Pantang Menyerah dalam Mendigitalisasi Sektor Pertanian Indonesia
Sentuhan teknologi digital diyakini dapat mengoptimalkan potensi sektor pertanian di Indonesia. Meski demikian, upaya mendigitalisasi sektor pertanian ternyata tidak mudah.
Amanda Susanti, Co-Founder sekaligus CEO Sayurbox, mengenang kembali periode awal dirinya mendirikan perusahaan rintisan pada tahun 2017 silam. Kala itu ia menyaksikan para petani di daerah Parangkuda, Sukabumi, Jawa Barat, kesulitan untuk menjual produk pertanian ke konsumen akhir. Ia memandang permasalahan pemasaran produk dan rantai pasok yang tidak efisien di sektor pertanian bisa dituntaskan dengan bantuan teknologi.
“Kami membangun Sayurbox sebagai platform untuk membantu petani mendistribusikan bahan panen pertanian secara langsung kepada konsumen,” katanya kepada Warta Ekonomi dalam wawancara khusus di Jakarta, Senin (16/10/2023).
Wanita yang memiliki hobi bercocok tanam ini mengatakan, Sayurbox berupaya untuk membantu petani dalam hal memperluas segmen pasar ke konsumen skala besar seperti hotel, restoran, hingga industri manufaktur makanan. Saat ini Sayurbox telah bermitra dengan lebih dari 10.000 petani lokal di area Jawa Barat dan Bali. Adapun konsumen skala besar Sayurbox mulai dari restoran Holycow, Boga Group, hingga Wings Group.
“Sayurbox memiliki komitmen untuk memberikan produk-produk dengan kualitas terbaik dan fresh kepada konsumen,” tegasnya.
Baca Juga: Sayurbox dan FoodCycle Indonesia Berkolaborasi dalam Misi CSR Untuk Mendukung Komunitas Lokal
Hal serupa diyakini oleh Yohanes Sugihtononugroho, Co-Founder sekaligus CEO Crowde. Ia meyakini bahwa potensi sektor pertanian di Indonesia bisa dioptimalkan dengan lebih baik melalui pemanfaatan teknologi digital.
Yohanes mengatakan ada banyak proyek pertanian di Indonesia yang tidak dieksekusi dengan baik karena para petani sulit untuk mendapatkan permodalan. Ia memandang, permasalahan tersebut bisa diatasi dengan menciptakan platform berbasis teknologi digital yang menjadi jembatan antara petani dengan pemodal.
“Sektor pertanian itu penopang ekonomi Indonesia. Akan tetapi, petani sulit mendapatkan akses ke permodalan karena tidak memenuhi persyaratan bank,” katanya kepada Warta Ekonomi, beberapa waktu lalu.
Pada tahun 2015 ia mendirikan Crowde untuk membantu para petani mendapatkan akses ke permodalan. Hingga tahun 2023 ini Crowde telah menjembatani penyaluran modal senilai Rp964,6 miliar ke proyek-proyek pertanian di Indonesia. Crowde juga telah membantu permodalan lebih dari 13 ribu petani di Tanah Air.
“Melalui teknologi digital, kami ingin meningkatkan kualitas hidup para petani di Indonesia,” tegasnya.
Meski demikian, upaya mendigitalisasi sektor pertanian di Indonesia tentu tidak mudah. Salah satu tantangan yang dihadapi adalah struktur masyarakat pertanian di Tanah Air ditopang oleh petani dengan usia di atas 50 tahun. Kemudian hampir 90 persen dari masyarakat pertanian tersebut tidak akrab dengan teknologi digital.
Berdasarkan laporan Crowde bertajuk Driving the Growth Agriculture Technology Ecosystem in Indonesia yang dikeluarkan pada tahun 2021 lalu, penetrasi teknologi digital di kalangan petani masih sangat rendah. Laporan tersebut menyebutkan bahwa baru sebanyak 4,5 juta dari 33,4 juta petani atau sekitar 13,5 persen petani di Indonesia yang memiliki akses ke internet.
Jalan Panjang Digitalisasi
Peneliti dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Berry Juliandi, mengakui apabila digitalisasi di sektor pertanian bukan perkara mudah. Ia menjelaskan, struktur masyarakat pertanian di Indonesia saat ini lebih banyak diisi oleh generasi tua yang tidak akrab dengan teknologi digital.
“Kalau kita lihat, struktur petani kita itu lebih banyak diisi oleh orang tua. Memang, tantangan saat ini adalah mendorong mereka untuk move to digital,” katanya kepada Warta Ekonomi di kegiatan ITC Leadership Summit 2023 di Jakarta, Rabu (18/10/2023).
Selain tak akrab dengan teknologi, kalangan petani generasi tua semakin sulit melakukan adopsi digital karena terikat dengan nilai sosial dan budaya. Para petani di Indonesia telah melalui proses belajar yang panjang dan turun-temurun dalam mengelola lahan-lahan pertanian mereka.
“Kemampuan adopsi digital antara petani generasi muda dan generasi tua itu beda sekali,” sebutnya.
Berry menegaskan gagap adopsi digital tidak hanya terjadi di sektor hulu, tetapi juga terjadi di sektor hilir pertanian. Ia mencontohkan perilaku konsumen dalam melakukan pembelian produk-produk hasil pertanian saat ini masih tergolong konvensional. Konsumen ritel masih lebih terbiasa untuk membeli sayur dan buah di tukang sayur atau pasar tradisional daripada membeli secara digital melalui aplikasi.
“Masyarakat tentu masih ingin pegang sayur, pegang buah, dan berinteraksi dengan orang lain di tukang sayur atau pasar. Padahal, produk-produk pertanian yang dijual di lokapasar seperti Sayurbox pasti jauh berkualitas,” paparnya.
Pria yang memperoleh gelar doktor di Institut Sains dan Teknologi Nara Jepang ini mengaku kagum dengan perjuangan perusahaan teknologi seperti Sayurbox dan Crowde yang sudah cukup lama dan konsisten mewujudkan digitalisasi di sektor pertanian Indonesia. Apalagi, ada juga beberapa perusahaan teknologi pertanian yang harus menyerah dan terpaksa menutup layanan.
“Kita memang harus terus berinovasi agar startup-startup pertanian bisa lebih sustainable secara bisnis,” sebutnya.
Sebagaimana diketahui, pada tahun 2022 lalu ada beberapa perusahaan rintisan teknologi di sektor pertanian yang terpaksa melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) hingga menutup layanan. Misalnya, Bananas melakukan penutupan layanan quick commerce pada Oktober 2022. Kemudian Tanihub melakukan penutupan layanan konsumen perorangan atau rumah tangga (business to consumer/B2C) per Maret 2022.
Meski tidak mudah, Berry menegaskan digitalisasi perlu diterapkan untuk mengoptimalkan potensi sektor pertanian Indonesia. Ia menjelaskan, digitalisasi di sektor pertanian akan meningkatkan produktivitas, memangkas rantai pasok. hingga mewujudkan pertanian cerdas (smart-farming)
“Digitalisasi pertanian itu wajib, suatu keharusan di era sekarang,” tegasnya.
Pantang Menyerah
Berry memastikan dirinya optimis jika transformasi digital di sektor pertanian Indonesia pasti akan terwujud. Tanda-tanda kesuksesan digitalisasi di sektor pertanian sudah terlihat karena mulai bermunculan para petani milenial yang terjun ke sektor tersebut. Ia mengatakan para petani milenial tersebut sangat akrab dengan teknologi dan cepat mengadopsi digitalisasi.
“Petani-petani milenial inilah yang menjadi motor penggerak digitalisasi di sektor pertanian di Indonesia,” katanya.
Ia meyakini kehadiran para petani milenial akan memberi pengaruh positif kepada petani generasi tua. Hal itu karena para petani milenial bisa memberi bukti konkret bahwa digitalisasi memberikan manfaat positif. Misalnya, pemanfaatan kecerdasan buatan (artificial intelligence) hingga internet of things (IoT) di sektor pertanian terbukti mampu meningkatkan produktivitas dan menekan ongkos produksi.
“Saat ini pemanfaatan AI telah membantu para petani milenial untuk mengetahui jam terbaik dalam menggunakan pupuk, menyiram tanaman, dan semua bisa dilakukan dari rumah,” sebutnya.
Para petani milenial juga diharapkan dapat memanfaatkan digitalisasi untuk kebutuhan analisis data. Hal ini akan sangat membantu para petani milenial agar bisa mengambil keputusan dengan lebih baik.
“Harapan saya SDM-SDM pertanian yang memanfaatkan digitalisasi data bisa lebih survive karena mereka mengambil keputusan dengan berbasiskan pada riset dan data. Mereka pantang menyerah dalam menghadapi setiap tantangan,” paparnya.
Ia juga mengharapkan perusahaan-perusahaan rintisan teknologi di sektor pertanian seperti Sayurbox dan Crowde pantang menyerah dalam menghadapi berbagai tantangan bisnis. Ia turut mendorong para perusahaan rintisan teknologi untuk lebih masif dalam membangun kerja sama dengan para petani konvensional agar bisa lebih melek digital.
Amanda mengamini jika Sayurbox memiliki komitmen kuat untuk terus melakukan digitalisasi di sektor pertanian Indonesia. Ia juga berharap akan ada lebih banyak orang yang bisa terjun ke sektor pertanian Tanah Air.
“Aku berharap lebih banyak anak muda masuk ke sektor pertanian. Digitalisasi sektor pertanian membuka banyak kesempatan bagi masyarakat Indonesia,” pungkasnya.
Penulis: Cahyo Prayogo
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait:
Advertisement