Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Pakar Komunikasi Politik UGM: Budaya Politik Feodalistik Membuat Presiden Diposisikan Sebagai Raja dan Cenderung Abuse of Power dalam Pemilu

Pakar Komunikasi Politik UGM: Budaya Politik Feodalistik Membuat Presiden Diposisikan Sebagai Raja dan Cenderung Abuse of Power dalam Pemilu Sejumlah Menteri seusai pelantikan menteri Kabinet Indonesia Maju di Istana Negara, Jakarta, Rabu (23/10/2019). | Kredit Foto: WE
Warta Ekonomi, Jakarta -

Dewan Pimpinan Pusat Indonesian Youth Conggress (DPP IYC) menggelar diskusi public dengan tema “Presiden Nyatakan Dirinya Boleh Kampanye dan Memihak: Abuse of Power?”. 

Kegiatan diskusi ini dengan menghadirkan narasumber Pakar Komunikasi Politik Universitas Gadjah Mada Nyarwi Ahmad, Robi Nurhadi Pengamat Politik Universitas Nasional dan Praktisi Pemilu dan Demokrasi Neni Nurhayati.

Kegiatan tersebut dilaksanakan melalui aplikasi Zoom meeting, Jum’at (26/01/2024) pukul 14.00 WIB-selesai dan dihadiri oleh sejumlah mahasiswa, perguruan tinggi, organisasi kemahasiswaan dan kepemudaan serta masyarakat luas.

Nyarwi Ahmad mengatakan, kalau kita mencermati pernyataan Ketua KPU RI pada hari ini, bahwa Presiden Jokowi boleh mengajukan dirinya berkampanye. Tetapi salah satu syaratnya dia mengajukan cuti.

Baca Juga: Klarifikasi Ucapan 'Keberpihakan', Jokowi: Saya Hanya Menyampaikan Ketentuan

“Pertanyaan berikutnya, Presiden mengajukan cuti kepada siapa? Apakah Presiden mengajukan cuti kepada dirinya sendiri? Padahal hanya ada satu presiden. Nah, hal-hal semacam ini saya pikir paradoks dan munculnya abuse of power. Artinya, terjadi penyalahgunaan kewenangan atau kekuasaan,” jelas Nyarwi Ahmad Pakar Komunikasi Politik UGM pada diskusi public via Zoom meeting yang digelar DPP IYC, Jum’at (26/01/2024) siang.

Menurut Nyarwi, Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan itu kan dipilih langsung oleh rakyat. Kita di Indonesia, pasca reformasi, itu tidak ada mekanisme mengecek atau mengevaluasi untuk bagaimana Presiden menggunakan kekuasaannya yang didapatkan melalui hasil pemilu itu.

Nyarwi mengatakan, dulu pada masa orde baru ada mekanisme untuk bagaimana Presiden melaporkannya kepada MPR. Tetapi dulu juga kan kita banyak melihat bagaimana manipulasi itu terjadi. Kita melihat bagaimana banyak politisi yang dibesarkan oleh rezim Soeharto. Nah, kita sampai hari ini belum ada regulasi yang mengatur untuk bagaimana kekuasaan Presiden atau peran dan fungsi Presiden baik sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, akuntabilitasnya seperti apa, dan apakah benar seorang presiden itu bekerja untuk menjalankan tugas-tugas negara sepenuhnya 100 persen.

Dalam konteks kasus Jokowi, kata Nyarwi, anaknya calon wakil presiden pada pemilu 2024. Bagaimana public melihat akuntabilitas Presiden? Tentu ini sulit terhindarkan. Problemnya adalah karena sejauh ini belum ada UU yang mengatur akuntabilitas bagi pejabat public dan pejabat politik seperti tahun pemilu seperti ini.

”Untuk memastikan hal tersebut public punya hak sebagai pemilik kedaulatan agar menjamin akuntabilitas Presiden dan pejabat public. Karena rakyat yang memilih Presiden. Hal ini dijamin dalam UUD Pasal 9 bahwa Presiden mempunyai sumpah janji jabatan di mana Presiden menjalankan tugas sebaik-baiknya, seadil-adilnya, dan selurus-lurusnya,” pungkas Nyarwi.

Bahkan, kata Nyarwi, potensi abuse of power ini sulit terhindarkan oleh presiden. Karena kelemehan kita belum ada regulasi yang mengatur secara khusus terkait akuntabilitas presiden dan undang-undang khusus tentang lembaga kepresidenan dalam situasi pemilu atau dalam keadaan normal untuk menjaga netralitas dan menjaga keberpihakan.

“Di tengah budaya politik Indonesia yang cenderung feodalistik seperti ini, orang-orang disekitar Presiden cenderung menempatkan presiden sebagai raja dalam system monarki, padahal kita ini menganut system demokrasi. Ini yang saya kira, godaan-godaan mengarah pada abuse of power ini sangat tinggi,” ujar Nyarwi.

Hasnu Ibrahim Perwakilan Indonesian Youth Congress mengatakan, sebagai perkumpulan Kongres Pemuda Indonesia kami berkewajiban dalam menjaga stabilitas politik, stabilitas sosial dan keberlangsungan konsolidasi demokrasi substantif di Indonesia dan serta menjamin Pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasi dan jujur dan adil menuju pungut hitung pada 24 Februari 2024 nanti.

Baca Juga: Anies Heran Jokowi Boleh Kampanye Asal Ajukan Cuti ke Presiden

Indonesian Youth Congress, kata Hasnu, meyakini bahwa Pemilu Demokratis, Integritas dan Bermartabat hanya dapat dilahirkan dari 4 komponen penting; pertama, Penyelenggara Pemilu (KPU, Bawaslu, DKPP) yang profesional. Artinya penyelanggara Pemilu yang “tidak nakal dan tidak genit” atau di bawah tekanan peserta pemilu atau rezim yang sedang berkuasa. 

Hasnu melanjutkan, kedua, peserta pemilu (Parpol, Tim Sukses dan Relawan) yang mengedepankan ide dan gagasan konkrit yang menyentuh persoalan public. Ketiga, pemilih yang rasional. Tidak tergiur dengan “gimmick dan framing politik” yang menyesatkan, dan keempat, pemerintah (Presiden, Menteri, Lembaga Negara, Birokrasi/ASN, TNI, Polri, Gubernur, Bupati, dan Kepala Desa) yang cawe-cawe, nakal bahkan berlaku tidak netral. 

“Kami mengajak kepada semua pihak agar mengawal secara ketat pelaksaan Pilpres 2024 mendatang. Dan kita mendorong agar Bawaslu dapat menggunakan secara baik kewenangannya untuk mengawasi netralitas Presiden, Menteri, TNI, Polri, Birokrasi, ASN, dan Kepala Desa agar tidak berpihak kepada capres-cawapres tertentu,” pungkas Hasnu.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Amry Nur Hidayat

Tag Terkait:

Advertisement

Bagikan Artikel: