Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Siapkah Indonesia Terseret Konflik Timur dan Barat Jika Masuk BRICS?

Siapkah Indonesia Terseret Konflik Timur dan Barat Jika Masuk BRICS? Kredit Foto: Wafiyyah Amalyris K
Warta Ekonomi, Jakarta -

Prof Fadhil Hasan, ekonom senior, telah memberikan paparan dalam program Zoominari Kebijakan Publik yang diselenggarakan oleh Narasi Institute pada Jumat (1/9/2023) lalu dengan tema Kontroversi Indonesia Masuk BRICS yang dipandu oleh Achmad Nur Hidayat. 

Dalam paparannya, Prof Fadhil Hasan menekankan pentingnya pertimbangan mendalam bagi Indonesia sebelum memutuskan untuk bergabung dengan BRICS.

Dalam dinamika global saat ini, BRICS telah memunculkan dirinya sebagai kekuatan ekonomi yang tak terabaikan. Merupakan koalisi lima negara besar yang mencakup Brazil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan, BRICS menunjukkan bagaimana negara-negara berkembang telah meningkatkan kapasitasnya untuk mempengaruhi urusan ekonomi global.

Baca Juga: Di Depan Petinggi BRICS, Jokowi Ajak Negara Berkembang Bersatu Lawan Diskriminasi

Keberhasilan mereka dalam menavigasi tantangan ekonomi dan memanfaatkan potensi pertumbuhan mengukuhkan posisi mereka sebagai pemain penting dalam ekonomi dunia. Dengan populasi besar dan pertumbuhan ekonomi yang konsisten, mereka menarik perhatian global sebagai pusat produksi, konsumsi, dan diplomasi ekonomi.

Namun, kepentingan BRICS tidak terbatas pada ekonomi saja. Mereka memiliki peran penting dalam peta geopolitik dunia. Sebagai negara-negara dengan kepentingan strategis di wilayah masing-masing, mereka juga menjadi aktor kunci dalam berbagai isu global.

Meski terkadang terdapat perbedaan pandangan di antara anggota, keberadaan BRICS sebagai platform untuk kerja sama multilateral menunjukkan betapa pentingnya memperkuat hubungan antarnegara-negara berkembang dalam menghadapi tantangan global saat ini.

Waktu yang Tepat: Pemerintahan Baru sebagai Pembawa Keputusan

Dalam proses pengambilan keputusan, waktu dan konteks memegang peranan penting, khususnya dalam diplomasi internasional.

Dalam konteks Indonesia yang sedang mempertimbangkan untuk bergabung dengan BRICS, pertimbangan tentang kapan keputusan itu diambil menjadi krusial. Mengingat pentingnya keputusan tersebut bagi masa depan hubungan internasional dan ekonomi negara, banyak pihak berpendapat bahwa keputusan sebaiknya diserahkan kepada pemerintahan yang baru.

Dengan pertimbangan bahwa pemerintahan saat ini akan berakhir dalam waktu dekat, pemerintahan baru akan memiliki masa jabatan yang lebih panjang untuk mengimplementasikan dan menyesuaikan diri dengan keputusan tersebut. Pemahaman dan interpretasi baru terhadap geopolitik global akan menjadi kunci dalam merespons dinamika yang ditawarkan oleh BRICS.

Selain itu, serah terima kekuasaan ke pemerintahan baru juga menciptakan momentum untuk memeriksa kembali pandangan dan strategi Indonesia dalam menghadapi dinamika global. 

Mengingat BRICS memiliki implikasi yang luas, baik dari sisi ekonomi maupun politik, masuk atau tidaknya Indonesia ke dalam koalisi ini akan memengaruhi hubungan bilateral dengan anggota lain dan juga hubungan dengan negara-negara di luar BRICS.

Oleh karena itu, memberikan wewenang kepada pemerintahan baru untuk memutuskan masuk atau tidaknya Indonesia ke dalam BRICS dapat dianggap sebagai langkah yang bijaksana, memastikan bahwa keputusan diambil dengan pertimbangan yang matang dan visi jangka panjang yang sesuai dengan arah kebijakan pemerintah baru.

“Secara prinsip, saya setuju bahwa kita harus melakukan satu kajian yang mendalam terlebih dahulu dalam memutuskan apakah masuk BRICS atau tidak dan juga seharusnya keputusan untuk masuk atau tidaknya ke dalam BRICS itu serahkan saja ke pemerintahan yang baru nanti tahun 2024 karena sekarang ini kan praktis pemerintahan yang sekarang ini akan berjalan sampai Februari atau sampai Oktober, jadi sementara keputusan untuk masuk BRICS atau tidak itu akan sangat penting, sangat mendasar yang tentunya akan lebih baik diserahkan ke pemerintahan yang akan datang. Jadi, apa yang diputuskan oleh Pak Presiden Jokowi untuk tidak tergesa-gesa masuk BRICS, saya kira satu keputusan yang tepat sekarang ini," ujarnya.

Manfaat dan Risiko Keanggotaan

Keanggotaan dalam sebuah blok ekonomi dan politik seperti BRICS tentunya datang dengan sejumlah manfaat yang potensial. Dari sisi ekonomi, bergabung dengan BRICS bisa membuka peluang yang luas bagi Indonesia dalam hal perdagangan, investasi, dan pembiayaan. BRICS, yang terdiri dari negara-negara besar seperti China dan India, tentunya memiliki pasar yang besar, dengan konsumen dalam jumlah miliaran.

Dengan akses ke pasar ini, peluang untuk meningkatkan ekspor dan mendapatkan investasi asing tentu menjadi lebih besar. Selain itu, dengan menjadi anggota BRICS, Indonesia juga bisa mendapatkan akses ke sumber pembiayaan alternatif yang mungkin lebih menguntungkan daripada sumber-sumber pembiayaan tradisional.

Namun, keanggotaan juga datang dengan sejumlah risiko dan tantangan. Salah satunya adalah tuntutan untuk mematuhi aturan dan regulasi yang ditetapkan oleh BRICS, yang mungkin berbeda dengan norma dan praktik yang selama ini dijalankan oleh Indonesia. Misalnya, terkait dengan liberalisasi perdagangan, di mana Indonesia mungkin akan dituntut untuk membuka pasar dalam negerinya lebih lebar lagi untuk produk-produk dari negara-negara anggota BRICS lainnya. 

Hal ini tentu bisa berdampak pada industri dalam negeri yang mungkin belum siap menghadapi kompetisi. Selain itu, sebagai anggota baru, Indonesia mungkin tidak memiliki hak eksklusif yang sama dengan pendiri BRICS, seperti China atau Rusia. Hal ini bisa berarti Indonesia memiliki suara yang lebih kecil dalam pembuatan keputusan atau dalam menentukan arah kebijakan BRICS.

Lebih lanjut lagi, ada juga risiko geopolitik yang harus dipertimbangkan. Misalnya, Indonesia memiliki sejumlah isu dengan China, khususnya terkait dengan Laut Cina Selatan. Bergabung dengan BRICS bisa membuat dinamika hubungan bilateral dengan China menjadi lebih kompleks.

Selain itu, BRICS sendiri bukan tanpa konflik internal. Sebagai contoh, konflik perbatasan antara China dan India yang berlarut-larut, atau ketegangan geopolitik antara negara-negara anggota BRICS dengan negara-negara Barat.

Bergabung dengan BRICS mungkin akan menyeret Indonesia ke dalam dinamika konflik ini, yang bisa berdampak pada hubungan Indonesia dengan negara-negara lain di luar BRICS. Oleh karena itu, sambil melihat manfaat yang ditawarkan, Indonesia juga harus mempersiapkan diri dan melakukan analisis mendalam atas risiko yang mungkin muncul.

