memang kami menggunakan produksen cokelat lokal, seluruhnya biji kakao lokal. Jadi tidak peduli ekspansi apa yang kami lakukan, kami menggunakan biji kakaonya Indonesia dan tidak kami impor dari luar negeri. Karena itu, menurut kami, kami sudah sejalan dengan hal tersebut, yang kami ini menggunakan cokelat dari biji kakao lokallah.
Sebagai CEO, apa peran Anda untuk Dapur Cokelat setelah tergabung dalam ekosistem Tjufoo?
Dari saya, satu, dulu saya berlatar belakang e-commerce, kemudian pindah Dapur Cokelat yang sudah tiga tahun memegang bagian di Business Development, jadi mungkin kalau melihat Dapur Cokelat ke depannya, pertama brand kami namanya Dapur Cokelat, tapi kami dikenal sebagai toko kue.
Alhasil ke depannya, kebanyakan inisiatif kami adalah bagaimana caranya Dapur Cokelat tidak hanya soal kue bagi pelanggan, tapi juga produk-produk cokelat kami lainnya, yang ada cemilan atau snacks dan lainnya. Jadi bakal banyak banget produk-produk lain [percakapan sempat terhenti karena isu teknis].
Selain itu, kami memberikan pengalaman yang ketika pelanggan datang ke delivery point dan lainnya. Jadi mereka bisa senyaman mungkin berkunjung. Di situ langkah kami sekarang.
Pesan untuk seluruh tim Dapur Cokelat dan konsumen Dapur Cokelat?
Satu, mengambil peran untuk melanjutkan sebuah perusahaan yang sudah cukup lama, itu sebuah beban besar untuk membawa brand ini maju, brand legendaris yang sudah lama.
Kedua, saya butuh teman-teman mendukung secara internal di Dapur Cokelat, di mana mereka di sini lebih dari bertahun-tahun. Dan pasti kalau untuk pelanggan, terima kasih atas loyalitasnya dengan Dapur Coklat. Semoga tetap menikmati pada produk-produk dan coklat yang kami produksi.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Nadia Khadijah Putri
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait:
Advertisement