Rencana pelarangan penjualan rokok secara eceran melalui Rencana Peraturan Pemerintah (RPP) sebagai aturan turunan Undang-Undang (UU) Kesehatan menuai kritik tajam dari berbagai pihak. Selain tidak memiliki landasan yang kuat, pemberlakuan kebijakan tersebut diyakini akan memunculkan persoalan serius bagi negara, termasuknya maraknya rokok ilegal.
Ketua Komite Ekonomi Rakyat Indonesia (KERIS), Ali Mahsun Atmo, menilai larangan penjualan rokok eceran itu tidak rasional dan sulit diterima akal sehat, termasuk dengan dalil mencegah anak-anak untuk tidak merokok.
“Karena sebenarnya untuk menjaga anak-anak tidak merokok itu bukan dengan melarang rokok eceran. Tapi, tergantung pada pendidikan di rumah, sekolah, dan lingkungan sekitar,” terangnya.
Ali, yang juga Ketua Asosiasi Pedagang Kaki Lima (APKLI), menambahkan kebijakan ini juga menyangkut keberlangsungan mata pencaharian para pedagang, khusunya penjual rokok eceran.
Baca Juga: Kenaikan Cukai Rokok Dinilai Tak Efektif Turunkan Angka Perokok
“Ini menyangkut hajat hidup orang banyak. Ratusan ribu pedagang asongan dan pedagang rokok itu bisa saja mengalami gulung tikar. Kalau hak mereka diambil negara, berarti negara telah melanggar pasal 27 UUS 1945 yaitu mengambil hak rakyat untuk mendapat kehidupan dan pekerjaan yang layak,” katanya.
Selain itu, Ali menjelaskan larangan penjualan rokok eceran dapat menyuburkan peredaran rokok ilegal dan akan menciptakan persoalan baru bagi pemerintah.
“Rokok ilegal akan menjadi pilihan masyarakat karena harganya yang murah. Harga murah tersebut disebabkan rokok ilegal tidak membayar cukai rokok kepada negara. Padahal, cukai rokok memiliki kontribusi besar bagi pendapatan negara.”
Baca Juga: Ada Selisih Tarif Cukai dan Harga, Rokok Murah Picu Downtrading
Terkait penyusunan RPP, Ali mengaku, sebagai salah satu pemangku kepentingan, pihaknya tidak pernah diajak berdiskusi oleh pemerintah, khususnya Kementerian Kesehatan (Kemenkes), untuk membahas poin-poin di aturan tersebut.
Di kesempatan terpisah, Direktur Indonesia Center for Legislative Drafting (ICLD) yang juga Pakar Perundang-Undangan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), Fitriani Ahlan Sjarif, melihat minimnya partisipasi publik dalam proses penyusunan aturan turunan dari UU Kesehatan tersebut.
Padahal, para pemangku kepentingan terkait regulasi ini sangat banyak dan melibatkan kepentingan publik yang luas. “Setidaknya dibuka saja ruang itu secara partisipatif sehingga bisa terpenuhi partisipasi publiknya,” sarannya.
Dalam membuat sebuah aturan, jika partisipasi publiknya belum cukup, Fitri menilai bahwa efektivitas pembuatan aturan tersebut akan kurang memadai. “Harus dipertimbangkan efektivitas pembuatannya sehingga diharapkan tidak menimbulkan kontroversi ketika diberlakukan dan tidak diragukan penerimaannya oleh publik,” pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Annisa Nurfitri
Editor: Annisa Nurfitri
Tag Terkait:
Advertisement