“Misalnya antara China dan India karena ada konflik perbatasan yang sampai sekarang masih terus berlangsung, ada kemungkinan juga akan terjadi konflik-konflik yang menjurus kepada sebuah peperangan itu kemudian. Indonesia sendiri misalnya dengan China masih memiliki persoalan di Laut Cina Selatan dan beberapa negara ASEAN lainnya. Jadi, saya kira kalau misalnya terjadi ada kebijakan BRICS yang bertentangan dengan kebijakan Indonesia, ini akan menjadi persoalan. Dan juga kalau kita bergabung dalam BRICS itu terutama dalam konteks yang sekarang ini terjadi geopolitik akibat perang Rusia dan Ukraina," ujarnya.

Terkait dengan keanggotaan, jika Indonesia masuk, maka Indonesia bukan sebagai pendiri sehingga kemungkinan hak-haknya tidak sama dengan negara-negara pendiri.

Fadhil mengatakan, “jadi kalau misalnya negara indonesia tidak memiliki hak-hak yang eksklusif daripada negara pendirinya, katakanlah mereka seolah memiliki semacam hak veto seperti yang terjadi di PBB yang sekarang ini  kemudian menjadikan tatanan internasional itu menjadi tidak adil karena adanya hak atau yang dimiliki oleh negara-negara tersebut. Jadi, seharusnya untuk mendapatkan manfaat yang maksimal itu negara RI harus memastikan bahwa suara partisipasi itu kalau bisa hampir setara dengan mereka. Kemudian juga hal yang lain perlu diperhatikan adalah bahwa BRICS itu sendiri kan sebenarnya menyimpan persoalan di antara negara-negara tersebut."

Menurut Fadhil Hasan, Indonesia akan lebih optimal peranannya jika di ASEAN. “Oleh karena itu, saya setuju tadi, lebih baik saya kira Indonesia dalam posisi memainkan peranannya itu dalam konteks kawasan ASEAN menjadikan kawasan Asia ini sebagai suatu kawasan ekonomi yang solid, yang kuat, dan kemudian juga ini secara ekonomi itu maju," imbuhnya.

Dinamika Internal dan Eksternal BRICS

Dalam lingkup internal BRICS, penting untuk memahami bahwa kelima negara anggotanya, meskipun sama-sama merupakan kekuatan ekonomi yang sedang tumbuh dan berkembang, memiliki prioritas nasional, budaya, dan sosial yang berbeda. Dari perspektif ekonomi, India dan China sering kali dianggap sebagai dua "raksasa" Asia dengan pertumbuhan yang pesat, sementara Brasil merupakan pemimpin ekonomi di Amerika Selatan.

Di sisi lain, Rusia dikenal dengan kekayaan sumber daya alamnya, terutama energi, sedangkan Afrika Selatan menjadi kekuatan utama di benua Afrika. Ketegangan internal sering kali muncul dari persaingan untuk dominasi regional, atau dari pendekatan yang berbeda terhadap masalah global, seperti perubahan iklim atau perdagangan internasional. Namun, ada pula momen kolaborasi, seperti inisiatif bersama dalam pengembangan infrastruktur atau kerja sama teknologi.

Secara eksternal, BRICS sering kali dilihat sebagai balasan atau alternatif terhadap dominasi Barat dalam institusi keuangan internasional, seperti IMF atau Bank Dunia. Hubungan antara kelompok ini dengan negara-negara Barat, khususnya Amerika Serikat, sering kali bersifat ambivalen.

Di satu sisi, ada keinginan untuk kerja sama ekonomi dan investasi. Namun di sisi lain, ada keinginan untuk mengurangi ketergantungan pada dolar AS dan institusi keuangan berbasis Barat. 

Hal ini menciptakan dinamika yang menarik, di mana BRICS berusaha memperkuat diri sebagai blok independen sambil tetap menjalin hubungan yang menguntungkan dengan negara-negara lain. Hal ini terlihat dari upaya pembentukan bank investasi infrastruktur oleh BRICS dan inisiatif lainnya yang menunjukkan keinginan kelompok ini untuk memiliki lebih banyak suara dalam urusan ekonomi global.

Geopolitik dan Ketegangan Global

Dalam beberapa dekade terakhir, dunia telah menyaksikan perubahan signifikan dalam lanskap geopolitik. BRICS, sebagai entitas kolektif, muncul dalam konteks global ini, memberikan kontribusi pada dinamika ketegangan dan kerja sama. Saat negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat dan sekutunya, terus memegang kendali atas banyak institusi dan norma internasional, BRICS telah mencari cara untuk menantang atau setidaknya menyeimbangkan dominasi tersebut. 

Misalnya, dengan pembentukan Bank Pembangunan New Development Bank (NDB), BRICS telah menunjukkan kemampuannya untuk menciptakan institusi keuangan alternatif yang dapat memenuhi kebutuhan negara-negara berkembang tanpa harus bergantung pada struktur yang sudah ada.

Namun, bukan hanya soal keuangan, ketegangan geopolitik juga tampak dalam arena lain, seperti teknologi, perdagangan, dan militer. Dengan teknologi, ada pertarungan antara Barat dan negara-negara BRICS, khususnya China, tentang standar teknologi dan keamanan siber. 

Dalam bidang perdagangan, tarif dan sanksi sering kali menjadi alat taktik yang digunakan untuk mencapai tujuan geopolitik. Dalam aspek militer, kehadiran militer yang meningkat di beberapa wilayah, seperti Laut China Selatan atau perbatasan India-China, menunjukkan bagaimana ketegangan geopolitik bisa memengaruhi kestabilan regional.

Melalui semua ini, BRICS berperan sebagai aktor kunci dalam perubahan dinamika global, sering kali menjadi pemain yang dapat menghubungkan atau memperdalam ketegangan antara Timur dan Barat.

Ekonomi BRICS: China dan India sebagai Pemacu 

China dan India, sebagai dua ekonomi terbesar dalam kelompok BRICS, memainkan peran yang sangat penting dalam pertumbuhan dan stabilitas ekonomi kelompok ini. Kedua negara ini, dengan populasi gabungan yang mencapai lebih dari sepertiga dari total populasi dunia, memiliki pasar konsumen yang sangat besar, menarik investasi asing, dan mendorong pertumbuhan sektor-sektor ekonomi strategis. 

China, dengan kebijakan "Reformasi dan Pembukaan" yang diterapkan sejak akhir 1970-an, telah berubah dari ekonomi agraris menjadi salah satu pabrik dunia, memproduksi barang-barang konsumsi bagi pasar global. Keberhasilan model ekonomi China ini telah memberikan inspirasi bagi banyak negara berkembang lainnya, termasuk anggota BRICS.

Sementara itu, India dengan ekonominya yang beragam dan sektor jasa yang kuat, terutama dalam teknologi informasi dan outsourcing, telah memposisikan dirinya sebagai pusat inovasi dan jasa global. 

Meskipun India memiliki tantangan infrastruktur dan birokrasi yang lebih kompleks dibandingkan China, negara ini telah menunjukkan kemampuannya untuk tumbuh secara konsisten dan menarik investasi asing. Dalam beberapa tahun terakhir, India juga telah memperluas fokusnya pada sektor manufaktur dengan inisiatif "Make in India," mencoba meniru kesuksesan model produksi China. 

Kedua negara ini, meskipun memiliki pendekatan dan tantangan yang berbeda, telah menjadi pemacu utama pertumbuhan ekonomi BRICS dan akan terus memainkan peran penting dalam menentukan arah kelompok ini di masa depan.

Kesimpulan: Mempertimbangkan Kedaulatan dan Kesejahteraan Indonesia

Sebagai negara dengan populasi besar dan ekonomi yang berkembang, Indonesia memiliki banyak potensi. Keputusan untuk bergabung dengan BRICS atau kelompok internasional lainnya harus selalu mempertimbangkan kedaulatan dan kesejahteraan rakyat. Seperti yang ditekankan oleh Prof Fadhil, penting bagi Indonesia untuk membangun ekonomi domestik yang kuat sebagai landasan utama pertimbangan kebijakan luar negeri.

Baca Juga: Dunia di Ambang Krisis Geopolitik: Sebuah Refleksi dari KTT BRICS di Afrika Selatan

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Rosmayanti

Tag Terkait:

Advertisement

Bagikan Artikel: