Kendaraan Listrik Indonesia Masih Gunakan Batu Bara, Ini Komentar Profesor NUS Bidang ESG
Beberapa waktu lalu, pemerintah merevisi aturan mengenai program kendaraan listrik berbasis baterai (KBLBB) guna mendorong penggunaan kendaraan listrik roda dua (two-wheelers) dan roda empat (four-wheelers).
Namun, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengatakan pada Agustus 2022 lalu, kendaraan listrik tetap memiliki potensi limbah dari pembangkit listrik yang masih menggunakan batu bara. Lantas, apa komentar professor National University of Singapore (NUS) terkait hal ini?
Direktur Center for Governance and Sustainability (CGS) NUS, Profesor Lawrence Loh mengatakan, setiap negara yang sedang mengadaptasi kendaraan listrik di negaranya harus kuat berkomitmen untuk memitigasi dan beradaptasi untuk mengurangi emisi karbon dan perubahan lingkungan.
“Dengan mitigasi, maka mereka harus turun ke sektor bisnis, secara harfiah, masalah implementasi muncul karena perusahaan-perusahaan tersebut akan butuh waktu untuk merespons… Inilah yang disebut dengan transisi… sesuatu yang sangat, sangat baru, yang saya bahas hari ini,” ujar Profesor Loh ketika ditemui Warta Ekonomi pada Kamis (23/11/2023) di Gedung Mochtar Riady, NUS Business School, NUS, Singapura.
Baca juga: Gak Nyangka, KLHK Sebut Kendaraan Listrik Tak Benar-benar Bersih, Ini Alasannya!
Profesor Loh yang membangun pusat studi keberlanjutan lingkungan dan tata kelola di NUS sejak tahun 2010 tersebut, mengakui bahwa isu Lingkungan, Sosial, dan Tata Kelola (ESG) termasuk baru di Singapura, bahkan untuk Indonesia sekali pun.
Karena itu, Bank Sentral Singapura atau Monetary Authority of Singapore (MAS) mendorong pusat studi ini untuk melakukan perencanaan transisi.
"Begitu banyak perusahaan yang saya katakan, mereka perlu membuat operasional mereka berkelanjutan. Jadi mereka mungkin mencoba untuk mengikuti, [namun] masih mencari bahan bakar fosil [untuk] kendaraan roda dua [atau] roda empat. Jadi di sinilah kita butuh celah,” imbuh Profesor Loh.
Meskipun begitu, Profesor Loh tetap optimis bahwa kendaraan listrik dapat membantu untuk mengurangi emisi karbon dan menghadapi krisis lingkungan, asalkan perusahaan produsen kendaraan listrik, perusahaan teknologi rintisan (startup), regulator, bank sentral hingga pihak terkait serius menjalani transisi tersebut.
“Menurut saya, keberhasilan yang sesungguhnya, pada akhirnya, melanjutkan perubahan iklim yang sebenarnya adalah pada perjalanan transisi [lingkungan],” kata Profesor Loh.
Profesor Loh mengambil contoh kasus Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang mewajibkan perusahaan-perusahaan di Indonesia untuk melaporkan kinerjanya pada masyarakat melalui Laporan Keberlanjutan (Sustainability Report).
Hal ini diregulasi dalam Peraturan OJK No.51 tahun 2017 tentang Penerapan Keuangan Berkelanjutan bagi Lembaga Jasa Keuangan, Emiten, dan Perusahaan Publik.
Sayangnya, ia menyebutkan bahwa fakta di lapangan justru sebaliknya. Banyak perusahaan yang kesulitan mengadopsi transisi ini, yang ia sebut "‘the rubber meets the road’. Inilah ujian sesungguhnya… banyak perusahaan yang kesulitan [menghadapi ini]”.
“… bahkan ketika kita sedang dalam masa transisi, perusahaan-perusahaan di Indonesia, di Singapura, kita semua tersesat di masa transisi, we are lost in transition. Tersesat. Tapi enggak apa-apa, asalkan kita tersesat di jalan yang benar, arahnya adalah mencapai [transisi] di tahun depan. Jadi enggak apa-apa kita nyasar di masa transisi, enggak apa-apa, kita berada di arah yang tepat,” ucap Profesor Loh blak-blakan.
Alih-alih buntu atau stuck, Profesor Loh justru menyarankan agar perusahaan-perusahaan tersebut terus beradaptasi secara progresif.
“Mari kita beri kesempatan kepada perusahaan-perusahaan untuk beradaptasi secara progresif,” pungkas Profesor Loh.
Baca juga: Pemerintah Perluas Insentif Kendaraan Listrik Lewat Aturan Baru
Adanya optimisme dari Profesor Loh, bukan berarti langsung memberi angin segar pada perusahaan kendaraan listrik dan baterai di Indonesia. Ia memperingatkan, negara-negara maju harus bersinergi dengan negara berkembang agar hutan di negara berkembang tetap terjaga, demi mengurangi emisi karbon. Bahkan, ia menyinggung soal tren ESG, yang para perusahaan – termasuk pemerintah dan masyarakat di Indonesia – selalu ingat bahwa lingkungan harus dijaga, tetapi ada bagian yang hilang.
“Kita selalu berpikir tentang Environment, Lingkungan. Sebenarnya bagian yang paling penting, itulah yang dilupakan, yakni S, Social, yakni kehidupan sosial dan mata pencaharian orang-orang yang bekerja di kawasan [hutan] tersebut,” terang Profesor Loh.
Menurutnya, kawasan hutan tropis sebagiannya dikonversi menjadi lahan untuk tanaman komersial untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat setempat.
Mengacu pada COP27 di Mesir lalu, Profesor Loh bercerita bahwa pertemuan tersebut membahas dana kerugian dan kerusakan lingkungan. Sebagian dana dari penelitian dan pengembangan akan disalurkan ke Indonesia. Namun, ia mempertanyakan sumber dana tersebut dan komitmen negara maju untuk merealisasikan tindakan mereka.
“Dari mana uang-uang itu? Belum ada yang berkomitmen. Dua minggu lalu, Bank Dunia mengatakan bahwa kita akan menjadi pengurus dana tersebut selama lima tahun. Tapi sampai sekarang belum ada duitnya,” pungkas Profesor Loh.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Nadia Khadijah Putri
Editor: Ferry Hidayat
Advertisement