Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Aksi Dekarbonisasi Bisa Selamatkan Masa Depan dengan Pensiunkan PLTU Batu Bara

Aksi Dekarbonisasi Bisa Selamatkan Masa Depan dengan Pensiunkan PLTU Batu Bara Kredit Foto: Wafiyyah Amalyris K
Warta Ekonomi, Jakarta -

Perubahan iklim global yang semakin mendesak menuntut tindakan tegas dalam mengendalikan emisi gas buang.

Salah satu sumber utama emisi adalah Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara yang menjadi penyumbang tertinggi, mencapai 40% emisi sektor energi dan bahkan mencapai 90% di sektor listrik Indonesia. Mencermati situasi ini, pemerintah seharusnya mempercepat aksi dekarbonisasi di sektor energi Indonesia.

Raditya Wiranegara, Peneliti Senior di Institute for Essential Services Reform (IESR) Indonesia, mengatakan pihaknya telah melakukan berbagai kajian dengan mendorong pensiun dini PLTU batu bara di Indonesia sebagai bagian dari upaya dekarbonisasi di sektor ketenagalistrikan.

Baca Juga: PLN Siapkan Implementasi Teknologi CCUS di PLTU

“Indonesia harus mengurangi penggunaan PLTU batu bara sebagai langkah dekarbonisasi di sektor ketenagalistrikan. Kajian yang telah kami lakukan menunjukkan bahwa pada tahun 2030, sekitar 9,2 GW PLTU batu bara perlu dipensiunkan atau dihentikan lebih awal,” beber Raditya, dikutip dari kanal Youtube IESR Indonesia pada Selasa (26/9/2023).

Lebih lanjut, Raditya menekankan perlunya mengkaji ulang proyek-proyek PLTU yang sedang direncanakan. Langkah ini dilakukan untuk menilai apakah proyek-proyek tersebut bisa dibatalkan atau diubah fungsinya, seperti mengubah PLTU batu bara menjadi pembangkit listrik yang menggunakan sumber energi terbarukan.

“Ini adalah tindakan preventif agar tidak sulit untuk mempensiunkan proyek yang sudah berjalan,” tambahnya.

Namun, Raditya juga menyadari bahwa pensiun dini PLTU tidaklah mudah dan memiliki implikasi. Dia mengungkapkan intervensi seperti pembatalan proyek akan menimbulkan biaya tambahan. Hal ini disebabkan adanya kontrak awal yang sudah terikat ketika proyek pembangkitan tersebut berada dalam perencanaan.

“Tentunya akan ada biaya yang sudah dikeluarkan sebelumnya dan bergantung dari seberapa jauh proyek ini sudah berjalan. Bisa jadi memang ketika nantinya dibatalkan, harus ada semacam kompensasi yang memang harus disiapkan untuk menggantikan biaya yang sudah keluar dari proyek,” jelansya.

Di samping aspek biaya, terdapat implikasi pada sistem ketenagalistrikan. Pembatalan tersebut dapat berdampak pada peningkatan utilisasi pembangkit yang sudah ada dalam sistem, yang pada gilirannya akan membantu mengurangi emisi CO2 yang dapat dihindari.

Selain itu, implikasi dari sisi hukum juga penting untuk diperhatikan. Raditya mencatat bahwa melakukan pembatalan proyek terkait kontrak dapat menimbulkan perlawanan dari pemilik proyek PLTU.

“Yang perlu diwaspadai dari kami melakukan kajian terkait hal itu adalah implikasi hukum. Jadi, hukum ini cukup menguras waktu dan tenaga dari pemerintah,” tutupnya.

Baca Juga: Dekarbonisasi Jadi Pilar Penting Dalam RoadMap Indonesia Emas 2045

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Nevriza Wahyu Utami
Editor: Rosmayanti

Advertisement

Bagikan Artikel: