Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Politik Partisipatif Kaum Zilenial dan Dinamika Kehadiran Gibran dalam Pilpres

Oleh: Iskandar Agung, Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia

Politik Partisipatif Kaum Zilenial dan Dinamika Kehadiran Gibran dalam Pilpres Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Iskandar Agung | Kredit Foto: Istimewa
Warta Ekonomi, Jakarta -

Generasi Z dan milenial, atau yang sering dikenal sebagai zilenial, diprediksi akan mendominasi panggung politik elektoral pada Pemilu 2024. Mereka diprediksi membentuk sekitar 113 juta pemilih atau sekitar 56,45% dari keseluruhan pemilih. Momentum itulah yang menandai panggilan bagi kaum zilenial untuk mulai terlibat secara politik, secara perlahan mengukir takdir masa depan Indonesia.

Menurut pandangan Cathy J. Cohen dan Joseph Kahne (2012), politik partisipatif merujuk pada tindakan interaktif di mana individu dan kelompok berusaha memberikan suara dan mempengaruhi urusan serta kepentingan publik. Lebih dari sekadar momen elektoral, politik partisipatif meresap dalam kehidupan sehari-hari, melibatkan segala hal yang berkaitan dengan urusan publik.

Baca Juga: Gibran Keren! Baru Jadi Cawapres Tapi Udah Banyak Digemari Kaum Perempuan

Dalam ranah zilenial, politik partisipatif melibatkan berbagai aktivitas, seperti berbagi informasi melalui platform media sosial, berpartisipasi dalam diskusi online di forum digital, blog, dan seniar (podcast), serta menciptakan konten orisinal berupa video online atau meme untuk mengomentari isu-isu terkini. Big data dan media sosial, seperti Instagram, TikTok, Facebook, dan alat microblogging lainnya, menjadi alat yang semakin akrab bagi zilenial, menjadi saluran untuk mengajak komunitas lintas identitas dan ruang untuk terlibat dalam aksi kolektif.

Politik partisipatif bukanlah sekadar kegiatan terpisah. Ia telah meresap dan terintegrasi dalam kehidupan sehari-hari anak muda zilenial. Keterampilan, norma, dan jaringan partisipatif yang tumbuh melalui media sosial tidak hanya digunakan untuk bersosialisasi, tetapi juga secara alamiah dipindahkan ke ranah politik sesuai dengan konteks budaya tempat mereka beraktivitas.

Pemahaman politik kaum zilenial juga makin berkembang dan tidak hanya terbatas pada pemilihan umum, tetapi juga melibatkan politik gaya hidup. Oleh karena itu, politik partisipatif kaum zilenial perlu menjadi lebih inklusif dengan adanya dialog dan umpan balik, terutama dalam konteks isu-isu yang menyangkut kepentingan publik. Mereka diharapkan aktif mencari informasi terkait isu-isu tersebut dan berperan dalam menciptakan serta menyebarkan konten untuk memajukan perspektif zilenial dan masyarakat umum.

Meskipun zilenial akrab dengan media digital, mereka tetap terlibat dalam praktik politik institusional, seperti pemilihan, petisi, protes jalanan, atau menulis surat kepada media massa. Kaum zilenial yang aktif berpartisipasi dalam politik digital dan politik institusional konvensional memiliki potensi lebih besar untuk memberikan suara dalam politik elektoral.

Tren politik partisipatif kaum zilenial meningkat secara cepat dan secara digital didukung oleh status mereka sebagai digital native. Namun, partisipasi politik digital memerlukan komitmen waktu, energi, modal sosial, dan sumber daya lain yang lebih besar dibandingkan dengan mekanisme politik institusional yang biasanya telah diatur oleh organisasi partai politik dan komunitas politik.

Harapannya, politik partisipatif kaum zilenial di Indonesia akan mencerminkan keragaman demografis masyarakat pada era digital ini. Namun, perlu diperhatikan bahwa kesenjangan digital, tingkat pendapatan, dan pendidikan, terutama di kalangan marjinal dan masyarakat rural, masih menjadi masalah signifikan di Indonesia yang mempengaruhi kuantitas dan intensitas partisipasi politik, termasuk zilenial, secara struktural.

Politik partisipatif menawarkan harapan untuk membentuk budaya yang lebih demokratis di Indonesia. Meskipun demikian, politik partisipatif tidak dapat sepenuhnya mengatasi ketidaksetaraan struktural yang menghalangi banyak orang dari berpartisipasi dalam kehidupan kewarganegaraan dan politik yang setara.

Dalam kritik terhadap politik partisipatif, James Hay (2011) menegaskan bahwa era digital dengan blogging, photo-sharing, dan jejaring media sosial tidak secara otomatis meningkatkan kualitas demokrasi. Kendala struktural konvensional, seperti hierarki tradisional, saluran media yang sudah mapan, pendanaan dari lembaga pemikir konservatif, dan praktik penataan politik yang sudah ada, tetap menjadi faktor penghalang yang dapat menciptakan kelompok reaksioner, tergantung pada kondisi yang memfasilitasinya.

Situasi saat ini belum pasti dan berpotensi melahirkan generasi zilenial yang reaksioner. Sebagian dari mereka mungkin antusias dan aktif mendorong politik partisipatif, tetapi sebagian lainnya cenderung reaksioner dan tidak selalu sejalan dengan nilai-nilai demokratis. Mereka mungkin mendukung dinasti politik, abai terhadap norma hukum dan etika bersama, bahkan kurang menghormati keanekaragaman.

Itulah alasan perlu adanya usaha untuk menyegarkan arah dan tujuan politik partisipatif kaum zilenial, terutama menuju Pemilu 2024. Utopia politik partisipatif kaum zilenial yang mencita-citakan demokratisasi total yang merangkul seluruh generasi Indonesia secara egaliter dan inklusif bukanlah hal yang mustahil. Namun, perlu diingat bahwa perubahan itu harus memperhatikan dan mengatasi kesenjangan digital, tingkat pendapatan, dan pendidikan untuk menciptakan partisipasi politik yang berarti dan berdampak positif bagi seluruh masyarakat.

Melangkah lebih jauh, kehadiran Gibran Rakabuming di panggung pilpres menambah dimensi menarik dalam perbincangan mengenai politik partisipatif kaum zillenial. Dengan dinominekannya Gibran sebagai calon wakil presiden dari koalisi yang dipimpin oleh Prabowo Subianto, terlihat bagaimana generasi zilenial tidak hanya berada di garis depan perubahan melalui politik digital, tetapi juga terlibat secara langsung dalam politik institusional.

Gibran, sebagai sosok yang mewakili kelompok usia itu, telah aktif berpartisipasi dalam politik digital melalui media sosial, khususnya Instagram, tempat ia memiliki basis pengikut yang kuat. Pencalonannya sebagai wakil presiden memberikan gambaran bahwa politik partisipatif kaum zilenial tidak hanya menjadi wacana di dunia maya, tetapi juga turut merambah ke dalam koridor kekuasaan formal.

Dengan latar belakangnya sebagai pengusaha muda dan figuran publik, Gibran juga mencerminkan peran penting media sosial dalam membentuk opini dan citra seorang tokoh politik. Kehadirannya membawa isu-isu dan aspirasi kaum zilenial ke dalam wadah kebijakan publik, menyiratkan pentingnya memahami dan merespons dinamika politik yang berkembang di tengah perkembangan teknologi dan transformasi sosial.

Namun, hal itu juga membuka diskusi mengenai sejauh mana politik partisipatif Gibran dan kaum zilenial pada umumnya dapat mencapai tujuan demokratisasi total yang diidamkan. Keterlibatan dalam politik institusional masih dihadapkan pada tantangan struktural yang ada, seperti hierarki tradisional, pendanaan dari lembaga politik konservatif, dan dinamika politik konvensional yang dapat membatasi peran dan pengaruh kaum zilenial.

Pertanyaan penting yang muncul ialah sejauh mana Gibran dan kaum zilenial dapat memanfaatkan potensi politik partisipatif mereka untuk mengatasi hambatan tersebut. Apakah keterlibatan mereka akan membawa perubahan nyata atau sebatas menjadi pemain dalam sistem yang sudah ada?

Dalam konteks Pemilu 2024, eksistensi Gibran menunjukkan bahwa politik partisipatif kaum zilenial telah mencapai titik di mana mereka tidak hanya berada di pinggiran, tetapi juga terlibat secara substansial dalam arus utama politik nasional. Namun, perjalanan menuju demokratisasi total masih memerlukan refleksi mendalam mengenai keseimbangan antara politik institusional dan politik partisipatif, serta kemampuan untuk mengatasi tantangan struktural yang ada.

Seiring dengan berkembangnya peran Gibran dan peran kaum zilenial dalam politik, penting untuk terus memonitor dan mengevaluasi dampak sejati dari keterlibatan mereka. Apakah hal itu hanya sekadar simbolisme atau dapat menciptakan perubahan nyata dalam tatanan politik Indonesia?

Baca Juga: Teddy Gusnaidi Beri Alasan Kenapa Prabowo-Gibran Bisa Menang Satu Putaran

Sejalan dengan semangat politik partisipatif, terus terbuka ruang untuk dialog, debat, dan pertukaran ide antara generasi zilenial dan pihak-pihak yang terlibat dalam politik nasional. Hanya dengan memahami peran tiap-tiap aktor dan dengan kerja sama yang konstruktif, kita dapat mencapai visi politik partisipatif yang sesuai dengan cita-cita demokratisasi total untuk kebaikan bersama.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Aldi Ginastiar

Advertisement

Bagikan Artikel: