Salah satu prinsip yang harus dipenuhi dalam penyelenggaraan perumahan adalah keterjangkauan (affordability). Konsep keterjangkauan cakupannya sangat luas. Karenanya, pendekatan untuk meningkatkan keterjangkauan juga harus holistik, tidak cukup pada aspek tertentu saja.
Sejauh ini, berbagai upaya meningkatkan keterjangkauan perumahan lebih berfokus pada aspek pengendalian biaya (cost) dan harga (prices). Misalnya melalui pengendalian harga bahan baku, pertanahan, dan pengendalian pasar perumahan.
Chief Economist di The Indonesia Economic Intelligence (IEI), Sunarsip mengatakan, berbagai upaya tersebut memang memberikan kontribusi dalam meningkatkan keterjangkauan. Namun, upaya tersebut belum cukup. Upaya tersebut baru menyentuh aspek keterjangkauan pada sisi pasokan (supply). Upaya tersebut akan lebih efektif bila dikombinasikan dengan upaya meningkatkan keterjangkauan dari sisi pendanaan. Tujuannya, agar semakin banyak masyarakat yang memiliki kemampuan memiliki rumah. Strateginya adalah melalui pengerahan likuiditas murah dari masyarakat. Baca Juga: Genjot Pembiayaan Perumahan, BI Minta Perbankan Sasar Gen Z dan Milenial
"Keberadaan likuiditas murah memiliki peran strategis bagi upaya meningkatkan keterjangkauan rumah, khususnya dari sisi permintaan (demand). Ini mengingat, ketersediaan likuiditas murah akan mendorong penurunan biaya dana (cost of fund). Bila biaya dana dapat diturunkan, hal tersebut akan meringankan biaya yang akan ditanggung masyarakat ketika membutuhkan pembiayaan perumahan (cosf of financing). Bila ini terjadi, kondisi ini akan mendorong semakin banyak masyarakat yang dapat memiliki rumah," ujar Sunarsip di Jakarta, Minggu (8/10/2023).
Secara teori, lanjutnya, biaya dana akan dapat ditekan bila sumber tabungan (saving) murah dapat ditingkatkan. Ini mengingat, bila jumlah tabungan besar maka kebutuhan terhadap sumber pendanaan eksternal (external funding) berbiaya mahal dapat dikurangi. Sejauh ini, mekanisme mobilisasi dana bagi perumahan lebih banyak menggantungkan perbankan. Karena perbankan adalah institusi komersial, mobilisasi dana murah menjadi terbatas. Hanya bank-bank dengan infrastruktur lengkap yang memiliki “privilege” dapat memobilisasi dana murah secara agresif.
"Di sisi lain, kita memerlukan keterlibatan banyak lembaga keuangan untuk mendorong mobilisasi dana murah tersebut," tuturnya.
Motif deposan menaruh dananya di perbankan sebenarnya tidak sekedar menabung (saving) tetapi juga berinvestasi. Mereka menaruh dananya di perbankan selain untuk keamanan, juga berharap imbal hasil (return) yang tinggi, setidaknya untuk menjaga nilai riil uang mereka. Motif seperti ini pada akhirnya akan mendorong deposan menempatkan dana pada simpanan berbiaya mahal. Faktanya, komposisi dana mahal (deposito) di perbankan relatif besar.
"Kondisi ini pada akhirnya akan menghambat upaya menciptakan ekosistem likuiditas murah bagi perumahan. Tidak mungkin perbankan dapat menyalurkan pembiayaan perumahan dengan bunga kredit murah bila dana yang dipakai berasal dari dana mahal," kata pengamat ekonomi, keuangan dan perbankan tersebut.
Oleh karena itu dalam rangka menurunkan biaya dana di perbankan, pemerintah pun turun tangan. Pemerintah melakukan intervensi melalui APBN dalam bentuk penyediaan fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP). Mekanismenya adalah dana FLPP dicampur (blended) dengan dana perbankan sehingga menghasilkan suku bunga gabungan yang lebih rendah.
"Mekanisme ini cukup berhasil menurunkan biaya dana bagi pembiayaan perumahan. Sehingga, suku bunga kredit kepemilikan rumah (KPR) bagi masyarakat berpenghasilan murah (MBR) pun dapat ditekan pada level rendah," ungkapnya. Baca Juga: Hingga September 2023, Himperra Bangun 160 Ribu Unit Perumahan Rakyat
Sejauh ini, data memperlihatkan bahwa pengelolaan FLPP, baik sejak dikelola pemerintah hingga kini dikelola Badan Pelaksana Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera) memperlihatkan kinerja yang cukup baik. Namun demikian, pada suatu saat kemampuan APBN pasti akan memiliki keterbatasan. Sehingga, kita pun harus bersiap bila dukungan pemerintah seperti FLPP berakhir. Kita memerlukan suatu sistem yang dapat diandalkan untuk menjamin pembiayaan perumahan berkelanjutan dan mandiri.
Dan kuncinya adalah dengan memperkuat ekosistem likuiditas murah dari masyarakat. Masyarakat di sini tidak hanya masyarakat individual, tetapi juga masyarakat institusional. Dengan demikian, kelembagaan yang berperan dalam ekosistem likuiditas perumahan rakyat juga perlu diperkuat kapasitasnya.
"Bila ekosistem likuiditas murah ini terbangun, dengan sendirinya ekosistem perumahan juga akan semakin kuat. Ini mengingat, ekosistem likuiditas perumahan merupakan sub ekosistem perumahan," tutupnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Fajar Sulaiman
Tag Terkait:
Advertisement