Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Tudingan Rokok Penyebab Stunting Dinilai Perlu Dilihat Secara Utuh

Tudingan Rokok Penyebab Stunting Dinilai Perlu Dilihat Secara Utuh Kredit Foto: Andi Hidayat
Warta Ekonomi, Jakarta -

Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi (PPKE) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya (FEB UB) merilis hasil survei terkait “Meneropong Fenomena Stunting dan PTM dalam Bingkai Kebijakan Cukai yang Berkeadilan dan Berkelanjutan”. 

Kajian tersebut dilakukan oleh PPKE FEB UB untuk menyikapi pro dan kontra penyebab stunting dan penyakit tidak menular (PTM). Riset berbasis data primer dengan melakukan survei pada 1600 responden masyarakat yang berada di beberapa daerah, yakni NTT, Jawa Timur, Jawa Tengah, DKI Jakarta, Banten, dan Bali. 

Hasil kajian menunjukkan bahwa produk hasil tembakau seperti rokok bukanlah faktor utama penyebab stunting dan PTM di Indonesia. Akan tetapi pendidikan dan pendapatan yang mendorong terjadinya stunting dan PTM di Indonesia. 

Pada stunting, pendapatan juga memiliki pengaruh tidak langsung yang signifikan dalam menurunkan balita stunting melalui sanitasi. Selain itu, pada PTM, pendapatan dan pendidikan memiliki pengaruh tidak langsung yang signifikan dalam menurunkan terjadinya PTM di Indonesia yang masing-masing melalui aktivitas fisik dan pola makan-minum, terutama makanan dan minuman berpemanis.

Direktur PPKE FEB UB, Prof. Candra Fajri Ananda mengatakan berdasarkan hasil survei dan analisis yang telah dilakukan dengan menggunakan random forest, faktor dominan penyebab terjadinya PTM di Indonesia adalah pendapatan, makanan dan minuman berpemanis, serta kurangnya konsumsi sayur. 

Baca Juga: Asosiasi Rokok Elektronik Minta Pengaturan Zat Adiktif Terpisah

Di sisi lain, berdasarkan analisis menggunakan Structural Equation Modelling (SEM) menunjukkan bahwa pendidikan, pendapatan, dan kepemilikan jaminan kesehatan memiliki berpengaruh signifikan dalam menurunkan terjadinya PTM di Indonesia. Hasil kajian juga menyatakan konsumsi produk hasil tembakau seperti rokok dan lingkungan yang terkontaminasi oleh asap rokok bukan indikator utama penyebab PTM di Indonesia.

Berbagai kalangan menyikapi hasil kajian tersebut. Anggota Komisi XI DPR RI, Andreas Eddy Susetyo mengatakan DPR sudah memberikan perhatian khusus terhadap kebijakan penanganan stunting.

Legislator PDI Perjuangan ini menambahkan dalam RAPBN 2024 sudah dimasukan target penurunan kemiskinan ekstrim dan ada 3 hal pokok yang utama, yakni menjaga inflasi, menurunkan kemiskinan ekstrim maksimal 1%, dan penanganan stunting.  

“Penanganan stunting ini menjadi target dan menurut saya ini harus diakselerasi, kami menginginkan penurunan yang cepat dalam penanganan stunting,” ujarnya, Kamis (19/10/2023).

Asisten Deputi Bidang Perekonomian Makro, Perencanaan Pembangunan, dan Pengembangan Iklim Usaha Kemenko Perekonomian, Roby Arya Brata berpendapat tudingan penyebab stunting dikarenakan rokok harus dilihat secara utuh. 

“Kalau dikaitkan dengan stunting sebabnya multi faktor, tetapi kita sudah berhasil menurunkan angka stunting meskipun masih jauh dari target. Karena itu, harus ada riset yang tepat dan komprehensif yang dapat mengakomodir semua kepentingan,” kata Roby. 

Roby juga menampik anggapan kenaikan cukai akan meningkatkan penerimaan negara. Menurutnya semakin tinggi cukai belum tentu penerimaan negara naik, yang ada malah rokok ilegal yang naik. 

Roby mencontohkan, adanya penolakan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau sebagaimana mandat Undang Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, itu akan mempengaruhi industri rokok. Kata ia, ini bukan sesuatu hal yang mudah, karena itu bagaimana win win solution-nya. 

“Kami sedang menyiapkan kebijakan Peraturan Presiden yang klausulnya menyatakan menteri tidak bisa membuat peraturan seenaknya tanpa sepengetahuan presiden. Kemudian lintas sektor kementerian/lembaga semuanya masuk. Pasalnya, sebelumnya ada menteri yang membuat peraturan menteri tanpa koordinasi antar kementerian/lembaga,” terang Roby.

Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau dan Bahan Penyegar, Kementerian Perindustrian, Edy Sutopo mengatakan diperlukan keseimbangan kebijakan yang mengatur rokok dengan memerhatikan aspek kesehatan dan aspek ekonomi. Menurut Edy, aspek ekonomi industri hasil tembakau (IHT) menjadi tempat bergantung bagi petani tembakau, petani cengkeh, juga lainnya. 

“Dan, IHT itu menggerakan industri lainnya. Karena itu, harus bijaksana dalam melahirkan kebijakan yang tepat dan berkeadilan,” kata Edy.

Baca Juga: Aturan Produk Tembakau Dinilai Seharusnya Tidak Masuk RPP UU Kesehatan

Budayawan, Mohamad Sobary berpendapat menghubungkan penyebab stunting disebabkan rokok adalah sesuatu yang terlalu jauh. Ibarat jarak bumi dengan mars. Menurutnya stunting ada dari beberapa abad lalu tapi jumlahnya sangat kecil. Di lain sisi, kita selalu menemukan orang merokok. 

“Kalau kita melakukan sesuatu academic contemplation kita akan menemukan terlalu jauh menghubungkan rokok dengan stunting,” ujar Sobary.

Analis Badan Kebijakan Fiskal (BKF), Irma Marlina mengatakan pemerintah ingin angka stunting turun sampai 14%. Kajian yang dilakukan BKF menyatakan bahwa penyebab utama stunting dari makanan dan lainnya. 

“Kajian ini bisa menjadi masukan untuk ke depannya. Pemerintah dari lama sudah memberikan alokasi anggaran cukup besar untuk stunting, dan dengan kita mengetahui penyebab utamanya, intervensinya jadi bisa lebih jelas,” katanya.

Kepala Center of Industry Trade and Investment INDEF, Andry Satrio Nugroho berpendapat pemerintah belum memiliki titik poin yang clear. Pemerintah hanya fokus pada tujuan masing-masing. Dari Kementerian Kesehatan ingin prevalensi angka stunting dan perokok turun, Kementerian Keuangan ingin penerimaan cukai naik, Kementerian Perindustrian ingin industrinya naik. 

 “Menurut saya pemerintah harus punya standpoint yang jelas sehingga semua aspek terakomodir dalam satu kebijakan yang adil,” katanya. 

Akademisi Politeknik Kesehatan Malang, Sugeng Iwan Setyobudi berpendapat diperlukan kolaborasi antar kementerian dan Lembaga untuk bersama-sama merumuskan kebijakan yang tepat. Di satu sisi, pemerintah sudah banyak merumuskan kebijakan untuk mengurangi prevalensi stunting, dan mencanangkan kegiatan yang melibatkan 23 lembaga.

“Yang perlu diperhatikan apakah sudah bersinergi dengan daerah. Saya mencontohkan best practice di Tulungagung, dimana pemerintah daerahnya menggandeng akademisi untuk menangani masalah stunting ini,” tukasnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Annisa Nurfitri
Editor: Annisa Nurfitri

Advertisement

Bagikan Artikel: