Kredit Foto: Biro Pers Sekretariat Presiden
Tenaga Ahli Utama Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO), Philips J. Vermonte, menegaskan bahwa bergabungnya Indonesia dalam kelompok negara berkembang BRICS bukanlah bentuk penolakan terhadap negara-negara Barat. Sebaliknya, langkah ini diambil sebagai strategi membuka akses ekonomi yang lebih luas dan menjajaki pasar-pasar baru yang selama ini belum banyak digarap.
“Menjadi anggota BRICS adalah cara kita membuka akses ke pasar yang selama ini belum menjadi fokus utama ekonomi Indonesia,” kata Philips dalam diskusi bertajuk "Buah Muhibbah Presiden Prabowo dari Dunia Internasional" yang digelar di Jakarta, Sabtu (19/7/2025).
Baca Juga: Support Industri Baja, Rezim Prabowo Dukung Transformasi Krakatau Steel (KRAS)
Menurut Philips, keputusan ini merupakan respons strategis terhadap situasi global yang semakin tidak menentu dan mempersempit ruang kerja sama ekonomi antarnegara. Di tengah kondisi tersebut, Indonesia memerlukan terobosan baru untuk memperluas hubungan internasional tanpa harus terjebak pada dikotomi blok geopolitik.
“Banyak yang mengira keanggotaan BRICS membawa Indonesia menjauhi Barat atau bersikap anti-Amerika. Menurut kami, itu tidak benar. Tujuan Presiden Prabowo jelas, yaitu memperluas kerja sama, bukan memutus yang sudah ada,” tegasnya.
Philips juga menyoroti pentingnya keberadaan negara-negara besar seperti Rusia, Tiongkok, dan India dalam BRICS. Ketiganya, menurut dia, adalah mitra penting yang tidak bisa diabaikan dalam konstelasi ekonomi dan politik global.
“Karena itu sangat wajar jika Indonesia menjalin hubungan yang lebih erat dengan mereka melalui forum seperti BRICS, tanpa meninggalkan prinsip politik luar negeri bebas aktif,” lanjutnya.
Dalam kesempatan yang sama, Philips menanggapi isu ancaman tarif impor dari Presiden Amerika Serikat terhadap negara-negara BRICS. Menurutnya, hal tersebut tidak perlu dikhawatirkan, karena Presiden Prabowo berhasil menjalin hubungan baik dengan Presiden Trump dan bahkan sukses menurunkan tarif impor dari 32 persen menjadi 19 persen.
“Negosiasi yang dilakukan cukup ketat, tapi akhirnya berhasil. Artinya, posisi Indonesia dalam BRICS tidak dilihat sebagai ancaman oleh negara seperti Amerika Serikat,” jelas Philips.
Langkah Indonesia masuk BRICS mencerminkan arah kebijakan luar negeri yang adaptif, terbuka, dan berorientasi pada kepentingan nasional jangka panjang — memperluas jejaring, membangun jembatan, bukan tembok.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Istihanah
Editor: Istihanah
Tag Terkait:
Advertisement