Kredit Foto: Sufri Yuliardi
PT Surya Semesta Internusa Tbk (SSIA) menyiapkan belanja modal atau capital expenditure (capex) sebesar Rp3,6 triliun untuk tahun 2025. Dana tersebut difokuskan untuk mempercepat ekspansi kawasan industri Subang dan pengembangan bisnis perhotelan melalui proyek Melia Bali.
“Capex kami tahun ini sebesar Rp3,6 triliun. Dari jumlah itu, Rp2,4 triliun dialokasikan untuk kawasan industri, Rp1,1 triliun untuk Melia Bali, dan sisanya untuk entitas lain,” ungkap Erlin Budiman, VP of Investor Relations & Corporate Communications PT Surya Semesta Internusa Tbk (SSIA), Jakarta, Rabu (23/4/2025).
Dari total anggaran kawasan industri, sekitar 30 persen ditujukan untuk akuisisi lahan dan sisanya difokuskan pada pengembangan kawasan. Langkah ini dilakukan untuk mengoptimalkan potensi kawasan industri Subang yang memiliki izin lahan seluas 2.717 hektare.
“Saat ini, lahan yang telah dikembangkan mencapai sekitar 1.700 hektare, sehingga masih tersedia sekitar 1.000 hektare yang perlu dibangun di Subang,” kata Erlin.
Baca Juga: Hermina (HEAL) Bangun Dua RS Baru, Kucurkan Capex Jumbo hingga Rp1,5 T
Ia menambahkan, proses akuisisi dilakukan secara berkelanjutan karena tingginya permintaan investor, khususnya dari Tiongkok.
Pada awal tahun ini, SSIA mencatat penjualan lahan seluas 4 hektare di Karawang kepada perusahaan asal Tiongkok yang bergerak di bidang elektronik. Selain itu, saat ini tengah berlangsung proses negosiasi lanjutan dengan perusahaan Tiongkok lainnya untuk lahan di Subang, yang ditargetkan bisa ditandatangani pada kuartal kedua tahun ini.
“Tahun lalu, hampir 90 persen pembeli lahan berasal dari Tiongkok. Tahun ini, tren itu berlanjut. Inquirist kami saat ini hampir semuanya berasal dari China,” ungkap Erlin.
SSIA mencatat minat lahan dari perusahaan Tiongkok mencakup berbagai sektor seperti otomotif, elektronik, garment, mainan, hingga mesin berat. Perusahaan otomotif BYD, misalnya, telah membeli 108 hektare dan memiliki potensi menambah hingga 100 hektare lagi. Selain itu, investor kendaraan listrik lainnya juga telah melakukan pendekatan, meskipun belum seagresif BYD.
“Tahun ini ada permintaan lahan yang cukup serius sekitar 380 hektare. Mereka sudah meninjau lokasi dan menegosiasikan harga, tapi belum bisa kami umumkan sebelum penandatanganan,” katanya.
Seiring dengan meningkatnya minat pasar, SSIA juga menaikkan target harga jual lahan. Jika tahun lalu harga jual rata-rata masih di bawah USD 100 per meter persegi, maka tahun ini ditargetkan berada di kisaran USD 110–120. Bahkan, beberapa permintaan telah mencapai USD 125 per meter persegi.
Dari sisi pendanaan, SSIA mengandalkan kombinasi dana internal dan eksternal. Perusahaan telah menerima suntikan modal dari mitra strategis senilai Rp3,1 triliun, serta berencana menarik pinjaman bank sekitar Rp600 miliar. Hasil dari penjualan lahan juga menjadi sumber pendanaan untuk menopang kebutuhan ekspansi.
“Kalau ingin percepatan, kemungkinan kami akan menambah pinjaman bank. Tapi sejauh ini masih cukup, apalagi jika suku bunga turun, itu akan sangat mendukung,” ujarnya.
Baca Juga: RAJA Gelontorkan Capex US$70 Juta di 2025, Kebut Proyek Energi dan Akuisisi Baru
Untuk proyek Melia Bali, SSIA telah menyerap sekitar 30 persen dari anggaran Rp1,1 triliun. Proyek ini dinilai berjalan sesuai target. Sementara itu, pengembangan kawasan Subang terus dipacu, terutama di bagian bawah yang infrastrukturnya telah tertata, dibandingkan bagian atas yang masih dalam tahap persiapan.
Dengan strategi ekspansi yang agresif dan dukungan permintaan yang kuat dari pasar Tiongkok, SSIA menargetkan pertumbuhan pendapatan sebesar 5 persen dan peningkatan laba bersih hingga 20 persen tahun ini. Artinya, pendapatan SSIA akan mencapai Rp6,56 triliun dari Rp6,25 triliun di 2024. Sementara, laba bersih akan menyentuh Rp281 miliar dari Rp234,2 miliar.
“Kami optimistis bisa capai target. Kalau pun tidak tercapai di pertengahan tahun, kami yakin itu hanya akan bergeser ke tahun depan, bukan hilang,” kata Erlin.
SSIA memandang pasar Tiongkok sebagai katalis utama pertumbuhan. Sejak pascapandemi, perusahaan-perusahaan Tiongkok menunjukkan ekspansi aktif di kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia, seiring kekhawatiran atas tarif perdagangan dan ketegangan geopolitik di negara asal mereka.
“Kami melihat perusahaan-perusahaan China memang sudah siap ekspansi sejak sebelum COVID-19. Dan sekarang, mereka bergerak cepat untuk menanamkan modal di Indonesia,” tutup Erlin.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Annisa Nurfitri
Editor: Annisa Nurfitri
Tag Terkait:
Advertisement