Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Soal Wacana Transisi ke Pertamax Green 92, APBN Bakalan Jebol?

Soal Wacana Transisi ke Pertamax Green 92, APBN Bakalan Jebol? Kredit Foto: Antara/Indrianto Eko Suwarso
Warta Ekonomi, Jakarta -

Kepala Center of Food, Energy, and Sustainable Development Indef, Abra Talattov, menilai bahwa rencana PT Pertamina (Persero) untuk mengganti Pertalite dengan Pertamax Green 92 pada tahun 2024 akan berpotensi membuat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) jebol bila pemerintah tidak benar-benar memastikan subsidi BBM tersebut tepat pada sasaran. Mengingat, program subsidi energi saat ini masih bersifat terbuka.

“Masalah krusial yang menyelimuti wacana pengalihan subsidi atau kompensasi pertalite ke Pertamax (Green 92) adalah masih berlangsungnya mekanisme secara terbuka. Nah inilah yang saya pikir menjadi masalah yang paling krusial yang semestinya menjadi fokus pemerintah sebelum wacana subsidi atau kompensasi BBM ke Pertamax," ujarnya dalam diskusi publik ‘Subsidi Go Green, Tepatkah?’ yang dilaksanakan oleh INDEF secara virtual pada Rabu (6/9/2023).

Baca Juga: 99 Group Gelar Festival Properti Pertama di Indonesia, Milenial Dominasi Pencarian Properti, Rumah Tapak Pilihan Utama

Oleh sebab itu, Abra mengatakan bahwa pemerintah Indonesia perlu berhati-hati sebelum menerapkan kebijakan transisi energi tersebut. Pasalnya, jika berkaca pada tahun 2022, realisasi subsidi BBM sudah melampau jauh dari yang dianggarkan sebelumnya.

“Pemerintah perlu sangat hati-hati untuk memutuskan kebijakan pengalihan subsidi ke pertamax green 92. Karena faktanya, di tahun 2022 lalu, misalnya, kompensasi BBM di tahun 2022 itu Rp252,5 triliun, tetapi realisasinya Rp307,2 triliun. Artinya, ini juga masih sangat besar kemungkinan risiko jebolnya subsidi maupun kompensasi BBM,”

Selain itu, Abra juga mencatat bahwa konsumsi Pertalite masih didominasi oleh pengguna kendaraan roda empat atau mobil mencapai 70 persen di tahun 2020 lalu. Jumlah tersebut setara 20,35 juta kilo liter (KL) Pertalite. Sedangkan, jumlah konsumsi Pertalite oleh kendaraan roda dua hanya sebesar 30 persen. Angka konsumsi BBM subsidi tersebut tersebut setara 8,72 KL.

Kondisi tersebut, tentunya harus segera diperbaiki untuk mencegah jebolnya APBN akibat terkuras subsidi BBM. Terlebih, harga minyak mentah dunia terus mengalami fluktuasi di tengah ketidakpastian ekonomi global.

"APBN perlu dipertimbangkan juga nanti resikonya terhadap neraca perdagangan bebas kita yang kemudian berujung juga terhadap volatilitas nilai tukar Rupiah kita. Jadi ada beberapa pertimbangan yang perlu diukur oleh pemerintah dalam memutuskan kebijakan ini," tukasnya.

Sebagaimana diketahui, dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2024, pemerintah mengalokasikan belanja subsidi Jenis BBM Tertentu (JBT) mencapai Rp25,7 triliun. Alokasi itu meningkat sekitar 10 persen dibanding outlook 2023 yang mencapai Rp23,3 triliun.

Sebelumnya, PT Pertamina (Persero) memutuskan untuk menghapus BBM jenis Pertalite (RON 90) dan menggantinya dengan Pertamax Green 92, campuran antara Pertalite dengan etanol 7 persen (E7). Penghapusan Pertalite dengan nilai oktan 90 ini sejalan dengan ketentuan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), yang menetapkan RON 91 sebagai produk BBM terendah yang bisa dijual di Indonesia.

"Ini sesuai dengan program Langit Biru tahap dua, dimana BBM subsidi kita naikan dari RON 90 jadi RON 92. Karena aturan KLHK, octane number yang boleh dijual di Indonesia minimum 91," kata Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati menjelaskandi depan Komisi VII DPR RI, Rabu (30/8).

Pertamax Green 92 nantinya akan masuk dalam barang subsidi jenis BBM khusus penugasan (JBKP) menggantikan Pertalite. Sehingga harganya akan diatur oleh pemerintah, di luar fluktuasi harga minyak mentah dunia.

Baca Juga: Relawan: Ganjar Pranowo Akan Tingkatkan Alokasi Dana APBN Untuk Ekonomi Kreatif

"Pertamax Green 92 harganya pun tentu ini adalah regulated. Tidak mungkin yang namanya JBKP harganya diserahkan ke pasar karena ada mekanisme subsidi atau kompensasi di dalamnya," tegas Nicke.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Ni Ketut Cahya Deta Saraswati
Editor: Aldi Ginastiar

Advertisement

Bagikan Artikel: